Padepokan Witasem
Prosa Liris

Liris : Kesaksian Ilalang

Puisi liris yang ditulis keroyokan sejumlah emak yang berkumpul di Kelas Prosa Liris Kepak Sayap Angsa.

Para emak mengambil peran sebagai ilalang agar dapat berkisah padamu. Tentang kemarau panjang.

======

Empat musim bergulir melampaui sebatang pohon pisang. Telah kering liur menjangan, belalang enggan terbang dan rusa menyemai benih.

loading...

Aku terpanggang.

Sekali waktu, mendung bergantung menempel langit.

Kapankah segera hujan?

Aku meranggas rindu buaian
Mengharap rintik mematik harapan
Pada hidup ilalang-ilalang
Tempat benih tertanam si kumbang jantan.

Gersang.

Kodok-kodok riuh menyanyi.
Lagu hujan terdengar sendu. Mendung hanya singgah membawa janji palsu. Terik kembali membelah tanah di ladang.

“Ah, kemarau membuat kakiku busik!Tumitku pecah-pecah!” Gerutu manusia.

Kemarau kali ini, ah aku jadi ingat masa yang menyedihkan. Saat seorang ibu menangis tergugu, padi setengah bahu gagal panen.

“Sudahlah, Bu. Takdir sedang mengajak kita bercanda, tersenyumlah,” pinta suaminya sambil menggenggam tangan sang istri.

Mereka tersenyum, sementara aku menunduk sedih. Saat itu, tubuhku pun mulai meranggas.

Aku tak bisa merubah waktu, karena ini kehendak Tuhan
Yang kulakukan hanya terus berharap dan bertahan.

Di tengah ladang airmataku langsung menguap. Terik perih membakar.

Ah, mengapa hujan berkeras hati, tak jua sudi menjamah bumi?

Ketiadaan air membuatku tercekat.
Dahaga menjadikan hewan liar seperri merindu bulan agar bergegas datang.

Hanya tersisa gelepar ikan di ceruk sungai terdalam.

Air. Kemana kucari ?

Sawah ladang mengering
Pohon-pohon layu terkulai
Rumput-rumput menguning
Lolong anjing malam tak lagi melengking liar. Menembus kelam. Serigala terkulai.

Tiba-tiba hayalku melambung tinggi
Seolah-olah angin berbisik mnyampaikan pesan
Akan datang suatu hari
Pelangi tersenyum padaku setelah hujan membasahi tubuhku yang menguning

Dari sisi jalanan, aku tahu kau membacanya.

Dilarang membuang puntung rokok sembarangan. Musim kemarau akan menghasilkan asap tebal.

Aku terbakar.

Aku membakar setengah hutan. Membawa bencana di pemukiman

Asap membumbung tinggi.
Bunyi geregas ranting menjadi abu.
Belalang terlambat melompat. Ia luruh bersama puntung rokok. Rusa belari lincah dengan liur kering.

Tiba-tiba aku merasakan satu, dua tetes air mengenai tubuhku.

Air dari langit! Hujankah?

Tersenyum, aku menengadah.
Hujan akan menghentikan api melahapku.

Lama aku menunggu, mengapa tetes air berhenti?

Ah, rupanya langit memberi harapan palsu. Atau hanya burung yang kencing sembarangan karena takut api?

Entahlah, aku masih terbakar.

Dalam kerontang tanah yang retak kehabisan cairan, akar serabutku mencuat keluar.

Perih.

Haruskah aku menyerah?

Daun-daunku yang biasa menjadi tempat ulat-ulat berteduh pun kini menguning, kering.

“Sulit mencari rumput saat ini,” aku mendengar gembala berkata sendiri.

“Kambing kita bakal kurus,” seseorang menambahkan, “di rumah, kita berbagi air dengan kawanan ternak.”

Serombongan bangau melintas di atasku, mereka mencium air? Begitukah?

Aku gelisah!

Akarku kian rapuh menopang tubuh yang hampir tidak utuh.

Aku. Oh, aku yang butuh deras hujan.
Ini bukan lagi tentang rindu.
Tapi tentang nyawa yang tak boleh berlalu.

Gesek ilalang
Kering membara membakar rasa
Aku meluruh jadi abu
Tunasku siap menunggu

Berlalu gesekan beradu
Semerbak wangi tanah berdebu
Aku menunggu angin menyapa
Agar aku bisa sampaikan panas terik menyala

Tapi sampai kapan?
Kuatkah aku bertahan?

“Hey, angin! Sampaikan pada langit aku butuh hujan! Sekarang!”

Belalang yang hinggap di pucukku tertawa lalu bertanya. “Apa kau sedang berteriak Tuhan?”

Kutatap langit.
“Aku tahu Ia tidak tuli. Dan aku memaksa.”

Belalang terbang.
Hentak kakinya membuat meliuk.
Gerak sayapnya mengundang angin, mengajakku bersenandung lewat gesek dedaunan.
Senandungku adalah mantra.
Pemanggil hujan.

Bila kau tiba? Basahi tubuh kering yang hampir mati.

Hening tanpa jawab, hanya desau angin menggesek lemah tubuhku.

Sampai kapan, Ya Penguasa Langit?

Sampai kapan diri bertahan tanpa daya.

Serumpun ilalang memberi kesaksian padamu.

 

Sumber gambar https://pxhere.com/id/photo/526406

 

Wedaran Terkait

Songsong Bukan Puisi

admin

Sikil nJeber..

admin

Puisi :Peluk Senja di Lereng Lawu

admin

Puisi :  Aku Dalam Birumu

amazingdhee

Puisi : Tertikam Rasa/Lina Boegi

admin

Puisi : Temaram/Winy

admin

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.