“Apa yang tengah berkecamuk dalam hatimu, Pangeran?” Rahwana menghampiri Indrajit yang berdiri di benteng Alengka.
“Aku tidak menganggap Ayah sebagai orang yang serakah. Ayah adalah seorang raja besar. Jauh lebih besar dari Sri Rama.
Aku dapat melihat kemakmuran Alengka, Ayah. Tidak ada seorang raksasa yang mati kelaparan di dalam lumbung mereka sendiri. Aku mendapati dinding emas dari orang termiskin di Alengka. Bukankah itu kejayaan, Tuanku?
Dan kini, Alengka membara. Sri Rama datang kemari untuk meminta kembali perempuan yang dianggap sebagai miliknya.”
“Lantas, apa yang kau pikirkan tentang perbuatanku?”
“Khayangan melakukan kekeliruan. Mereka menganggap benar setiap tindakan Sri Rama. Dan aku meyakini bahwa mereka salah!
Untuk seorang perempuan.
Ramayana tidak akan menyeberangi samudera dan menantang badai bersama ribuan orang.
Ia mungkin akan berkata tentang cinta.
Tetapi, Ayah, ia tidak memiliki keberanian untuk datang seorang diri. Batas tertinggi seorang lelaki adalah harga diri. Aku melihat Ramayana tidak menyisakan itu untuk dirinya.
Ia dapat menemui Ayah.
Ia bebas untuk menantangku dan melukai harga diriku. Ia tahu bahwa kehormatan Alengka adalah Indrajit.
Aku, Indrajit, akan segera menemui Ramayana atas perkenan Ayah!”
“Tidak! Kau adalah kejayaan yang aku tinggalkan untuk Alengka. Indrajit adalah dinding Alengka yang terakhir.”
Indrajit tegak mematung. Pandang mata yang menggiriskan melesat keluar dari sorot tajam Indrajit.
“Ramayana akan terusir. Sesaat lagi!”
Sumber gambar :
www.storypick.com/indrajit-the-greatest-warrior/