Pada hari yang cerah, di beranda belakang istana, salah seorang petinggi Majapahit tengah duduk bersama dengan Sri Jayanegara.
“Saya tidak mempunyai pikiran buruk tentang rentetan perampokan yang belakangan ini terjadi,” kata Dyah Balayudha, salah seorang pejabat kerajaan yang mempunyai pengaruh luas di istana.
“Tidak ada seorang pun, Paman. Termasuk aku. Tetapi banyak laporan yang mengatakan bahwa kejahatan di Sumur Welut adalah gelombang di permukaan,” ungkap Sri Jayanegara. “Kesimpulan yang aku yakini sebagai kebenaran.”
“Tidak semua laporan akan mampu menghasilkan sebuah kesimpulan, Tuan,” kata Dyah Balayudha, ”sama halnya apabila kita mendapat banyak berita bohong lalu kita menilainya sebagai kebenaran. Diakui atau tidak, kita akan menanamnya dalam hati sebagai kebenaran karena kita mendengarnya dalam masa yang panjang.”
“Anda benar, Paman. Tetapi laporan itu berdasarkan orang yang berbeda kesatuan dan aku tidak memberi perintah secara terbuka kepada setiap pemimpin prajurit. Sedikit orang yang tahu, termasuk Paman.” Sri Jayanegara menatap tajam Dyah Balayudha. Kemudian ia berkata lagi, ”Aku tidak mengerti dan belum membuat sebuah kesimpulan awal. Karena kemungkinan dapat saja terjadi, sekarang ini, tepat di hadapanku!”
Kata-kata tajam meluncur deras dari bibir penguasa Majapahit. Seperti pedang yang menebas pinggang di medan tempur, Dyah Balayudha merasa bahwa perkataan itu sengaja ditujukan pada dirinya. Tetapi ia adalah orang yang berusia jauh lebih banyak dibandingkan raja muda yang duduk di singgasana Majapahit itu.
“Engkau belum mengerti tentang arti mendirikan kerajaan. Kau tidak tahu rasa sakit dan perihnya telinga setiap mendengarmu memberi perintah,” Dyah Balayudha bisik dalam hatinya. Kegeraman itu dapat ia tutupi, Dyah Balayudha mampu menyamarkan raut muka menutupi perasaan yang sesungguhnya.
“Tuan dapat melakukan perbandingan mengenai masalah ini. Dan saya pikir, saya tidak perlu tahu apabila Anda memang berencana untuk itu. Saya hanya seorang abdi! Bahkan Tuan sepenuhnya memahami apabila saya rela kehilangan nyawa bila Anda berkenan untuk memberi hukuman mati.” Sebagai seseorang yang mempunyai pikiran cerdas, Dyah Balayudha menyembunyikan wajah dengan menunduk dalam-dalam. Pandang mata Dyah Balayudha berkilat tetapi Sri Jayanegara tidak melihatnya.
Senyum tipis terurai dari bibir Sri Jayanegara.
“Paman, sudah pasti Anda mengerti bahwa aku tidak dapat begitu saja menjatuhi seseorang dengan hukuman mati tanpa sebab yang kuat. Lagipula, keberadaan Paman di sekitarku telah mendatangkan rasa aman. Meski begitu, aku tetap merasa perlu untuk mengutarakan isi hatiku.”
“Dan memang seharusnya seperti itulah yang dimiliki oleh seorang raja seperti Anda. Tuan adalah seorang raja pewaris kerajaan besar. Nama Tuan lebih dahulu tiba, dibandingkan angin pada musim hujan, di daratan kering seperti Sumba dan Dompu.
“Nama Tuan lebih megah terdengar di setiap garis pantai. Lebih dahsyat dari auman singa maupun harimau. Bagiku, Tuan adalah matahari Majapahit.” Setangkup puja keluar dari lisan Dyah Balayudha. Ia tahu tempat terbaik di hati Sri Jayanegara.
###
Sementara itu, pada sore hari di kediaman seorang Dharmaputera, Mpu Nambi, Ken Banawa telah tiba dengan pakaian lengkap sebagai seorang perwira.
“Sebelumnya, aku ingin mengetahui pendapatmu tentang kemelut di Sumur Welut,” Mpu Nambi membuka pembicaraan.
“Tuan Patih,saya tidak dapat mengatakan bahwa semua yang terjadi di kademangan itu adalah kejahatan biasa. Kegiatan mereka terlalu sering dan makin meresahkan. Laporan dari petugas sandi pun menguatkan apabila para perusuh itu bukan orang biasa. Mereka mempunyai keterampilan seperti prajurit.” Ken Banawa menarik napas panjang setelah memberi tanda tentang sikap yang akan diambilnya jika ia mendapat wewenang penuh dari Mpu Nambi.
Pembantu dekat mendiang Kertarajasa Jayawardhana lekat menatap wajah Ken Banawa. Mpu Nambi telah mempunyai rencana khusus tetapi ia ingin mendengar terlebih dahulu pendapat senapati kepercayaannya ini.
“Lantas, menurut laporan para telik sandi dan kesimpulanmu yang terakhir, apakah cukup kita melakukan satu serbuan pasukan khusus?”
“Seseorang telah mendahului kita, Tuan.”
Kedua alis Mpu Nambi bertaut, ia sedikit terkejut ketika Ken Banawa mengatakan itu. Kemudian katanya, ”Ini perintah Sri Jayanegara yang diberikan padaku secara rahasia, lalu bagaimana ada orang tahu? Baiklah. Apakah orang yang kau maksudkan itu akan menyebarkan perintah ini?”
“Tidak!” jawab cepat Ken Banawa, ”ia bukan berasal dari lingkungan istana ini. Seorang keponakan Nyi Retna. Ia bernama Bondan, murid Resi Gajahyana.”
Sedikit lega dapat dirasakan oleh Mpu Nambi, lantas ia menyusulkan pertanyaan lagi, ”Bagaimana kau dapat memercayainya?”
“Ia telah memberi bukti kesetiaan dan pengorbanan yang luar biasa. Kematian Wiratama telah mendapatkan jawaban melalui sebuah perang tanding yang terjadi antara Bondan dengan pembunuh Wiratama.” Ken Banawa berhenti sekejap, kemudian ia melanjutkan, ”Bondan adalah saksi kunci pembunuhan itu dan ia menuntut balas dengan menyematkan diri sebagai seorang duta Majapahit.”
“Ia terlalu gegabah!”
“Benar, Tuan Patih. Saya tidak mengingkari itu.Tetapi Bondan bersama saya saat itu.”
“Ini terlalu mudah jika aku tidak menganggapnya sebagai suatu kebetulan.” Setelah merenung sejenak, Mpu Nambi berkata, ”Aku dapat menerima keteranganmu. Peristiwa itu biarlah tetap diketahui oleh banyak orang sebagaimana seperti sekarang yang tersebar.”