Ki Garu Wesi tidak menunjukkan perubahan pada air muka tetapi ia mengakui yang tergelar di depanya adalah bentuk baru dari gelar-gelar perang yang diketahuinya. Ia merangsek, lebih dekat dengan barisan pengepungnya. Sambil bergerak demikian, ia berkata lugas, “Ini sebuah hiburan, aku tidak dapat mengatakan ini adalah perkelahian yang tidak seimbang. Kalian harus tahu bahwa permainan ini benar-benar seru dan menegangkan.”
Prajurit Mataram percaya bahwa Sabungsari akan mampu mengatasi keadaan di dalam lingkaran yang semakin sempit. Dalam waktu itu, pergerakan prajurit Mataram mulai berubah. Kadangkala mereka bergerak cukup lambat, kemudian mendadak melesat secepat kilat.
Perubahan acak yang dilakukan terus menerus itu tidak lepas dari pengamatan Ki Hariman yang berada agak jauh dari Sabungsari. “Apa yang mereka inginkan? Bukankah itu adalah usaha bodoh dengan membuang waktu untuk melayani Ki Garu Wesi?” desis Ki Hariman dalam hatinya. Walau begitu ia belum beranjak dari tempatnya. Hanya sepasang mata tajam yang lekat mengamati setiap rinci perubahan barisan prajurit Mataram.
“Engkau akan menyesali malam ini, Mataram dungu!” ucap Ki Garu Wesi memancing marah.
Sabungsari bergeming. Ia tahu benar bahwa salah satu jalan untuk merusak kesatuan gelar adalah perhatian yang terbelah. Lurah prajurit ini belum menemukan jalan untuk keluar dari tekanan-tekanan yang keluar dari mulut Ki Garu Wesi dan pergeseran kedua kakinya yang, walau sulit dimengerti, kadang-kadang mampu menggoyang kerapian barisan.
“Tidak ada kata pengandaian lagi pada malam ini. Kami dapat keluar atau tergeletak di hutan yang tak padat ini,” Sabungsari berkata sendiri. Banyak orang yang telah dikalahkannya, baik dalam perang tanding maupun dalam perkelahian antar gelar. Pada saat ini, Sabungsari hanya cukup merasakan bahwa ia harus mampu menetap pada pikirannya sendiri, Ki Garu Wesi. Sementara kedudukan Ki Hariman telah berada dalam jangkauan terukur gelar Wuku Selukir.
Sabungsari telah mendengar bahwasanya Ki Garu Wesi dapat keluar dari perkelahiannya melawan Ki Jagaraga di Tanah Perdikan Menoreh, ia mengatakan pada dirinya bahwa kejadian itu bukan satu-satunya alasan untuk menyatakan kekuatan Ki Garu Wesi. “Belum cukup,” kata Sabungsari dalam hati,
Mungkin Ki Garu Wesi terlampau kuat untuk prajurit Mataram namun bukan itu yang dipikirkan oleh Sabungsari. Apakah perkelahian akan mendapatkan imbalan yang sesuai? Yang ia maksudkan adalah keterangan mengenai kedudukan para pengikut Raden Atmandaru. Maka bila tidak ada yang diperolehnya dari perkelahian itu, tentu saja Sabungsari akan menghukum dirinya sebagai prajurit bodoh! Sebenarnya, apa kekurangan gelar Wuku Selukir?
Sementara itu gerak prajurit Mataram semakin lincah. Mereka bergeser dan berubah pasangan dalam kelompok dengan cepat. Gangguan yang ditimbulkan oleh Ki Garu Wesi teratasi dengan pergeseran yang acak. Mereka tidak lagi mengatur perubahan gelar melalui aba-aba yang dilakukan dalam rentang waktu tertentu, namun kini lebih kerap dan sulit diduga.
Namun, kemampuan mereka mempunyai batasan. Kesabaran mereka mempunyai garis akhir. Setebal kekuatan tekad mereka untuk mempertahankan Jati Anom dapat saja terkikis jika Sabungsari tidak segera memutuskan permasalahan. Benar, Sabungsari tidak boleh mengulur waktu lebih lama hanya untuk menunggu serangan pertama Ki Garu Wesi. Sejauh itu kadaan masih terjaga.
“Bila mereka begitu bodoh dengan mengeroyok Ki Garu Wesi, itu adalah kelemahan Mataram. Senapati Mataram akan menyesal pada Untara. Mereka tidak akan dapat menjalankan tugas dengan benar. Ini adalah keuntungan kami.” Kembali Ki Hariman mendesis tanpa suara. Apa yang sebenarnya berada di dalam benak mereka? Bertarung melawan Ki Garu Wesi hingga titik penghabisan? Itu hanya merugikan Mataram. Gertakan? Kedunguan yang luar biasa!
“Mungkin,” pikir Sabungsari, “orang ini memmpermainkan ketahanan jiwani kami semua.” Ia melirik keadaan Sarja kemudian pikirnya, ”Ia terlihat tenang dan cukup tangguh untuk perkelahian.”
“Ini tidak hanya sekedar mencari letak perkemahan lawan, tidak juga tentang mengintip kekuatan lawan, tetapi bagaimana mengirim keterangan ke Jati Anom,” ucap Sabungsari dalam hatinya. “Laporan tidak akan dapat tiba di depan Ki Untara bila kami semua mati di tempat ini. Tidak. Tidak boleh ada kesalahan malam ini!”