Padepokan Witasem
Bab 1 Sayoga

Sayoga 9

Demikianlah kemudian mereka tiba di banjar pedukuhan. Ki Jagayaba sedikit berbincang sebentar dengan Kang Minto lalu ia berpamitan untuk kembali ke rumah.

“Ki Wijil sekalian, aku tinggalkan kalian untuk sementara ini. Beberapa pengawal akan menemani kalian bermalam di banjar. Besok pagi-pagi aku akan mengirim orang untuk menjemput kalian datang ke rumahku,” kata Ki Jagayaba.

“Terima kasih! Ki Jagayaba telah berkenan memberi kami semalam dua malam di banjar.” Senyum Ki Wijil mengembang dan ia sedikit membungkuk hormat.

“Ah, sudahlah,” kata Ki Jagayaba memutar tubuhnya diiringi beberapa peronda yang masih harus menuntaskan pekerjaannya malam itu.

loading...

Tak berapa lama keluarga Ki Wijil merebahkan tubuh, ufuk merah mulai membuka jalan bagi matahari. Dalam waktu itu Sayoga telah berada di sebuah sungai kecil yang terletak agak jauh dari banjar, ia berendam di bagian yang agak dalam. Sementara Ki Wijil beserta istrinya telah berbenah diri. Sayup-sayup mereka mendengar tangis seorang anak kecil. Nyi Wijil memandang wajah suaminya seolah menunggu rencana yang mungkin akan disampaikan oleh suaminya. Tiba-tiba mereka mendengar derap kuda mendekati banjar. Kedua orang itu menoleh ke arah datangnya suara derap kuda.

Debu tebal berlomba menjadi lebih tinggi tatkala kaki-kaki kuda berderap sangat cepat. Wajah tegang orang yang duduk di atas punggungnya seolah akan membenamkan matahari yang akan muncul di permukaan.

“Ki Wijil! Lekas ikuti aku!” kata orang itu yang ternyata adalah Ki Jagayaba. Lalu ia menoleh pada pengawal,”Kalian tetap di banjar!”

Sejenak Ki Wijil dan istrinya bertukar pandang, tanpa banyak bicara mereka melayang dan duduk di punggung kuda. Ki Jagayaba hanya memandang kagum pada kegesitan kedua suami istri akan tetapi tidak ada suara yang keluar dari bibirnya. Ia segera memberi tanda ke arah yang menjadi tujuan mereka.

Kuda-kuda mereka melesat seperti anak panah yang meluncur dari busur. Sejumlah mata memandang penuh heran akan tetapi mereka segera mengerti ketika Ki Jagayaba tampak diantara tiga penunggang kuda yang melaju cepat.

Mereka berhenti tepat di depan sebuah rumah yang berseberangan dengan pendapa pedukuhan. Akan tetapi suara tangis itu telah lenyap namun kerumunan orang yang ingin mengetahui persitiwa yang terjadi semakin banyak. Para pengawal pedukuhan mulai sibuk memberi batas-batas agar tidak dilanggar oleh warga pedukuhan yang ingin mencari tahu.

Kerumunan itu tersibak ketika mendengar seseorang berkata bahwa Ki Jagayaba telah datang. Mereka memandang penuh cemas akan tetapi sebagian juga menaruh harapan pada tiga orang yang baru saja datang.

“Seharusnya Ki Tanu Dirga segera membunyikan kentongan titir agar tidak menjadi terlambat,” seorang berkata pada orang di sebelahnya.

“Tapi bisa juga ia tidak mempunyai kesempatan itu ketika cucunya berada di tangan penculiknya,” sahut seorang lagi.

“Sudahlah diam! Mungkin juga cucu Ki Tanu Dirga sengaja ingin turut bersama penculiknya. Bukankah kita telah mendengar jika Ki Tanu Dirga sangat pelit bahkan pada cucunya sendiri?” kata seorang  bertubuh kurus sambil bersungut-sungut.

“Janganlah kau berkata seperti itu. Hanya karena ia tidak membantumu memberikan giliran air lalu kau beranggapan ia sangat pelit,” kata orang yang pertama bicara. Lalu ia berkata, ”Semoga saja Ki Jagayaba dan ketiga kawannya yang berilmu tinggi itu dapat membongkar ini semua.”

Kawan-kawannya pun manggut-manggut mendengar perkataannya. Mereka pun terdiam saat ketiga orang yang datang dari banjar melintas di sebelah mereka dan kemudian memasuki rumah Ki Tanu Dirga.

Seorang pengawal berbisik pada Ki Jagayaba, ”Ketika aku datang kemari, seseorang telah terbunuh di sebelah Ki Tanu yang pingsan saat aku melihat pertama kali.”

Wedaran Terkait

Sayoga 8

kibanjarasman

Sayoga 7

kibanjarasman

Sayoga 6

kibanjarasman

Sayoga 5

kibanjarasman

Sayoga 4

kibanjarasman

Sayoga 3

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.