“Tidak, tidak perlu,” kata Ki Widura, “kenyataannya adalah mereka menyebut Lemah Cengkar. Itu mempunyai kemungkinan yang dapat diperkirakan. Pertama, mereka memang telah bermukim di sekitar Lemah Cengkar dengan membangun ruangan yang tersebunyi di balik semak atau bernaung di bawah pohon…”
“Atau justru membuat tempat di atas pohon,” Sabungsari memotong.
Prastawa terhenyak mendengarnya. Ia tidak berpikir sejauh itu dengan membayangkan orang yang mungkin berjumlah ratusan dan berdiam di antara dahan dan ranting. Sesuatu yang sangat rumit dan cerdas, pikir Prastawa.
“Terlepas dari cara Raden Atmandaru menyembunyikan pengikutnya, tetapi harus diakui bahwa ia telah membuktikan dirinya cerdik,” berkata Agung Sedayu. “Ada kemungkinan mereka telah siap untuk bertempur dan mengalihkan perhatian kita dengan kebakaran-kebakaran di sekitar Merapi. Dan mungkin jika kita mengerahkan orang untuk mengejar para pembakar, sejumlah orang akan melenggang memasuki Jati Anom atau Sangkal Putung tanpa perlawanan yang berarti.”
“Pemilihan daerah yang tepat,” sambung Untara, “ia dapat menyerang Jati Anom atau Sangkal Putung atau bahkan ia pun dapat membagi serangan karena setiap pilihan memang dapat dilakukan olehnya.”
Sejenak keadaan menjadi sunyi sebelum Ki Widura berkata, “Memang tidak ada yang lebih baik dari Lemah Cengkar bila kita ingin melakukan serangan yang mengejutkan. Selain pepohonan yang cukup rapat, Lemah Cengkar dapat menjangkau Jati Anom dalam waktu yang terukur. Keadaan yang sama juga berlaku bagi Sangkal Putung. Lantas, aku berpikir bila kita sebaiknya menyerang mereka untuk pertama kali namun buruknya adalah kita tidak mengetahui secara persis kedudukan mereka.”
Agung Sedayu memperhatikan kelangsungan perbincangan yang semakin seru ketika Ki Widura membawa gagasan untuk menyerang. Suami Sekar Mirah ini tengah menyusuri jalan-jalan pikirannya yang bercabang, dalam hal ini adalah alasan Pangeran Ramapati menggunakan nama Raden Atmandaru. “Mungkin Ramapati adalah nama yang mudah dikenal oleh orang-orang di sekitar Panembahan Hanykrawati, dan jika itu benar, maka kesulitan pertama yang harus dilewati olehnya adalah penghadangan oleh Ki Patih Mandraka, baik dalam gagasan atau pun gerakan. Setelah kegagalannya menjadi adipati di Ponorogo, mungkin Pangeran Ramapati memang kembali ke Mataram lalu menyusun kekuatan dari sebuah tempat. Jika ia sekarang mulai bergerak menuju Mataram walau dengan jalan memutar, sudah tentu itu tidak membawa pengaruh baginya. Ketahanan jiwani telah teruji. Mataram sedang menghadapi orang yang benar-benar telaten, liat dan sangat cerdik.”
Selagi Agung Sedayu merancang ulang bangunan berpikirnya, Sabungsari mengejutkannya dengan pertanyaan ringan. “Lalu bagaimana pendapatmu. Ki Rangga?”
Tentu saja tidak ada jawaban dari Agung Sedayu mengenai siasat yang tengah seru dibicarakan oleh orang-orang di sekelilingnya. Ia hanya tersenyum. Kemudian katanya, “Aku mempunyai pandangan tersendiri yang sudah pasti berbeda dengan Paman Widura.”
5 comments
Saya kok agag bgung dgn urut2an nomor seri cerita nya ya. Loncat2 bolak balik g nemu sambungan2 ceritanya.
bisa diklik di menu atas
Kalau untuk Membidik 11, 12 dan 19 ada dimana ya ?
Rahayu.
https://tansaheling.com/membidik-19/
Karena suatu masalah yang kerap menimpa blog baru di dunia internet, 11 dan 12 belum dapat dipulihkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi. Terima kasih.
Terimakasih