“Hey, siapakah namamu?” bertanya Simbara dengan langkah kecil mengejar rombongan Gendhis. “Bukankah seharusnya engkau pun mengenalkan diri? Sepatutnya kita saling mengenal.”
“Mengapa? Apakah ada keharusan bagimu untuk mengetahui namaku?” jawab Gendhis tanpa menghentikan langkah.
“Ini… Apa ini? Seorang perempuan tiba-tiba memasuki halaman rumahku tanpa menyingkap dirinya, Apakah ini yang dinamakan susila?” seru Simbara sambil menatap tajam tiga orag yang terus berlalu meninggalkannya. “Baiklah, baik!” Suara Simbara terdengar seperti geram binatang buas yang tersudut. Seketika ia melangkah lebar, menyusul rombongan kecil itu dengan raut wajah membara.
Dorongan dengan telapak tangan terbuka dilakukannya pada tubuh pengiring Gendhis. “Kau lebih balk hati-hati dari sekarang,” lantang Simbara berkata-kata.
“Sebentar, Raden. Sebentar,” jawab seorang pengiring.
Gendhis memutar tubuh lalu bertanya, “Apa maumu?”
“Siapa namamu?”
“Apa ada gunanya buatmu?”
“Demi kesopanan, seharusnya kalian bertiga mengenalkan diri padaku. Aku adalah pemilik rumah ini.”
“Simbara,” Gendhis berkata pelan dan mengulang nama itu hingga dua kali. “Engkau dapat mengaku sebagai ini atau itu karena kami memang tidak pernah melihatmu sebelum ini. Dan tentang kesopanan yang kau katakan, apakah pantas seorang lelaki memandang gadis dengan tatap mata yang seperti ingin menelanjangi tubuh gadis itu? Hey, katakan. Siapa sebenarnya engkau ini? Apakah engkau adalah tuan rumah atau pembantu di rumah ini?”
Udara meningkat panas ketika dua pengawal Gendhis telah mengambil sikap dasar kanuragan. Tidak boleh ada sentuhan kasar pada Gendhis, pikir mereka.
Seisi dada Simbara melonjak tidak menentu. Sejenak ia menimbang tentang tujuannya, lalu beralih pada sikap tiga orang yang melebihi batas, menurutnya. Sementara waktu Simbara hanya memandang mereka dengan tatap mata bergelora. Jelita wajah Gendhis dan lekuk ketat tubuhnya seolah tidak mampu mengalihkan kesibukan pada ruang berpikirnya, padahal, dua perkara itu sempat menyita penuh perhatian Simbara.
“Sungguh, kalian tidak pantas memasuki rumahku!” geram Simbara.
Sukra mengamati semuanya dengan perasaan tak menentu. Apakah ia harus curiga pada pemuda angkuh lalu mengikutinya? Apakah ia juga harus mencurigai Gendhis sedangkan perasaannya sedikit berat pada gadis itu? Pada saat yang sama, muncul keinginannya untuk memukul kepala Simbara. Apa yang dapat ia kerjakan selekasnya agar tidak ada waktu yang terbuang dalam pengintaiannya selain menunggu lalu melihat Gendhis dalam tekanan?
Tubuh Sukra menggeliat ketika hasratnya untuk menampakkan diri mendadak menguasainya. Ia membuat denah dalam ruang pikirannya bila keadaan memburuk. Rumah dengan segala ragam pernik yang terlihat dari luar, letak pohon dan keadaan jalanan, semua itu persis dengan gambaran yang diberikan Ki Tunggul Pitu. Dan, Sukra sangat terbantu dengan itu.
Segera ia bergerak maju, tiba-tiba, sentuhan halus pada pundak menghentikannya! ”Angger, sebaiknya tetap menahan diri selama berada di pedukuhan ini.” Suara halus penuh wibawa yang memasuki relung pendengaran Sukra segera memadamkan lompatan-lompatan liar perasaan anak muda Menoreh itu.
Sukra berpaling. “Kiai,” lirih ia berkata. Sejenak ia bimbang. Bagaimana ia harus bersikap? Keringat telah melumuri pakaiannya dan itu tidak lepas dari tatapan Kiai Bagaswara.
”Ki Rangga telah membuat penilaian, untuk itulah, aku dimintanya agar segera menyusulmu.”
“Dan, pedukuhan induk?” Gelisah membayangi Sukra karena kekuatan pengikut Raden Atmandaru yang masih samar. Keselamatan orang-orang yang mengasihinya segera mencekam hati Sukra.
“Keadaan semakin membaik dan diharapkan segera kembali wajar. Terlebih semenjak kedatangan Ki Patih Mandaraka, Sangkal Putung bergegas bangkit dan sepertinya menjadi semakin kuat. Sebaiknya Angger cepat mengendapkan diri. Sekarang, kita berdua dalam tugas yang sama.”
Sukra tidak dapat berkata-kata, bahkan, ruang hatinya mendadak kosong. Namun, secepat kilat, pikirannya menyambar dengan bayangan Gendhis yang masih berbantah panas dengan Simbara.
Kiai Bagaswara kembali berucap, “Mengintai adalah pekerjaan berat. Tentu Angger telah mempunyai penilaian tersendiri sebelum melaksanakan tugas ini. Pokok terpenting dalam pengintaian adalah tidak melibatkan perasaan agar tidak terjerumus dan hanyut oleh keadaan yang sedang berkembang. “
Sukra tidak menolak pendapat lelaki sepuh yang dihormatinya itu. Bahaya besar secara nyata telah melintang dalam perjalanannya sejak ia meninggalkan pedukuhan induk. Tugas yang berat, dan tanpa sepengetahuan Agung Sedayu, Sukra pun berkehendak menemui Gendhis seperti permintaan Ki Tunggul Pitu padanya. Pesan Kiai Bagaswara yang baru terucap diterimanya seperti batang besi yang menghantam dada dan memerahkan wajahnya. Bukankah ia mempunyai dua niat yang berbeda ketika menjalankan tugasnya? Walau tidak tertangkap basah, tetapi kesan itu dirasakan oleh Sukra. Apakah ia mengintai perkembangan Raden Atmandaru atau Gendhis? Itu mempunyai perbedaan yang sangat tipis.
Sekelebat pertanyaan melintasi jalan pikirannya. Bagaimana kekuatan dan siasat Raden Atmandaru di Randulanang? Bagaimana dengan jalan-jalan pelarian mereka? Dari lorong yang mana prajurit Mataram dapat memasuki pedukuhan dengan korban yang dapat ditekan? Belum seluruhnya ia memperoleh jawaban. Pertanyaan yang sangat sulit dijawabnya seandainya Agung Sedayu bertanya pada saat yang sama dengan pertemuannya dengan Kiai Bagaswara.
Sukra benar-benar gusar dengan keadaannya. Begitu mudah ia terbawa dengan sekelebat penampilan Gendhis yang belum diketahui asal usulnya. “Aku begitu bodoh!” Sukra memaki dalam hatinya.
Semua telah terjadi dan sejengkal demi sejengkal keadaan terus berubah.
Mendadak seseorang mengeluarkan suara lantang dan ditujukan pada orang-orang yang tengah bertengkar di halaman rumah Ki Gandung Jati. “Kalian mempunyai pekerjaan. Kalian harus patuhi perintah Raden Atmandaru!”
Seketika Sukra dan Kiai Bagaswara memusatkan pandangan ke balik regol halaman.
Keributan itu diketahui oleh Raden Atmandaru, lantas Ki Tunggul Pitu diperintahkannya untuk melihat dan membuat penyelesaian.
“Oh, bukankah orang itu sempat bertarung melawan Ki Rangga?” perlahan suara Kiai Bagaswara mengapung di udara sebelum tiba di ruang dalam telinga Sukra.
“Empat anak muda yang sangat-sangat bodoh!” Suara melengking nyaring melesat lalu menerpa wajah-wajah anak-anak muda yang usai bertengkar.
“Mangesthi,” kata Ki Tunggul Pitu. “Sejak kapan engkau berada di sini?”
“Kiai.” Mangesthi memberi hormat lalu menjawab, “Sejak mereka bertengkar tanpa ujung dan pangkal. Saya memasuki halaman ketika itu terjadi dan mereka tidak melihat kehadiran saya.”
“Apakah Kiai mengenal gadis yang baru datang itu?” tanya Sukra di tempat lain.