“Malam ini Pragola akan membawa pasukannya maju sejauh selemparan anak panah. Begitu juga Gajah Praba serta Ubandhana, mereka masing-masing akan membawa pasukan sejajar dengan Pragola. Dan di belakang kalian ada Mpu Tandri dengan pasukan gajah. Aku ingatkan kalian semua agar tidak menyerang sebelum Mpu Tandri tiba di garis depan. Mpu Tandri akan menjadi pemukul barisan lawan dan pertahanan kita yang pertama. Maka, jangan lampaui larangan ini! Sementara itu, aku akan berada sebagai penghubung kalian. Setiap prajurit yang jatuh, aku gantikan dengan tenaga baru.
“Kalian akan menggelar pasukan dalam jumlah besar dan memenuhi padang. Kita tebar ketakutan dan kengerian pada mereka. Bagaimanapun, aku ingin kita tetap utuh ketika perang ini berakhir. Oleh karenanya, mereka harus dipaksa menyerah esok pagi. Sebelum itu, sebelum segalanya terjadi, mata mereka akan melihat kekuatan dahsyat yang terhampar sebelum fajar menyatakan diri,” Ki Sentot berkata sambil menunjuk sebuah gambar di atas batu datar berwarna putih.
“Tetapi tidak boleh ada darah yang tumpah esok pagi. Kita hanya membunyikan terompet dan tetabuhan serta lenguh gajah. Kalian penuhi udara dengan senjata yang beradu, teriakan-teriakan yang dapat mematahkan semangat mereka.” Perintah itu keluar dari bibir Ki Sentot dengan sorot mata dingin. ”Kita akan menghangatkan suasana. Pertempuran ini akan mematahkan hati Jayanegara yang lemah. Biarkan itu, biarkan Jayanegara tetap terkungkung dengan kebodohan orang-orang sekitarnya. Esok, kita akan mengirim pesan kematian untuk lawan.”
Sorak sorai pengikut Ki Sentot Tohjaya menggema.
Keyakinan bahwa Jayanegara adalah raja yang lemah semakin kuat di hati mereka. Sebaliknya, kejayaan Kediri yang pernah mereka saksikan, kini, seolah tengah memancar megah dalam diri Ki Sentot Tohjaya.
Kemudian secara rinci, Ki Sentot menerangkan kemungkinan yang berkembang dari siasat, dan para senapati yang memimpin kelompok pun memahami pergerakan yang harus mereka lakukan.
“Sekarang kalian boleh kembali ke satuan masing-masing. Kita akan segera bersiap sesaat lagi.”
Saat yang mendebarkan sedang terjadi di pasukan Ki Sentot, perintah untuk bergerak telah dijatuhkan namun bukan untuk menyerang. Para prajurit bayaran dan orang-orang yang masih setia pada keturunan Jayakatwang pun menggelora dalam perasaan masing-masing. Mereka tidak sabar menunggu untuk pukulan pertama, tetapi perintah adalah perintah yang mustahil berubah walau matahari telah padam oleh angkara.
Malam masih belum jauh dari kayu yang terpanggang ketika Ki Jayanti memerintahkan seseorang untuk memukul gong. Tak lama kemudian suara gong berbunyi bersahut-sahutan, membunyikan irama tertentu yang menggetarkan hati dan memacu semangat untuk lebih berkobar.
Bunyi gong itulah yang menjadi tanda bagi Pragola, Mpu Tandri serta lainnya untuk bergerak maju sebatas panah-panah api yang dilepaskan dan menancap di padang rumput. Sejumlah titik api berjajar dengan nyala telanjang dan menjadi pembatas gerak pasukan Ki Sentot.
Para pengawas di Pedukuhan Karangan melihat sejumlah panah api itu dengan hati berdebar-debar. Sesuatu akan segera terjadi, cepat atau lambat.
“Apakah itu menjadi sebuah tanda?”
“Mungkin saja. Kita hanya dapat menunggu dan mengamati.”
Seorang pengawas mengarahkan telunjuknya, serunya, “Lihat, mereka bergerak.”
“Ya, ya, aku melihatnya. Baiklah, aku laporkan perkembangan itu dan kalian awasi mereka,” kata seseorang bertubuh sedikit kurus yang menjinjing golok bersarung kulit.
Seorang lurah prajurit segera berlari menuju tempat mereka, gardu pengawas yang tinggi. Terlihat olehnya bayangan hitam seperti gunung yang berjalan. Nyala api yang mulai meredup seakan-akan menjadikan bayangan itu semakin besar dan akan menelan kampung halamannya.
“Katakan ini pada Ki Benawa di padukuhan induk, cepat!” perintahnya kepada orang yang kurus. Lalu melompatlah orang kurus itu ke punggung kuda dan bergegas memacunya menuju pendapa padukuhan induk.
Tidak lama kemudian, Ken Banawa yang ditemani Bondan serta Gumilang telah berkuda menuju gardu pengawas di tepi luar Pedukuhan Karangan. Raut wajah Ken Banawa terlihat tegang walaupun pengalamannya berperang banyak membantu, tetapi seolah segalanya menjadi sempit kali ini. Ketegangan yang dirasakan memang tidak dikeluarkan dengan kata-kata. Semua yang memancar darinya adalah ketenangan. Bagi orang yang mengenalnya akan mengerti bahwa ketegangan yang membuncah dari wajahnya tidak selalu menjadi cermin suasana hatinya. Ken Banawa begitu tenang mengawasi bayangan yang sangat besar sedang merayap mendekati Pedukuhan Karangan.