Tanah yang menjadi alas pertempuran Bondan dan Ki Cendhala Geni terlihat banyak berlubang memanjang, ada yang sebagian berbentuk lingkaran dan berlubang sedalam lutut. Pohon yang tumbang dan dedaunan yang mengering di sekitar lingkar perkelahian, agaknya telah cukup memberi gambaran bagi Gajah Mada betapa dahsyat kekuatan dua orang yang dibanggakan oleh masing-masing kubu.
“Andaikata Bondan bersedia bergabung dalam keprajuritan Majapahit,” kata pelan Gajah Mada pada Ken Banawa.
Ken Banawa mengangguk lalu menyahut, ”Tetapi ia seringkali mengatakan tidak ingin menjadi prajurit.”
“Ketinggian ilmu ditambah ketajaman pikir yang hebat akhirnya dapat membuat Bondan sanggup menahan Ki Cendhala Geni sedemikian lamanya,” Gajah Mada memuji Bondan.
Ken Banawa mengiyakan dengan anggukkan kepala.
Gaung kapak Ki Cendhala Geni semakin menghebat namun kecepatan geraknya berubah menjadi lambat. Gaung kapak yang mengandung tenaga inti dirasakan Bondan seperti sebuah batu yang menghimpit dadanya. Selain itu pendengaran Bondan mulai terganggu dengan gema gaung yang seperti tusukan belati di bagian dalam telinganya.
Ketika perhatian Bondan sedikit teralih karena ia merasa harus meningkatkan daya tahannya, sebuah hantaman dari siku Ki Cendhala Geni dengan telak mengenai bagian rahangnya. Walaupun ia tidak sampai terjatuh namun Bondan terhuyung-huyung ke belakang. Ia masih sanggup bergerak menghindar dengan cepat saat Ki Cendhala Geni mencoba memburunya. Gaung kapak itu semakin menjadi-jadi dan kerap menyakitinya. Denging suara yang melengking tinggi pada bagian dalam telinganya serasa meledakkan kepala Bondan.
Namun Bondan tidak mau menyerah dengan keadaan seperti itu. Ia meningkatkan lagi daya tahannya bersamaan dengan darah yang mulai menitik keluar dari telinganya. Pada saat itu pendengaran Bondan telah berkurang kemampuannya untuk menangkap getar suara sekitarnya.
“Aku tidak dapat menghindarinya lagi,” hati Bondan berkata. Satu loncatan panjang, dalam keadaan melayang, ia mengalihkan segala kemampuannya pada pendengaran. Dengan cepat ia menutup dua matanya dengan ikat kepala. Ilmu yang didapatnya dari Mpu Gandamanik segera diterapkan untuk keluar dari tekanan yang dilakukan Ki Cendhala Geni.
Penglihatan Bondan telah tertutup rapat saat kakinya menjejak bumi. Darah yang mengalir dari telinganya telah berhenti mengalir. Satu usaha yang luar biasa telah dilakukan Bondan ketika mengalihkan urat syarafnya pada saat tubuhnya masih melayang, dan bersamaan dengan itu, tangannya bergerak untuk menutup dua matanya dengan udeng berlukiskan bunga dan kepala singa.
“Kau telah menunjukkan usaha dari semangat yang luar biasa untuk menjemput kematian, Bondan!” seru Ki Cendhala Geni. Sementara Ken Banawa dan Gajah Mada bertukar pandang karena mereka ingin tahu yang akan dilakukan Bondan selanjutnya.
“Aku akan mati, Ki. Tetapi aku tidak ingin melihat tangan dewa kematian terulur pada wajahku,” sahut Bondan kemudian melangkah maju.
Ki Cendhala Geni dan orang yang melihat Bondan menjadi terkejut. Bahkan Ken Banawa mulai khawatir ketika Bondan justru melangkah pada arah yang salah. Bondan tidak berjalan mendekati Ki Cendhala Geni, Bondan justru menuju bagian samping tubuh lawannya. Lalu terdengar Ki Cendhala Geni menertawakan Bondan.
“Buta! Lihatlah dirimu. Sebaiknya kau maki gurumu yang mengajarimu menjadi dungu!” Ki Cendhala Geni tergelak sambil menyuruh orang-orang melihat pada Bondan.
Bondan menghentikan langkahnya, lalu menengadahkan wajah sambil berkata,”Tidak seorang pun boleh menghina guruku kecuali orang-orang dungu.”
Tetapi Bondan tidak menjadi terpancing oleh lawannya yang sengaja membuat gusar hatinya.
“Bondan,” berkata Ki Cendhala Geni, ”sebenarnya aku ingin dapat berbicara denganmu. Aku dapat membuka hatimu apabila di masa itu kau memberiku kesempatan untuk berbicara.”
“Apa yang akan kau katakan?” bertanya Bondan tanpa mengubah sikapnya.
“Aku tidak mengerti pemikiran yang menyebabkanmu mengejar Prana Sampar. Sedangkan kau telah dapat memperkirakan jumlah emas yang berhasil dikumpulkan oleh mantri tua itu. Andai saja kau mau sedikit saja menggunakan nalarmu tentu saja kau dapat menikmati hidup tanpa kerja keras. Dan kau juga tidak perlu menghambakan dirimu pada Jayanegara,” kata Ki Cendhala Geni.
“Aku bukan seorang hamba yang dimiliki Jayanegara,” Bondan berkata, ”aku hanya tidak ingin mereka yang telah bekerja di sawah, pasar, perkebunan dan ladang tidak mendapatkan keadilan dari yang mereka usahakan. Sedangkan kau melakukan ini semua karena ketamakan.”
“Keadilan? Bukankah itu yang menjadi persoalan utama Jayanegara?” Ki Cendhala Geni sedikit gusar dengan tanggapan Bondan. Tetapi ia hanya melihat Bondan mengangguk kecil dan kembali berjalan gontai. Sesekali kakinya tersaruk saat melangkah.