Gelar itu mendatangkan kesulitan yang luar biasa bagi pasukan Raden Atmandaru. Sekali waktu mereka bertempur berpasangan, lalu tiba-tiba mereka bertukar tempat setiap kali Marmaya meneriakkan kata-kata tertentu. Pergeseran itu terjadi berulang, disertai kelebat senjata yang acapkali datang dari arah yang tidak terduga. Maka keunggulan ilmu kanuragan maupun hadirnya kembali tiga orang berkepandaian lebih dapat ditutup oleh gelar angka.
Keadaan yang mengejutkan Ki Dirgasana. Lelaki yang dipercaya Raden Atmandaru untuk melakukan serangan mendadak pun segera menghentak ilmu lebih tinggi. Serangan dadakan dilepaskannya dengan jari tangan terbuka, mencengkeram tumit Sayoga yang melakukan tendangan memutar. Bila tumit Sayoga tersentuh olehnya, remuk tulang adalah akibat yang pertama! Meski bukan sebuah hantaman atau tolakan yang dapat membelokkan arah tendangan, Sayoga mencondongkan tubuh lalu menarik kembali lontaran kakinya.
Selagi jarinya mengincar Sayoga, Ki Dirgasana pun menebas silang Ki Panuju. Gerakan itu betul-betul hebat! Ia menyerang Ki Panuju tanpa melihat tempatnya. Seolah tebasan tombak berlangsung tanpa sadar atau kebetulan. Meski begitu, Ki Panuju dapat menyelamatkan diri dari terjangan berbahaya itu. ia meloncat surut dengan lecut cambuk sandal pancing mengincar dada Ki Dirgasana. Serangan balik yang telah diperhitungkan waktunya, maka Ki Dirgasana menghindar jauh lebih cepat.
Tiga orang itu kini membentuk sebuah segitiga dengan Ki Dirgasana sebagai pusat peredaran dan sasaran utama bagi Ki Panuju dan Sayoga.
Rahang Ki Dirgasana mengeras, wajahnya begitu tegang dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat sangat cepat, seperti seekor burung sikatan menyambar, mendorong dua lawannya dengan serangkum angin tenaga cadangan yang luar biasa! Pukulan jarak jauh yang mengarah pada bagian tubuh yang mematikan.
Namun, sekali lagi, Sayoga dan Ki Panuju mempunyai kelebihan bahwa mereka adalah sepasang rajawali sehingga keduanya pun mengelak dengan sangat cepat. Mereka kemudian berloncatan menghindari Ki Dirgasana yang meluapkan serangan begitu membadai. Tetapi keadaan itu tidak dapat seterusnya dibiarkan, mereka tidak boleh membiarkan diri dalam keadaan dihujani serangan-serangan yang mematikan dan datang bertubi-tubi.
Ki Panuju dan Sayoga menyadari bahaya itu akan datang pula pada kelompok pengawal pedukuhan, walaupun mereka masih dapat menguasai keadaan, tetapi sepak terjang Ki Dirgasana melewati batasan yang ada dalam benak mereka berdua. Sekali waktu, mereka saling berbisik dengan kata-kata singkat dan diucapkan cepat. Lalu menjauh dari badai Ki Dirgasana yang belum reda membanjiri pertahanan mereka.
Sedangkan pada sisi yang lain, Ki Sudira tiba-tiba mengerutkan kening. Sepertinya ia sadar bahwa otak dari lawan mereka benar-benar terlindung di balik pergerakan pengawal pedukuhan yang aneh. Sedari tadi, perubahan gerak dan tandang para cecunguk ini selalu mengejutkan dan seolah dihentakkan dengan sesuatu yang ajaib, pikirnya untuk mencari tahu. Sebenarnyalah Marmaya dan Dharmana terus-menerus menyerukan kata-kata yang tidak dimengerti. Kadang-kadang mereka menyebut jenis binatang, di lain waktu ada angka yang diucapkan berurutan, maka Ki Sudira pun terpancing ingin membungkam tandang pengawal. Ia mencari-cari sumber suara, tetapi tak mudah didapatkannya karena sumber itu selalu berpindah-pindah tempat. Kadang Dharmana berteriak dari sisi kanan, lalu berpindah. Kadang-kadang Marmaya yang memberi perintah, lantas bergeser tempat. Gelar angka tiga itu sungguh-sungguh sulit dipatahkan.
Sejak Ki Dirgasana membadai dengan serangan-serangan dahsyat, walau lingkar pertempuran itu tidak terlalu dekat, tetapi kekuatan Ki Dirgasana sanggup mengendurkan daya tahan pengawal pedukuhan. Setiap kali mereka berada dalam jarak yang cukup dan beradu punggung, sambaran tenaga Ki Dirgasana tiba-tiba seolah dapat memukul mereka dari belakang. Dengan begitu, keteraturan gelar pun menjadi kacau.
Dalam waktu itu Santosa yang berkuda mendadak datang menerjang begitu kuat. Tiba-tiba ia memasuki gelanggang dengan cambuk yang menghantam ke segala arah. Sebelumnya ia melihat Dharmana yang terluka sekali-kali mengetrapkan tata gerak yang juga dikuasainya dengan baik. Sewaktu Dharmana berlindung di balik punggung dua orang, maka Santosa tahu pihak yang harus diserangnya. Meski begitu, ia memilih untuk mengurai keruwetan pertempuran agar Dharmana dapat meninggalkan mereka dengan seekor kuda.
Ki Sarkib meloncat dengan kekuatan dahsyat. Menyerang Santosa yang masih lekat pada punggung kuda. Serangan kilat itu benar-benar mengejutkan. Santosa tidak sempat menoleh pergerakan serangan, tetapi ia secara mendadak juga menghindar dengan melompat turun. Terlambat. Senjata Ki Tarkib menggores lengannya lebih cepat!
Daya juang pengawal pedukuhan naik dan turun secara cepat. Bila mereka gembira hati dengan kedatangan Santosa meski seorang diri, serangan Ki Tarkib menyadarkan mereka. Bahwa pertempuran di Gondang Wates masih jauh dari kemenangan walaupun mereka lebih menguasai keadaan.
Kesempatan dan kesempatan untuk mengurangi jumlah lawan pun tak kunjung datang meskipun tengah dinantikan oleh pengawal pedukuhan. Santosa yang cukup cepat mendapatkan luka semakin menambah beban pengawal. Namun keadaan itu bukan tidak diketahui oleh Ki Panuju maupun Sayoga, tetapi mereka pun sulit mengurai ketatnya terjangan Ki Dirasana yang silih berganti mengancam. Ki Panuju akhirnya dapat melihat bahwa sesungguhnya mereka berdua dapat mengambil waktu ketika meloncat jauh untuk menghindar. Siasat pun diungkapkannya pada Sayoga secara singkat di bawah tekanan yang masih menghebat. “Kita harus bergabung dengan pengawal,” bisik Ki Panuju. Sayoga mengangguk.
Ki Panuju memberi isyarat bahwa ia akan meghadang laju Ki Dirgasana bila orang itu memburu mereka, tetapi Sayoga menolaknya dengan gelengan kepala. Sayoga berpikir bahwa lebih baik dirinya yang membendung arus serangan Ki Dirgasana, sehingga Ki Panuju dapat memimpin para pengawal keluar dari carut marut pertempuran. “Ki Panuju tentu lebih baik dariku,” batin Sayoga mengingat bahwa ia tidak berpengalaman mengatur kerja dalam satuan perang.