Padepokan Witasem
Api di Bukit Menoreh, Agung Sedayu, Kiai Gringsing, cerita silat
Bab 4 Kiai Plered

Kiai Plered 47 – Gondang Wates

Ki Dirgasana tetap menekan Sayoga, sedangkan anak muda Menoreh itu bertanya-tanya dalam hati, siapa gerangan orang yang mendadak muncul dari balik kegelapan malam lalu mencari dirinya?

Sayoga masih dapat memberikan perlawanan yang berarti, pertanyaan Ki Panuju ternyata menggeser perhatiannya. Serangan tombak Ki Dirgasana menyusup di bawah juluran pedang kayu Sayoga, anak muda itu sedikit meliukkan pinggang, meloncat ke samping tetapi tidak dapat sepenuhnya menghindari ujung tombak. Kain dan kulit Sayoga tergores.

Dalam keadaan itu, KI Panuju seolah terbang secepat lontaran anak panah sambil memutar cambuk, membuat pertahanan rapat yang menutup bagian depan tubuhnya. Sepenuh tenaga ia meledakkan ujung cambuk tepat pada bagian bawah Ki Dirgasana. Bila musuhnya terus mengayunkan tombak ke Sayoga, tak pelak, Ki Dirgasana akan kehilangan anggota tubuh yang berbahaya. Maka Ki Dirgasana membuang arah tombak, menangkis serangan cambuk Ki Panuju dengan tebasan dahsyat.

Ki Panuju menyambutnya, sengaja mengadu senjata untuk mengukur kesungguhan Ki Dirgasana yang diperkirakannya menggertak.

loading...

Dua senjata saling menyambar dan bersambut!

Tubuh Ki Panuju terpental, seketika ia berjungkir balik selagi masih di udara untuk mengurangi kecepatan tenaga yang memantul. Sepasang kaki Ki Panuju terhuyung mundur dua langkah saat telah menginjak tanah. Sedangkan Ki Dirgasana juga terlempar walau tidak sejauh lawannya, tetapi ia sendiri dapat membuat perkiraan tentang kekuatan ilmu Ki Panuju.

“Bagus,” gumam Ki Dirgasana dalam hatinya dengan maksud bahwa ia telah mengetahui batas puncak pendatang baru itu.

Sayoga menyaksikan benturan itu dan dapat merasakan getar ledakkan telah berubah menjadi serangan bergelombang yang menjurus padanya. Ia memutar pedang dengan pengerahan tenaga dari Serat Waja agar arus liar tenaga dapat diredam, walau sedikit.

“Oh, ternyata engkau pun dari Perguruan Orang Bercambuk. Bagus, aku suka, aku suka!” Ucapan yang disertai seringai bengis itu ditutup dengan terjangan dari tombak yang berputar sungguh hebat. Angin tenaga yang keluar segera menghantam Ki Panuju secara bergelombang.

Tubuh Ki Panuju berkelebat menghindar. Ia memainkan cambuk, menutup diri dari serbuan dahsyat Ki Dirgasana yang seolah tak peduli lagi dengan keberadaan Sayoga. Ia yakin bahwa lelaki yang sebaya dengannya itu berilmu lebih tinggi dari Sayoga, meski demikian, Ki Dirgasana tidak kehilangan kewaspadaan. Ia tetap membuat lingkaran perkelahian mereka bertiga berada dalam jarak yang cukup dari perkelahian di samping mereka. Ki Dirgasana tidak ingin Sayoga tiba-tiba lolos dari jangkauannya lalu melabrak barisan pengikut Raden Atmandaru, sementara ia tahu Ki Sudira dan dua orangnya dapat menekan pengawal pedukuhan.

Sayoga bernalar tajam. Tubuhnya berkelebat lebih dekat dengan Ki Panuju. Melihat senjata Ki Panuju, Sayoga berkesimpulan pendek bahwa orang itu berada pada  kubu yang sama dengannya. Terlebih setelah menyaksikan benturan yang tidak main-main meledak di bawah matanya. Maka Sayoga mengeluarkan segenap kemampuan agar dapat mengimbangi gerakan Ki Dirgasana yang mulai memeningkan kepala.

Sayoga menggerakkan pedangnya begitu cepat hingga yang terlihat adalah sebungkus sinar hijau yang berkilauan bila terpantul cahaya obor. Dengung yang meluap dari kibas pedangnya begitu mengganggu pendengaran orang-orang yang berkelahi di samping lingkaran mereka. Pada waktu itu, Ki Dirgasana tak lagi dapat memandang sebelah mata kemampuan Sayoga.

Dua orang yang mengurung Ki Dirgasana sama-sama berkelahi sengit dengan kemampuan puncak masing-masing. Cambuk Ki Panuju terus-menerus mengeluarkan ledakkan yang membuat udara bergetar dan menyengat gendang telinga. Sedangkan Sayoga berdengung dengan nada lebih rendah dan halu namun mampu mengguncang rongga dada.

Puluhan orang yang bertempur di samping mereka bertiga mengalami kekacauan karena imbas dari perkelahian tiga orang berkemampuan lebih tinggi. Bahkan gelar yang dijalankan oleh pengawal pedukuhan pun porak poranda. Dua kubu yang berlawanan itu belum dapat melepaskan diri dari tekanan suara cambuk yang meledak-ledak, desing pedang kayu Sayoga yang sering kali mengejutkan mereka, ditambah kibas tombak Dharmana yang dirampas Ki Dirgasana yang mendecit tinggi. Gelar perang pengawal pedukuhan menjadi porak poranda, kepungan pengikut Raden Atmandaru pun seperti kendi berisi air yang jatuh dari ketinggian. Pecah lalu semburat. Ambyar!

Dharmana akhirnya tahu bahwa pendatang baru itu adalah cantrik Ki WIdura. Luar biasa, puji Dharmana dalam hatinya. Namun ia segera memusatkan perhatian pada pasukannya. Pada Marmaya, ia berseru, “Tiga, tiga, tiga!”

Gelar berangka yang diajarkan oleh Swandaru untuk membentuk susunan gelar yang terdiri dari tiga orang berpasangan, berpencar lalu saling menyambar dengan gerak yang berpindah-pindah. Tujuan akhir gelar adalah memisahkan lawan agar tak terhubung lagi dengan ikatan mereka. Swandaru membutuhkan waktu cukup lama untuk memberi mereka pengertian, cukup telaten dalam mengajarkan, dan pada malam itu, gelar itu menjadi satu-satunya pilihan dan harapan terakhir pengawal pedukuhan.

Wedaran Terkait

Kiai Plered – 83 Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 9 – Pedukuhan Janti

kibanjarasman

Kiai Plered 88 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 87 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 86 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 85 – Randulanang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.