Ledakan hebat terdengar dan menggetarkan tanah sekeliling mereka. Sejumlah orang pun roboh karena tidak dapat menahan gelombang dahsyat yang menghantam dada mereka. Dalam waktu yang bersamaan, tubuh Ki Sentot terhenti dan kakinya terbenam sampai batas mata kaki. Kekuatan raksasa yang muncul dari pedang Ken Banawa telah membuyarkan kepulan asap tipis yang panasnya sanggup membuat besi menjadi merah.
Ki Sentot tidak dapat menahan tenaga Ken Banawa dan dalam keadaan berdiri ia mengeluarkan segumpal darah kental. Ki Sentot merasakan tubuh bagian dalamnya telah remuk redam. Sekejap kemudian ia menancapkan pedang di dekat kakinya dan ia berdiri dengan bertelekan hulu pedang.
“Sangat disayangkan,” kata lirih terucap dari bibir Ken Banawa saat menghampiri tubuh Ki Sentot yang terlentang. Pengikut setia Jayakatwang itu mati.
Pertempuran lain di medan perang itu mulai susut. Meski masih ada beberapa perlawanan terutama dari kelompok prajurit yang tidak mau menyerah, namun pasukan Ken Banawa telah sepenuhnya menguasai keadaan. Berita kematian Ki Sentot yang telah tersebar di seluruh medan akhirnya meluluhkan semangat prajurit yang tidak rela menyerah.
“Ki Sentot telah tiada. Andaikata aku dapat memenangkan perang ini, namun itu tidak akan mempunyai arti lagi bagiku dan seluruh orang yang mendukung perjuangan Ki Sentot,” kata perwira yang membangkang perintah Ki Sentot. Hingga kemuIan di seluruh medan perang itu sudah tidak ada perkelahian yang terjadi kecuali perang tanding Bondan yang masih berusaha keras menundukkan Ki Cendhala Geni.
Para prajurit Majapahit dan pengawal Kademangan Sumur Welut mulai mencari kawan-kawan mereka yang terluka dan yang meninggal dunia. Di bawah cahaya matahari sore, mereka juga memberi bantuan pengobatan pada prajurit Ki Sentot.
Tiba-tiba mereka melihat debu mengepul tinggi dan derap kuda yang dipacu sangat cepat oleh serombongan orang yang berseragam.
Ki Rangga Ken Banawa segera berdiri paling depan untuk menyambut kedatangan pasukan berkuda yang belum terlihat jelas bentuk seragam mereka. Sebaris senyum terlihat di bibir Ken Banawa ketika ia telah melihat seragam dan bendera serta umbul-umbul yang berkibar-kibar dari pasukan berkuda itu.
“Gajah Mada,” lirih Ken Banawa berkata.
Seorang prajurit yang mendengarnya kemuIan meneriakkan nama Gajah Mada dan tempat asal pasukan berkuda itu datang. Serentak gemuruh suara nyaring memenuhi angkasa di atas padang rumput di lembah perbukitan.
“Ki Rangga.” Gajah Mada membungkuk hormat pada Ken Banawa setelah melompat turun dari kuda.
“Mereka telah menyerah,” kata Ken Banawa sambil menunjuk tempat para tawanan dikumpulkan. Gajah Mada berjalan beriringan dengan Ken Banawa untuk melihat keadaan para tawanan. Sedangkan pasukan berkuda yang datang dari Jenggala segera bergabung dengan para prajurit yang merawat mereka yang terluka.
Gajah Mada kemudian menoleh pada sebuah lingkaran perkelahian yang sangat luas. Keadaan itu menarik perhatiannya karena hanya di dalam lingkaran itu saja yang masih meneruskan pertempuran pada saat bagian lain telah selesai.
“Siapakah yang melakukan perang tanding itu, Ki Rangga?” bertanya Gajah Mada dengan sedikit memicingkan mata untuk dapat melihat sosok yang berkelebatan sangat cepat dan terkurung oleh debu yang tebal.
“Bondan sedang bertarung dengan Ki Cendhala Geni,” jawab Ken Banawa, kemudian berjalan melihat pertarungan itu lebih dekat.
Gajah Mada mengikutinya dari belakang seraya bergumam pelan,”Bondan.”
Ken Banawa mendengarnya, kemudian berkata, ”Apakah kau mengingat sesuatu, Gajah Mada?”
Gajah Mada menggeleng. Jawabnya, ”Tidak. Hanya saja aku tidak menyangka bila ia adalah orang terakhir yang berkelahi pada hari ini.”
“Ia adalah orang pertama yang bertempur pada hari ini,” berkata Ken Banawa, ” ia dan lawannya sama sekali tidak terlibat dalam kekacauan yang terjadi di segala medan.”
Dahi Gajah Mada berkerut. Ia berpaling pada Ken Banawa dan bertanya kemudian, ”Apakah itu berarti mereka telah bertarung sejak pagi?”
Ken Banawa mengangguk. Lalu keduanya berhenti dan menyaksikan perkelahian dari jarak yang cukup jauh.
Gajah Mada seolah tak percaya dengan perkelahian yang terjadi didepannya. Berulang kali ia menggelengkan kepala, sekali-kali ia mengelus keningnya. Menurut Gajah Mada, perkelahian itu telah melebihi tingkat orang-orang yang pernah dijumpainya terlibat perang tanding.