Ki Resa Demung menarik napasnya panjang-panjang mendengar kepongahan orang-orang bertampang kasar itu. Namun orang kedua dari perguruan Sekar Jagad itu tidak menanggapi begitu serius. Bahkan cenderung tidak mempedulikan ucapan-ucapan itu. Dia pun berjalan menghampiri kelompok prajurit Mataram yang terlihat cukup payah tersebut.
“Apakah tuan-tuan ini prajurit-prajurit Mataram?” bertanya Ki Resa Demung pada salah seorang yang menurutnya adalah pimpinan mereka.
“Sebenarnyalah, Ki Sanak,” jawab prajurit itu.
“Lalu ada apa dengan orang-orang itu?” tukas Ki Demung.
Prajurit itu hendak menjawab. Akan tetapi suaranya seperti terhenti ketika pimpinan orang-orang berbaju merah itu tiba-tiba mengumpat-umpat merasa tidak dipandang sebelah mata. “He…kau..! orang yang baru datang. Apakah kau tuli? Cepat kalian menyingkir dari sini atahu aku sendiri yang akan mematahkannya batang lehermu!”
“Tidak baik berkata-kata kasar seperti itu Ki Sanak,” sahut Ki Resa Demung, “bukankah akan lebih baik jika persoalan bisa diselesaikan dengan damai?”
“Kau tidak perlu sesorah di sini! Cepat enyah kalian semua dari sini atau mati!”
Ki Resa Demung kembali menarik napasnya.. “Ternyata benar kata orang selama ini. Kelompok warok Merak Abang mempunyai perangai yang kasar seperti yang tersiar kabar selama ini”
“Setan! Mulutmu tidak berhak menggunjingkan Merak Abang. Tapi jika kau sudah tahu siapa kami, kenapa tidak segera berlutut lalu pergi dari sini?”
“Sudahlah. Ki Sanak, kita tidak pernah ada silang sengketa, juga tidak saling mengenal, sebaiknya kita bicarakan baik-baik jika ada satu persoalan.”
“Dengar! Aku Ki Dadap Weru bukan seorang yang suka di atur-atur! Aku melakukan apa pun itu sekehendak aku. Dan hari ini aku ingin membunuh orang-orang Mataram!”
“Baiklah Ki Dadap Weru, aku tahu padepokan Warok Merak Abang adalah gudangnya orang-orang berilmu tinggi. Akan tetapi aku tidak ingin binasa begitu saja di tangan kalian untuk itu kami terpaksa membela diri dari setiap ancaman,” tukas Ki Demung
“Kau bukan prajurit Mataram, kenapa ikut campur?” sergah Ki Dadap Weru dengan hati yang gusar.
“Kau benar. Aku bukanlah prajurit Mataram. Akan tetapi aku orang Mataram. Bukankah kau bilang ingin membunuh orang-orang Mataram? Sudah cukup lama negeri ini tenang dalam kedamaian. Aku hanya tidak ingin suasana seperti ini terusik,” jawab Ki Resa Demung.
“Baiklah jika itu kemauanmu, jangan kau menyesal binasa di tangan Ki Dadap Weru!!”
“Kenapa harus binasa, Ki Sanak?” sahut Ki Demung, “bukankah kebinasaan manusia itu di tangan Sang Pencipta? Bukan di tanganmu.”
“Kau baru saja mencampuri urusanku!! Karena itu kebinasaan adalah pantas bagimu!!” geram Ki Dadap Weru.
Akan tetapi percakapan yang mulai memanas itu seketika terhenti. Pandangan mereka tiba-riba mengarah jauh pada kepulan-kepulan debu yang muncul dari beberapa ekor kuda yang berlari begitu kencang menuju tempat itu.
“Ki Lurah Meranti!” desis salah seorang prajurit peronda Mataram itu.
“Ki Lurah Meranti?” sahut Ki Resa Demung kemudian.
“Ya, Ki Sanak,” jawab prajurit itu, “Ki Lurah Meranti. Kepala Pasukan Mataram yang bertugas di Bendo.”
“Setan alas! Rupanya nyawa kalian harus aku tangguhkan!” Geram Ki Dadap Weru ketika mengetahui siapa yang datang. “Kau yang bernama Resa Demung, sayang saat ini aku sedang ada urusan yang terlampau penting. Suatu saat aku akan datang mengambil nyawamu!” lanjut pimpinan orang berpakaian serba merah itu.
Demikian setelah bersuit panjang diapun berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Disusul seluruh pengikutnya yang rata-rata bergerak dengan cukup tangkas.
“Gerombolan aneh,” desis Ki Resa Demung.
Demikian tidak dalam waktu terlalu lama rombongan berkuda yang disebut Ki Lurah Meranti pun tiba. “He, apa yang terjadi, Wilapa?” tanya Ki Lurah Meranti pada pimpinan kelompok prajurit peronda itu.
“Maaf Ki Lurah, kami tidak mampu untuk menahan apalagi menangkap pembuat ontran-ontran itu,” jawab prajurit yang dipanggil Wilapa.
“Apakah mereka dari wetan lagi?” sergah Ki Lurah Meranti.
“Entahlah, Ki Lurah. Mereka berkata dari kelompok Warok Merak Abang.”
“Warok Merak Abang?”
“Ya, demikian pengakuannya.”
“Kelompok Warok Merak Abang memang pernah berseteru dengan orang-orang Mataram waktu penyerangan Madiun oleh mendiang Kanjeng Panembahan Senapati. Tapi bukankah kelompok itu sudah sekian lama menyatakan tunduk pada Mataram, seiring manungkulnya Madiun dan Panaraga? Lalu kenapa sekarang berani membuat ontran-ontran?” desis Ki Lurah Meranti.
“Entahlah Ki Lurah, pada awalnya aku mendapat pengaduan dari beberapa orang lewat bahwa kelompok itu telah membuat keonaran di pedukuhan sekitar pategalan Pakis ini. Namun tak kusangka mereka orang-orang berilmu tinggi,” ucap Ki Wilapa.
Ki Lurah Meranti mengangguk-anggukkan kepalanya kemudian berpaling ke arah Ki Resa Demung yang belum dikenalnya. “Lalu siapa mereka itu, Wilapa?”
“Aku orang Kademangan Janti, Ki Lurah,” sahut Ki Demung serta merta.
“Kademangan Janti?” ulang perwira prajurit itu.
“Benar, dan pemuda-pemuda ini anak-anakku.”
“Siapakah Ki Sanak ini?”
“Namaku Demung. Orang-orang memanggilku Ki Resa Demung. Kami kebetulan melewati jalan ini pula dan melihat kejadian itu.”
“Lalu kalian hendak ke mana?” bertanya Ki Lurah Meranti kemudian
“Mataram.”
“Mataram?” sahut Ki Lurah Meranti. “Ada keperluan apakah kalian?”
Ki Resa Demung menarik napasnya. Orang nomer dua di Padepokan Sekar Jagad itu terlihat berpikir. Apakah dirinya akan jujur mengatakan tujuan mereka menuju Mataram. Namun pada akhirnya Ki Resa Demung berkeputusan untuk berkata apa adanya. Apa lagi kini yang dihadapinya prajurit-prajurit Mataram itu sendiri. “Sebenarnyalah anak-anak muda ini yang berkepentingan ke Mataram, aku hanyalah pengantar mereka,” lanjut Ki Demung.
Perwira prajurit itu termangu-mangu. Lalu katanya, “Jadi pemuda-pemuda ini…”
“Benar, Ki Lurah. Mereka berkehendak untuk mengikuti pendadaran prajurit di Mataram,” lanjut Ki Demung.
“Tunggu dulu. Pendadaran keprajuritan kali ini berbeda dengan yang sudah-sudah. Tentu jika kau berkehendak mengikutinya pasti kau tahu mengapa?”
“Aku tahu, Ki Lurah.”
“Baiklah, jka demikian kalian dari perguruan mana?”
“Kami dari dua perguruan berbeda. Aku sendiri dari Perguruan Sekar Jagad dan keempat pemuda itu dari Perguruan Randu Wangi di Alas Roban,” terang Ki Resa Demung.
Ki Lurah Meranti kembali termangu-mangu mendengar keterangan itu. Dia pun turun dari punggung kuda. Memang dalam lingkungan Mataram apalagi di kalangan para prajurit Mataram, nama Perguruan Randu Wangi, terlebih Perguruan Padepokan Sekar Jagad itu tidaklah asing di telinga mereka. Berkali-kali kekuatan kedua perguruan itu selalu menjadi sayap-sayap pasukan Mataram dalam menghadapi dan menumpas berbagai pemberontakan sejak zaman mendiang Panembahan Senapati. Oleh karena itu Ki Lurah Meranti sangat mengenali kedua perguruan itu. Maka perwira Mataram pun tergopoh-gopoh menghampiri Ki Resa Demung sebagai orang tertua di antara rombongan itu.
“Maaf, Ki Resa Demung, mungkin kedatanganku tanpa subasita. Oleh karena aku tidak tahu sebelumnya siapa kalian,” kata Ki Lurah Meranti.
“Ah..tidak perlu sungkan. Ki Lurah, tentu aku memahami sebagaimana seharusnya seorang prajurit menyikapi kewaspadaan. Apalagi Ki Lurah seorang yang paling bertanggung jawab di wilayah ini,” tukas Ki Resa Demung.
“Baiklah jika demikian. Marilah Ki Demung aku akan mengiring kalian ke Mataram.”
“Jangan begitu Ki Lurah. Jika Ki Lurah mengirng kami, tentu ini akan menjadi berlebihan.”
“Bukan seperti itu. Karena kebetulan aku sendiri harus ke kotaraja saat ini. Karena ontran-ontran yang baru saja terjadi itu harus segera sampai pada Sinuhun.”
“O, baiklah, jika demikian.. Marilah ,Ki Lurah,” desis Ki Resa Demung yang kemudian berpaling ke arah para anak muridnya untuk segera melanjutkan perjalanan. Namun orang tua itu menjadi terkejut ketika tidak dilihatnya batang hidung Jaka Tole. “He, ke mana anak itu, Wirantaka”
Wirantaka serta merta memandang berputar di seluruh sudut pategalan yang banyak ditumbuhi pohon Pakis itu. Hingga sampai pada sebuah grumbul-grumbul dimana terlihat sesosok bayangan anak yang di carinya.
“Tole, keluarlah! Kita akan melanjutkan perjalanan!” teriak Wirantaka.
Anak remaja itu pun keluar dari balik grumbul-grumbul itu lalu berjalan mendekati rombongannya,
“Di mana kudamu, Le?” lanjut Wirantaka.
Anak itu tidak menjawab. Namun tiba-tiba tangan kanannya melambai ke arah dalam pategalan yang cukup lebat itu. Serta merta satu ringkikan kuda terdengar disusul langkah kakinya menghampiri Jaka Tole.
“Sungguh aneh dan luar biasa!” desis Jaladara tiba-tiba, “kuda itu seperti mengerti dengan maksud anak itu.” Sementara Wirantaka hanya menjawab dengan mengangkat kedua bahunya.
“Siapa bocah itu, Ki Demung,” bertanya Ki Lurah Meranti.
“Dia salah satu cantrik di perguruan kami, Ki Lurah. Sengaja aku bawa untuk sekedar membantu jika mungkin ada sesuatu yang kami butuhkan.”
“O, begitu. Baiklah, Ki Demung, sebaiknya kita berangkat sebelum Matahari makin menggelincir,” desis Ki Lurah Meranti.
Pimpinan prajurit itu kemudian berkata pada anak buahnya, “Wilapa, cepat kau cari pedukuhan terdekat, cari tabib dan kalian rawat luka-luka kalian. Aku akan menghadap ke Mataram.”