Urung
Aku terduduk lesu di sudut ruang. Tampaknya usahaku kali ini akan menemui kegagalan. Hari ini gadis berkulit coklat itu akan mengikuti vaksinasi di puskesmas tak jauh dari sini. Dia telah memantapkan hati untuk pergi meski kedua tanganku kuat menahan kedua langkah kaki.
Ah, sial!
Tak berbilang waktu aku menempati hati dan pikirannya. Mempengaruhi agar dia selalu merasa ngeri pada jarum kecil yang menembus kulit tubuhnya serta cairan kental berbau mirip besi. Namun, semuanya berubah setelah kini dia mendengar ambulans meraung-raung setiap hari. Ditambah lagi pengeras suara masjid juga tak henti berbicara. Setiap waktu menyampaikan berita-berita duka. Karena itu dia berusaha keras mengenyahkan aku dari hati dan pikirannya. Bertekat sekuat baja, untuk membentengi tubuhnya dari serangan makhluk berukuran mini tak kasat mata.
Ke mana kini aku harus pergi jika dia tak lagi mengizinkan aku berdiam diri? Hatiku kian pedih melihat pohon palem mengangguk-angguk mengucapkan selamat datang padanya. Langit di atasku bermuram durja melihat aku terluka. Aku nyaris menyerah ketika tiba-tiba harapan menyembul tanpa aku duga.
“Ya, Allah, panjang sekali antriannya!” serunya dengan mata terbeliak.
Di hadapannya terpampang barisan manusia berdiri serapat sisir kutu. Panjang melingkar-lingkar menyerupai ular naga.
“Ini kesempatan bagiku!” batinku merasakan semangat kembali menyala.
Cepat aku melesat dalam pikirannya. Berulang-ulang aku tebarkan kengerian jika dia tak segera beranjak pergi. Mengurungkan niat hati untuk mengikuti vaksinasi. Ketika dia berbalik dan lunglai melangkah pulang, aku bersorak riang.
Yekti Sulistyorini, 30 Juli 2021