Ki Garu Wesi mendengarkan penuh seksama. Dia tidak ingin bertanya walau tidak sepenuhnya percaya pada ucapan pemimpinnya. “Selalu ada tujuan lain dari apa yang dikatakannya itu,” kata Ki Garu Wesi dalam hati. Meski demikian, orang itu tetap memandang Raden Atmandaru dengan sinar mata bertanya-tanya.
Pemimpin gerakan makar itu kemudian menangkap rasa penasaran Ki garu Wesi. Lalu Raden Atmandaru bertanya, “Apakah Kyai masih mempunyai kejanggalan atau sesuatu yang mungkin menghalangi pergerakan di Sangkal Putung?”
“Benar,” sahut Ki Garu Wesi. “Jati Anom begitu dekat dengan tempat ini. Besar kemungkinan Untara tidak akan melepas kita begitu mudah.”
“Untara pasti mengirim pasukan ke Sangkal Putung, tapi itu membutuhkan waktu. Maka serangan kilat yang berawal dari kerusuhan akan mempercepat kejatuhan kademangan. Kyai dapat bertahan lebih lama karena Untara tidak mungkin ceroboh dengan tiba-tiba menggelontorkan serangan dengan pasukan yang berjumlah lebih banyak. Mereka membutuhkan waktu untuk berhitung dan membuat pertimbangan karena kita akan menjadikan orang-orang biasa sebagai sandera.”
Memang demikianlah Raden Atmandaru menyusun siasat jangka panjang. Termasuk di dalamnya adalah pembebasan tahanan yang bertujuan agar selalu ada dari pengikutnya yang bersedia mengorbankan diri walau mereka tahu itu seperti bunuh diri. Namun langkah yang demikian pun dapat diterima kebanyakan pemimpin gerakan. Bahkan sebagian dari mereka telah memunculkan istilah laskar berani mati, termasuk Ki Garu Wesi sendiri.
Selanjutnya, di halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung, Dharmana berkata lantang ketika menyebut nama seorang pengawal sambil menunjuk arah Agung Sedayu.
Seorang anak muda yang disebut namanya oleh Dharmana tampak mencari jalan di bawah kelebat senjata yang terayun di udara. Dia begitu lincah menghindar terkaman lawan, berkelit di sela-sela gelar bertahan yang diperagakan oleh kawan-kawannya hingga akhirnya mampu mencapai tempat Agung Sedayu.
“Ki Rangga?” ucap anak muda itu dengan tatap mata tak percaya. Dia memang berharap besar ketika ledakan cambuk terdengar menggelegar tapi siapa sangka justru yang ditemuinya adalah Agung Sedayu? Mengapa bukan Swandaru?
Dalam waktu itu, jarak pengawal makin dekat dengan para perusuh yang telah berhamburan karena gempuran hebat Agung Sedayu. Dengan demikian, serbuan para pemberontak tidak lagi menjadi tekanan yang cukup besar menghimpit dada pengawal kademangan. Ketika pengawal kademangan telah mampu mengikat para pemberontak, Agung Sedayu mengarahkan Dharmana agar segera mengambil kendali pertahanan. Senapati Mataram tersebut lalu bergeser surut hingga depan pintu pringgitan. Dari tempat itu, senapati Mataram tersebut dapat melihat pertempuran dan keadaan secara lebih luas.
“Apakah kau tahu tempat Ki Swandaru ditahan oleh Pangeran Purbaya?” tanya Agung Sedayu sambil menarik lengan pengawal itu lebih dekat.
“Saya, Ki Rangga,” jawab pengawal yang kerap dipanggil dengan sebutan Singit oleh kawan-kawannya.
“Baiklah,” kata Agung Sedayu, “aku minta kau datang untuk menjemput Ki Swandaru. Katakan pada para penjaga bahwa Ki Rangga Agung Sedayu akan mengambil tanggung jawab jika Pangeran Purbaya menanyakan keputusan ini.”
Singit mengerutkan kening kemudian mengangguk.
“Marilah, aku antarkan sampai ke pintu samping halaman lalu segeralah berangkat,” perintah kemudian Agung Sedayu sambil meminjam busur dan anak panah milik Singit. Mereka lantas berjalan cepat. Sesampai di dekat pintu samping, Agung Sedayu melepas seekor kuda dari tambatan lalu menyerahkannya pada Singit. Sekejap kemudian, kuda yang dibedal Singit pun melaju ke utara, membelah jalan yang ramai dipenuhi orang.
Agung Sedayu, dengan tata gerak yang cukup indah, menjejak ranting yang terjulur, berloncatan lincah hingga dirinya berdiri tegak di atap rumah Ki Demang sambil menggenggam busur dan anak panah yang siap dilontarkan. Kakak seperguruan Swandaru itu menatap awas angkasa sekitarnya.
Setangkup waktu dihabiskannya dengan berada di atas rumah Ki Demang tapi Agung Sedayu tidak melihat lagi lontaran panah api yang mungkin saja mengarah ke tempatnya berdiri. Pada waktu itu, api yang membakar lumbung pun masih belum tampak mereda. Tentu saja itu adalah bagian sulit karena lumbung dan seluruh isinya adalah benda-benda kering yang memang mudah terbakar. Meski begitu, usaha segenap pengawal dan rakyat kademangan tetap dapat membendung nyala api sehingga tidak lagi dapat menjangkau lingkkungan sekitarnya.
Setiap kerusuhan pasti membuat lubang yang tidak terduga oleh kebanyakan orang, begitu pikiran Agung Sedayu sehingga dia melompat turun lalu memutari rumah Ki Demang dari balik halaman. Namun dia tidak mendapati pergerakan yang mencurigakan karena setiap perusuh dapat saja menyusup dari pintu butulan atau melompati dinding batu halaman belakang. Selang beberapa saat lamanya, Agung Sedayu mendengar bunyi ledakan dari bagian depan. “Apakah itu adalah suara cambuk Swandaru?” tanya Agung Sedayu pada dirinya sendiri. Untuk memastikan keadaan, maka dia pun mengayun langkah menuju bagian depan. Senapati Mataram ini kemudian melihat Swandaru benar-benar hadir di tengah-tengah pengawal kademangan yang dipimpin Dharmana. Kehadiran Swandaru rupanya mempersingkat waktu dan memudahkan tugas pengawal dalam mengendalikan kekacauan.
Sebelum Swandaru datang, Dharmana memimpin satu regu yang secara khusus mengikat seseorang yang dianggap berilmu tinggi dalam perkelahian terbatas. Dharmana, dengan segala kecakapannya, rupa-rupanya mampu memberikan perlawanan sepadan sehingga orang itu kesulitan menerobos masuk ke dalam rumah Ki Demang Sangkal Putung. Sehingga kedatangan Swandaru, pada malam yang hampir menginjak bagian akhir itu, seakan menjadi tanda bahwa kemenangan akan berada dalam genggaman. Swandaru segera mengambil alih lawan Dharmana lalu mengikat orang itu dalam pertarungan yang sangat ketat. Walau begitu, tandang lawan Swandaru memang benar-benar menyulitkannya. Pada perkelahian itu, Swandaru belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh ramuan yang dicekokkan oleh Nyi Gandung Jati. Ketika menjadi tahanan rumah, dia tidak banyak melakukan peregangan untuk melatih bagian tubuh untuk pertempuran keras. Keadaan itu memperburuk tata geraknya sepanjang perkelahian melawan pemimpin gerombolan.
Agung Sedayu melihat perkembangan di halaman depan, termasuk tandang Swandaru. Meski dia menyaksikan dengan kening berkerut disertai kepala yang menggeleng berulang-ulang, tapi Agung Sedayu mempunyai keyakinan bahwa adik seperguruannya pasti dapat menguasai keadaan. Oleh sebab itu, Agung Sedayu memutuskan untuk menemui Sekar Mirah karena dia sudah tak lagi mempunyai banyak waktu.
Di samping pintu, Agung Sedayu berdiri sambil menata sikap. Dia harus tampak tenang karena salah satu yang akan dihadapinya adalah karunia indah dari Yang Maha Kuasa. Pikirnya, dia harus mampu menjaga sikap agar putrinya tidak terkejut. Sejenak dia mengingat bahwa memang sejak kehadirannya di sekitar rumah itu, Agung Sedayu belum mendengar tangis bayi merah. Maka dia pun bertanya, apakah itu salah satu kehebatan Sekar Mirah ketika menaungi putrinya?
Agung Sedayu mendorong pintu lalu melangkah pelan dengan kemampuan puncaknya menyerap bunyi karena tidak ingin mengagetkan putrinya yang mungkin sedang tidur lelap. Hingga dirinya tiba di depan bilik Sekar Mirah, jantung Agung Sedayu berguncang hebat. Ada kegugupan di sana. Ada kebahagiaan yang tak terkira pula di sana. Bagaimana rupa anaknya? Bagaimana lengan dan kakinya? Bagaimana dengan keadaannya selama tidak berada di dekat ayahnya? Sekuntum rindu itu benar-benar menggetarkan kaki Agung Sedayu!
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya atau gratis. Kami hargai dukungan Anda atas jerih payah kami. Donasi dapat disalurkan melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah selesai. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA Terima kasih.
Ujung jari telunjuk Agung Sedayu pun mengetuk pintu tapi benda itu justru tertolak sedikit. Rupanya pintu itu tidak terkunci. Perlahan dan sangat berhati-hati, Agung Sedayu mendorong pintu lalu tampak olehnya Sekar Mirah duduk tenang sambil memondong putrinya dengan sebelah tangan. Satu tangan yang lain tegas memegang tongkat pendek warisan Ki Sumangkar. Dari sudut lain, Sekar Mirah adalah singa betina yang tenang mengamati lawan sampai masuk ke dalam jangkauan serang!
“Mirah,” desis Agung Sedayu.
Paras wajah Sekar Mirah membuncah bahagia tapi dia tidak dapat berkata-kata. Bibirnya memang bergerak namun udara tidak membawa nama Agung Sedayu. Hanya sinar matanya saja yang mengalirkan arus kerinduan dan kebahagian yang sangat mendalam. Jantung Sekar Mirah memukul rongga dada tanpa irama seperti beliung yang menyapu rimba belantara. Seperti debur ombak laut pasang, begitulah perasaan Sekar Mirah ketika seorang lelaki yang menyimpan asa tiba-tiba hadir di depannya.
“Mirah,” ucap lagi Agung Sedayu sambil menunjuk pada putrinya yang tenang memejamkan mata dalam dekap ibunya.