Bab 7 - Bara di Bukit Menoreh

Bara di Bukit Menoreh 56 – Satuan Khusus Agung Sedayu Siap Mengguncang Watu Sumping

“Hitunglah, lalu pisahkan menjadi empat bagian,” sahut Agung Sedayu. Kemudian dia memerintahkan Kinasih bergeser ke depan gubug, lalu katanya, “Kau cari busur dan kantungnya di sekitar tempat itu. Mungkin Ki Lurah Plaosan juga sudah menyiapkan sedikit perbekalan untuk menenangkan perut kita sambil melewati malam ini.”

Beberapa saat kemudian, mereka berempat duduk melingkar. Anak dan busur sudah berada di samping mereka. Sedikit api dinyalakan walau suasana belum dapat dikatakan cukup gelap.

“Selagi masih ada cahaya temaram, kalian dapat membersihkan diri di parit yang berada di sebelah sana,” kata Agung Sedayu dengan ibu jari menunjuk arah tertentu. “Kita lakukan bergantian.” Sukra menjadi yang pertama, kemudian Sayoga, diikuti Kinasih lalu ditutup Agung Sedayu.

Mereka kembali duduk dalam keadaan hening. Membuka jalur hubungan dengan Yang Maha Agung setelah memusatkan perhatian dan segenap perasaan. Seolah dapat merasakan bahwa waktu sedang mengambang cukup pelan, mereka sepertinya larut dalam buaian permulaan malam hingga gigitan nyamuk pun tak dapat dirasakan.

Adalah Agung Sedayu menjadi orang pertama yang kembali dari kesunyian. Tangannya membuka daun pisang yang membungkus pala pendem dan pisang yang direbus. Sesaat kemudian, dia menata nyala api unggun yang kecil tapi cukup memadai untuk membakar singkong. Sukra lantas mengambil alih pekerjaan Agung Sedayu. Dalam waktu itu, Agung Sedayu kemudian berkata, “Aku tidak akan berkata panjang. Hanya mengingatkan sedikit tentang kedudukan kita masing-masing lalu arah pergeseran. Seandainya terlihat nyala api dari arah Jagaprayan, aku minta kalian tetap tenang. Itu adalah pekerjaan pengawal pedukuhan bersama pasukan kotaraja.”

“Pasukan kotaraja ada di sini?” tanya Sayoga.

Agung Sedayu mengangguk. “Mereka datang di bawah pimpinan Pangeran Selarong. Bisa jadi, beliau mungkin bisa terlibat langsung di pedukuhan induk. Jagaprayan atau Nyi Pandan Wangi akan mendapatkan dukungan dari Jati Anom. Tapi, sekali lagi, aku minta kita berempat tetap dalam rencana.”

“Kami mengerti, Ki Rangga,” sahut Kinasih dan Sayoga serempak. Sukra? Diam seperti biasa dengan wajah datar.

Agung Sedayu kemudian bertindak sebagaimana mestinya orang yang lebih tua ketika menyampaikan beberapa pesan pendek. Dia sengaja melakukan itu supaya perasaan tiga anak muda tersebut tidak terlalu tegang dan menyingkat waktu yang cukup untuk istirahat.

Untuk pemesanan bumbu kacang/sambal pecel, Anda dapat menghubungi admin blog Padepokan Witasem. Harga khusus bila dikulak atau jumlah besar.

Lamat-lamat terdengar nyalak anjing hutan di kejauhan. Agung Sedayu lantas teringat pada Ki Grobogan Sewu yang mempunyai kemampuan mengendalikan anjing pemburu. Tanpa membuka mata, Agung Sedayu bersuara, “Apakah kalian sudah mendengar kisah pertempuran di Alas Krapyak? Tentang senapati yang dapat mengubah anjing pemburu menjadi prajurit terlatih?”

Tiga anak muda itu hanya membuka mata sedikit karena paham bahwa ucapan Agung Sedayu adalah pengiring waktu istirahat.

“Nama senapati itu adalah Ki Grobogan Sewu. Aku dapat menceritakan lebih banyak jika bahaya ini sudah berlalu. Selamat malam,” ucap Agung Sedayu.

Hanya Sukra saja yang menyahut, “Tidurlah, Ki Lurah.”

Kinasih dan Sayoga mengulum senyum. Lantas mereka berempat melepaskan penat dengan tata cara yang hanya diketahui oleh orang-orang yang berkecimpung pada dunia olah kanuragan saja. Mereka tidak benar-benar tidur tapi mampu mengistirahatkan otot, urat serta mengendapkan perasaan hingga titik terbawah. Kesadaran mereka tetap terjaga. Pendengaran mereka pun masih berfungsi secara wajar.

Binatang malam yang bersayap tampak terbang melintas di atas mereka berempat. Sebagian mengeluarkan bunyi berdecit. Dari arah yang lain terdengar suara berat burung pemangsa. Tonggeret masih bertahan dengan lengking panjang yang memekakkan telinga. Seluruhnya itu menjadi teman yang baik bagi Agung Sedayu serta tiga anak muda yang mendampinginya.

Walau Sukra sering menunjukkan sikap yang seolah tak peduli, tapi desah napasnya menjadi bukti bahwa dia adalah orang yang paling gelisah dari mereka berempat. Pikiran dan segenap perasaanya tertuju pada Wangi Sriwedari, bukan orang lainnya. Keadaan itu disadari dengan baik oleh Agung Sedayu dan Sayoga. Dalam pikiran dua orang itu, Sukra akan sulit menjalankan tugas di Watu Sumping. Maka penyesuaian terakhir yang dilakukan Agung Sedayu untuk perubahan kedudukan dan pergeseran tempat menjadi hal terakhir yang dilakukan demi keselamatan Sukra. Dia tidak akan dapat bertempur dengan tenang selagi pikirannya mengalir tumpah pada anak Agung Sedayu.

Sayoga sudah banyak mendengar tentang diri Sukra yang telah masuk dalam kehidupan Agung Sedayu ketika masih berusia dini – pada awal rumah tangga senapati Mataram itu dibina. Oleh sebab itu, Sayoga secara khusus meminta pada Agung Sedayu agar dapat berdampingan dengan Sukra. Agung Sedayu pun setuju karena jiwani Sukra yang belum cukup mapan menghadang bahaya yang mengintai Sangkal Putung.

Suasana di sekitar gubuk riuh dengan suara-suara binatang malam. Meski demikian, keadaan itu tidak mengurangi ketegangan yang merambat pelan di dalam dada empat punggawa kademangan. Setiap orang sibuk dalam pikiran masing-masing tapi mereka juga berusaha mengendapkannya. Masa depan Sangkal Putung dan sekitarnya akan diwarnai oleh kerja keras mereka. Tapi sebelum masa itu tiba, dapatkah setiap orang mampu memberikan yang terbaik untuk kademangan atau Mataram dalam cakupan lebih luas?

Kerlip bintang seolah berjarak semakin dekat saat Agung Sedayu membuka mata. Setelah mengamati kedudukan bintang-bintang, murid utama Kyai Gringsing itu bangkit kemudian berkata, “Semuanya, mari kita bersiap.” Pelan saja dia bersuara tapi tiga anak muda yang mendengarnya segera menyambut perintah dengan sigap.

Dalam waktu sekejap, setiap orang sudah bersiap menuju Watu Sumping. Agung Sedayu berjalan di depan dengan kecepatan yang diperkirakan dapat tiba di dekat Watu Sumping beberapa saat menjelang fajar. Di belakangnya adalah Kinasih, Sukra kemudian Sayoga. Mereka berjalan dengan tetap memasang kewaspadaan tinggi melalui kemampuan dengar yang dilipatgandakan. Begitu hening. Tak ada candaan dari Sayoga yang kadang-kadang menggoda Sukra dengan ucapan-ucapan konyol. Demikian juga Kinasih yang sering mengungkap perasaannya bila melihat lukisan-lukisan di alam bebas, tapi dia berwajah sungguh-sungguh sejak mereka menyusun barisan di gubuk tua sebelumnya. Pasukan kecil yang dipimpin langsung oleh Agung Sedayu itu lebih pantas disebut sebagai satuan khusus para siluman. Jejak kaki mereka nyaris tak terdengar. Itu bukti bahwa kemampuan mereka menyerap bunyi-bunyian sudah berada di atas rata-rata, terutama Sukra yang terhitung baru menapak dunia kanuragan.

Yang terhormat Pembaca Setia Blog Padepokan Witasem.

Kami mengajak Panjenengan utk menjadi pelanggan yang lebih dulu dapat membaca wedaran Kitab Kyai Gringsing serta kisah silat lainnya dari Padepokan Witasem. Untuk mendapatkan kelebihan itu, Panjenengan akan mendapatkan bonus tambahan ;

Kitab Kyai Gringsing (3 Jilid PDF) dan Penaklukan Panarukan serta Bara di Bukit Menoreh (KKG jilid 4) bila sudah selesai. Caranya? Berkenan secara sukarela memberi kontribusi dengan nilai minimal Rp 25 rb/bulan melalui transfer ke

BCA 822 05 22297 atau BRI 31350 102162 4530 atas nama Roni Dwi Risdianto. Konfirmasi transfer mohon dikirimkan ke WA 081357609831

Tanya Jawab ; T ; Bagaimana jika Kitab Kyai Gringsing Buku ke-4 sudah selesai? Apakah akan ada kelanjutannya?

J ; Kami selalu berusaha memberikan yang terbaik demi keberlangsungan kisah..

Demikian pemberitahuan. Terima kasih.

Fajar tampak merekah di batas cakrawala. Agung Sedayu dan pasukan kecilnya tiba di sisi luar Watu Sumping. Untuk terakhir kali, Agung Sedayu meminta tiga anak muda itu bersabar sampai ada tanda yang mengejutkan pasukan Ki Garu Wesi. Mereka mengikatkan diri pada pesan Agung Sedayu. Kemudian Sayoga dan Sukra segera mengambil tempat di bagian tenggara. Kinasih akan menutup jalan yang menyambungkan Watu Sumping dengan bagian barat atau arah ke wilayah Tanah Perdikan Menoreh.

Pada waktu itu, hampir setiap orang di kademangan hingga pengawal pedukuhan – termasuk Sayoga dan Sukra, Kinasih dan Dharmana, Pangeran Selarong dan Pandan Wangi – sudah bersiap menyambut kegemparan yang berawal dari pergerakan murid tertua Kyai Gringsing.

Kisah Terkait

Bara di Bukit Menoreh 11 – Saksi Kematian Pengkhianat

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 27 – Menguak Kecurigaan Kepatihan sebagai Persinggahan Pemberontak

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 17 – Kademangan Sangkal Putung Terguncang!

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.