Padepokan Witasem
Bab 7 - Bara di Bukit Menoreh

Bara di Bukit Menoreh 17 – Kademangan Sangkal Putung Terguncang!

Benturan keras antara kelompok Bunija dan Ki Sarjuma pun mengalami perubahan dan pergeseran tempat. Susunan gelar pengawal kademangan cepat menyesuaikan diri dengan tekanan lawan yang semakin meningkat. Mungkin itu dapat dianggap sebagai perang brubuh tapi barisan pengawal kademangan tetap mengalir dalam susunan tertentu. Kadang-kadang dalam empat atau lima langkah, pengawal kademangan menempatkan diri pada salah seorang di antara mereka seperti ngengat yang tertarik cahaya api. Namun, sekejap kemudian, mereka cepat menyebar ke segala penjuru dengan sabetan senjata tanpa pilih-pilih lawan. Melalui  gelar rumit seperti itu, maka pengawal kademangan pun seakan-akan terbagi menjadi banyak kelompok yang terus menerus berubah susunan anggotanya.  Mereka menguncup dan mengembang sesuai aba-aba dari Bunija.

Tata gerak dan keterpaduan mereka tak mungkin dapat terjadi dalam waktu semalam seperti pendirian Candi Prambanan. Tidak, mereka terus berlatih dengan orang-orang yang sama sejak Pangeran Purbaya mengirimkan pesan pada Ki Untara. Para petugas sandi Mataram memberi laporan pada Pangeran Purbaya melalui jalan yang berlainan dan laporan mereka pun selalu memperlihatkan pada persamaan : para pendukung makar tetap mengembangkan siasat serta rencana sesuai keadaan dan kedudukan mereka.

Dalam pemikirannya, Pangeran Purbaya memperkirakan bahwa sejarah akan berulang. Itu berarti Tanah Perdikan Menoreh dan Sangkal Putung akan menjadi perhatian utama para pemberontak. Oleh sebab itu, secara khusus meminta Ki Tumenggung Untara untuk mengembangkan kemampuan pengawal Sangkal Putung melalui latihan-latihan yang sedikit lebih rumit.

Demikianlah, pada malam ketika Parijoto dan kawan-kawan berharap bala bantuan segera datang lalu mereka mendapatkan kebebasan, justru pengawal Sangkal Putung menjadi batu cadas yang paling sulit disingkirkan.

loading...

Namun, sejurus waktu setelah lengking suitan mengudara, tampak beberapa panah api melesat melampaui perbatasan. Sejenak kemudian langit pedukuhan induk tampak memerah. Asap hitam masih terlihat tipis ketika berusaha meraih kaki-kaki langit.

Agung Sedayu seketika meningkatkan serangan dengan pukulan yang berlambar tenaga cadangan sehingga Ki Sarjuma harus menghindar jauh-jauh. Agung Sedayu melontarkan pandangan ke arah pedukuhan meski sadar bahwa lawannya dapat saja keluar dari gelanggang atau menghentak serangan lebih keras. Tidak ada yang lebih penting dalam pikirannya selain keselamatan dan keamanan seisi pedukuhan induk. Maka waktu sempit yang didapatnya pun menjadi kesempatan mengamati laju panah api yang jelas terlontar dari sisi barat pedukuhan induk. Pemimpin pasukan khusus itu kemudian bertanya pada dirinya sendiri, “Mungkinkah itu mengarah ke lumbung-lumbung yang berada di sisi sungai?”

Waktu yang sangat sempit itu pun digunakan sebaik-baiknya oleh Ki Sarjuma untuk memberi aba-aba pada anak buahnya agar cepat melepaskan diri. Walau sebagian saja dari mereka yang dapat meninggalkan gelanggang, tapi itu sudah cukup bagi Ki Sarjuma daripada kehilangan seluruhnya. “Lagipula, aku pun tak bakal selamat seandainya lawanku itu adalah Agung Sedayu. Konyol dan sangat tidak berguna bila tetap bertarung melawannya. Mereka pun tidak akan mengejar bila ada dari anak buahku tiba-tiba melepas ikat perkelahian,” gumam Ki Sarjuma dalam hati dengan segenap keyakinan.

Tepat dengan yang diperkirakan sebelumnya, maka Agung Sedayu segera memerintahkan para pengawal agar mengendurkan tekanan. “Bunija! Perhatikan  tawanan. Amankan mereka! Sebagian segera ke pedukuhan induk!” seru Agung Sedayu. Lalu senapati Mataram itu mengalihkan perintah pada Sukra, “Serahkan mereka padaku atau biarkan kabur!”

Bunija tangkas mengatur pengawal kademangan sesuai perintah Agung Sedayu, sementara Sukra pun mengurungkan niat ketika hendak menangkap salah satu dari penunggang kuda yang mengepungnya. Sekejap kemudian, anak muda Tanah Perdikan itu segera berlari cepat menuju sumber kebakaran bersama-sama sebagian pengawal. Di belakang mereka adalah tawanan yang berada di bawah penjagaan Bunija dan lima pengawal kademangan.

“Ki Rangga,” sapa Bunija dan kawan-kawannya ketika melewati Agung Sedayu. Pemimpin pasukan khusus itu mengangguk sambil memberi tanda agar mereka terus bergerak.

Tak lama kemudian, hanya Agung Sedayu seorang diri yang berada di bekas gelanggang pertempuran singkat itu. Dia berdiri beberapa saat untuk memastikan iring-iringan Bunija dapat memasuki wilayah pedukuhan induk tanpa gangguan lagi. Agung Sedayu menebar pandangan dengan hati sedikit gelisah. Pedukuhan induk terguncang lagi, lalu bagaimana dengan Sekar Mirah dan anaknya? Tentu saja keadaan pedukuhan induk dapat menjadi lebih buruk, maka hati Agung Sedayu pun semakin dicekam gelisah dan kecemasan yang sangat mengganggu. “Sekarang, aku pikir sebaiknya memang lebih baik melihat dulu keadaan mereka berdua,” ucap Agung Sedayu pada dirinya sendiri sambil membayangkan paras Sekar Mirah dan anak perempuannya.

Sekejap kemudian, Agung Sedayu memecah malam seorang diri. Dia melompati parit, menyeberangi pategalan dan memotong pekarangan-pekarangan dengan gerakan yang sangat ringan. Senapati Mataram itu tidak ingin menampilkan diri di jalan-jalan utama pedukuhan. Meski keberadaan dan kehadirannya akan menjadi perbincangan di antara pengawal lalu menjangkau lebih banyak orang lagi, Agung Sedayu tetap memilih untuk jalan sunyi dengan pertimbangan tertentu.

Dalam waktu singkat, gardu yang berdekatan dengan regol rumah Ki Demang Sangkal Putung telah terlihat olehnya. Tampak pula para pengawal dan peronda yang sibuk dengan tugas pengamanan dan pemadaman api yang membakar lumbung. “Mungkin seperti inilah yang mereka inginkan,” gumam Agung Sedayu dalam hati. Jalan pikiran Agung Sedayu memperkirakan bahwa Raden Atmandaru memerintahkan para pengikutnya agar terus menerus membuat kekacauan yang berdaya jangkau cukup luas. Kemudian ketika kabar kekacauan semakin meluas, maka besar kemungkinan akan diikuti dengan gagasan yang sama di tempat lain. “Itu sama juga dengan meruntuhkan kepercayaan orang-orang pada Mataram yang gagal menjaga keamananan dan perdamaian,” ucap Agung Sedayu dalam hati. Lebih lanjut dalam pikirannya muncul kekhawatiran bila dilakukan dalam waktu yang panjang, yaitu sejak masa hidup Panembahan Hanykrawati sampai pemimpin setelah beliau.

“Kerusuhan demi kerusuhan akan menjalar seperti ranting yang terbakar hingga kemudian menumbangkan batang pohon,” desah Agung Sedayu lalu menghela napas dalam-dalam. Dalam waktu itu, Agung Sedayu tidak segera memasuki halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung. Dia masih merasa belum cukup membuat pengamatan karena musuh atau pengkhianat dapat berada di segala tempat.

Sejumlah regu pengawal tampak melintas lalu berpencaran menyisir lorong-lorong pedukuhan. Agung Sedayu dapat menduga mereka sedang mengalihkan perhatian atau membuat langkah-langkah penghadangan seandainya ada orang yang dicurigai sebagai pembakar lumbung.

Jantung Agung Sedayu tiba-tiba tersentak ketika lengking tangis bayi menerobos malam yang terguncang itu. Sejenak dia ingin menjemput putrinya dengan perasaan tergesa-gesa, tapi, sekali lagi,  segala pertimbangan tetap harus ditempuh demi keselamatan keluarganya sendiri. Untuk sementara waktu, Sekar Mirah dan putrinya memang berdiam di tempat tinggal Ki Demang Sangkal Putung. Setiap orang mengetahui keadaan itu tapi seandainya berita bahwa Agung Sedayu pernah hadir di rumah tersebut, besar kemungkinan orang-orang jahat dapat menjadikan Sekar Mirah dan putrinya sebagai sandera. Itulah adalah harga terburuk yang harus diterima Agung Sedayu jika nekat menerobos keramaian lalu diketahui banyak orang.

Namun semakin lama ternyata kesibukan di halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung semakin meningkat. Para peronda dan pengawal saling bertukar keterangan di sekitar rumah Ki Demang. Bahkan sejumlah orang dari pedukuhan dan dusun yang dekat dengan pedukuhan induk yang datang membawa bantuan pun berkumpul di sekitar kediaman.

Perkembangan yang sulit dinalar, pikir Agung Sedayu. Meski tidak masuk akal karena kebakaran lambat laun mereda sedangkan orang-orang yang berdatangan semakin banyak, Agung Sedayu berharap kejanggalan itu segera diketahui oleh penanggung jawab keamanan. Namun, seandainya mereka lengah? Pemimpin pasukan khusus tersebut sedang memikirkan jalan keluar untuk itu. Mereka, orang-orang yang datang dengan bantuan, tentu saja tidak bodoh dengan terburu-buru memperlihatkan jati diri sesungguhnya. Mereka berduyun-duyun datang dan hanya kecermatan saja yang dapat membedakan antara penolong sesungguhnya dengan yang menyamar.

Benar, Agung Sedayu berulang-ulang menebar pandangan dengan kening berkerut. Dia penasaran melihat beberapa perempuan yang datang membawa seikat padi atau benda lain tapi juga menggandeng  bocah di bawah sepuluh tahun. Pada jurusan lain, seorang lelaki muda beriring-iringan denagn lelaki renta sambil memikul beras atau barang sandang. Apakah barang sandang memang dibutuhkan sementara kebakaran belum menjangkau rumah-rumah penduduk? Selain itu, senapati Mataram tersebut juga curiga ketika mereka tiba-tiba meninggalkan orang tua atau anak kecil lalu di dekat halaman lalu memisahkan diri ke beberapa arah. Sebagian bahkan menempatkan diri lebih dekat dengan rumah Ki Demang Sangkal Putung. Sepertinya mereka pun menunggu sesuatu atau tanda tertentu sebelum benar-benar menjalankan niat sesungguhnya.

Wedaran Terkait

Bara di Bukit Menoreh 9 – Pertempuran pun Pecah di Pelataran Banjar

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 8 – Pembeda Itu Bernama Sukra

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 7 – Sukra dalam Pengamatan Agung Sedayu

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 6 – Agung Sedayu ; Benarkah itu Sukra?

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 5 – Agung Sedayu Mempermalukan Lawan!

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 4 – Agung Sedayu, Pemburu yang Diburu

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.