Perlahan aku melangkah masuk badan sungai. Berpasir, itu pendapatku ketika telapak kaki menyentuh dasar sungai. Semakin jauh aku berjalan meninggalkan tepian. Aku ingin berendam di tempat yang terletak seperempat dari seberang. “Beruntung,” aku bergumam dalam hati saat melihat batu dengan sisi datar. Aku dapat bersandar pada bagian itu.
Seorang perempuan datang hampir bersamaan denganku, hanya saja ia menempatkan diri di hadapanku. Sejenak kemudian ia melepas satu demi satu kain yang menutup tubuhnya. Demikian pula yang aku lakukan sebelum benar-benar merendamkan tubuh dengan menyisakan bagian kepala. Aku terpana ketika sekilas bentuk payudaranya tertangkap sudut mataku. Begitu besar. Menggelantung lalu ia tersenyum padaku.
“Apakah engkau ingin mempunyai bentuk dada seperti ini?” ia bertanya sambil mengangkat buah dadanya.
Aku tersipu, jawabku, “Tidak, Nyai. Maaf, saya sungguh-sungguh tidak bermaksud lain. Saya terkejut sekali. Di rumah saya, perempuan kami tidak ada yang menyamai Anda.”
“Tidak mengapa, Ngger. Tidak apa-apa. Payudara besar ini adalah karunia. Ia telah menjadi awal dari banyak kehidupan anak-anakku meski mereka tidak mempunyai kesempatan untuk berumur panjang.”
“Oh, ampuni saya, Nyai. Maafkan saya bila telah mengungkit kembali kesedihan Anda.”
“Aku tak lagi mempunyai kenangan. Kematian anak-anakku telah berlalu. Mungkin mereka tengah melihat ibunya dengan senyum bahagia. Kau tahu alasannya?”
“Saya tidak berwawasan seluas Nyai.”
“Keturunan Han Rudhapaksa selalu dapat mengambil hati orang-orang.”
“Saya sungguh-sungguh dalam setiap ucapan, Nyai.”
“Itulah alasan orang-orang menaruh hormat pada Han Rudhapaksa lebih tinggi daripada penghormatan pada ayahmu.”
Kami kemudian menghanyutkan batin pada tujuan masing-masing. Aku tidak banyak meminta padaYang Tak Terbantahkan karena itu pesan kakekku. Sesekali aku tenggelamkan seluruh tubuh telanjang dengan mantra puja yang aku ucapkan dalam hati. Sekali waktu aku membiarkan udara malam memenuhi ruang kepalaku. Dan benar yang dikatakan kakekku bahwa sang hyang tirta selalu memberi sentuhan yang berbeda dalam setiap kedudukanku, dalam setiap puja mantra yang aku ucapkan, dalam setiap bayangan-bayangan yang menempati isi hati dan benakku.
Tanduk kerbau menggaung pendek berkali-kali. Itu berarti kami mendapatkan kesempatan untuk bernapas atau memulihkan diri dari keadaan masing-masing. Aku merasakan dingin yang menyakiti tulang pada bagian punggung, tetapi pada bagian di bawah perut terasa begitu panas. Aku menderita gatal di sekitar kemaluanku.
“Apakah ada yang salah?” aku ingin bertanya dan berteriak pada kakekku. Gatal-gatal itu tidak lagi terasa di bagian kulit saja, ia menembus bagian dalam kemaluanku. Apakah akau akan keluar dari sungai? Aku sedang berpikir tentang itu, tetapi tidak ada kain yang dapat menutup kemaluanku. Sebenarnya semua perempuan di sekitarku tidak akan peduli karena mereka begitu sibuk dengan kejadian-kejadian yang dialami tubuh masing-masing. Aku dapat saja keluar lalu berjalan ke tepi terdekat. Namun rasa malu menyergapku karena salah satu alasan, aku belum mempunyai penutup atau rambut pada kemaluanku.
Perempuan yang ada di depanku tersenyum menahan sesuatu yang tidak aku ketahui. Lantas ia bertanya dengan bibir bergetar – sepertinya ia kesakitan -, “Aku dulu pun seperti itu. Seperti yang kau alami sekarang. Bukankah engkau ingin meninggalkan tempatmu?”
Aku mengangguk.
“Mungkin engkau tidak akan lakukan itu karena rasa malu. Karena engkau belum ditumbuhi rambut kemaluan. Benarkah begitu?”
Aku mengangguk.
“Bila tiba waktumu dengan memutihnya rambut kemaluan, engkau tidak lagi menyimpan rasa malu.”
Aku mengerutkan kening.
“Bila engkau tahu yang aku rasakan sekarang ini, mungkin air mata akan membanjiri sungai. Aku bersumpah demi yang menciptakan kemaluan bahwa aku berkata yang sebenarnya.”
Aku mengerutkan kening.