Belum genap sehari setelah Panembahan Hanykrawati dikebumikan, langit Mataram masih berwarna kelabu seakan-akan tidak rela melepas kepergian orang terkasih untuk selamanya. Sekali-kali terdengar guruh yang menggema di balik gumpalan awan yang berlapis-lapis. Gerimis pun sepertinya enggan berlalu dan turut menangis bersama orang-orang Mataram.
Agung Sedayu sedang duduk di beranda bagian dalam dengan tatap mata menerawang jauh. Udara dingin dan suasana yang cukup sunyi membetotnya kembali ke beberapa waktu sebelumnya. Dia sadar bahwa belum sekalipun menengok Sekar Mirah dan putrinya yang baru dilahirkan. Gangguan yang disebabkan oleh gerakan Raden Atmandaru menempatkan Agung Sedayu dalam keadaan yang cukup sulit, tapi dia dapat menerima dengan lapang dada.
“Segenap keluarga keraton akan berkumpul,” kata Pangeran Selarong dari belakang punggung Agung Sedayu dengan nada rendah.
Agung Sedayu mengangkat wajahnya yang masih muram. Kemudian berucap, “Semoga tidak ada perselisihan dan semua berlangsung baik-baik saja.”
Pangeran Selarong mengangguk. “Saya kira sudah tidak ada waktu untuk memperpanjang perbedaan pendapat, Paman,” katanya, “Raden Atmandaru beserta pengikutnya masih menjadi ancaman nyata bagi Mataram. Perlu Paman ketahui pula bahwa Pangeran Purbaya pun sudah berada di kotaraja.”
Agung Sedayu menarik napas panjang. “Apakah itu berarti Sangkal Putung hanya mengandalkan kekuatan dari Jati Anom?”
Pangeran Mataram itu menatap tanaman hias di taman. Dia berkata kemudian, “Akan tampak seperti itu meski tidak seperti itu.” Ucapan yang penuh arti itu segera dicerna Agung Sedayu dengan nalar yang luar biasa. Lalu Pangeran Selarong berkata lagi, “Mungkin sebentar lagi Kakang Mas Rangsang akan mengajak Paman bicara empat mata.”
“Apakah Pangeran bertemu dengan beliau?” tanya Agung Sedayu.
Pangeran Selarong menyahut, “Ya. Dan saya katakan seperti yang saya dengar dari beliau.”
Agung Sedayu menduga bahwa pokok pembicaraan nanti adalah tindakan Mataram terhadap gerakan Raden Atmandaru, selain pergantian pucuk pemerintahan. Pemimpin pasukan khusus Mataram ini sudah mengetahui sebuah pendapat yang berkembang di dalam istana, bahwa Raden Atmandaru harus bertanggung jawab pada kepergian Panembahan Hanykrawati selama-lamanya. Dari pendapat tersebut, maka muncul gagasan untuk membalas dendam dengan hanya memburu Raden Atmandaru saja. Tapi sebagian orang memandang bahwa menumpas gerakan makar akan menjadi hukuman bagi Raden Atmandaru dengan sendirinya. “Aku belum bertemu dengan Ki Patih Mandaraka maupun Nyi Ageng Banyak Patra. AKu tidak dapat memutuskan hal ini sendirian,” kata Agung Sedayu dalam hati.
“Baiklah, saya kira pertemuan di bangsal utama akan dimulai. Saya harus pergi.” Pangeran Selarong memutar tubuh lalu melangkahkan kaki. Namun sebelum keluar dari beranda, dia berhenti kemudian berpaling pada Agung Sedayu sambil berkata, “Tetaplah di sini, Paman. Mungkin Kakang Mas Rangsang datang sedikit terlambat.”
Sepak terjang Bondan pada zaman Majapahit, menarik di simak. Di sini :
Agung Sedayu mengangguk dalam-dalam. “Saya akan berada di sini sesuai perintah.”
Pangeran Selarong tersenyum lalu berkata, “Baiklah, terima kasih.” Pangeran muda itu pun melambaikan tangan sebagai tanda akan meninggalkan tempat.
Agung Sedayu menarik napas panjang sepeninggal Pangeran Selarong. Gelisah menyergap hati senapati Mataram itu. dia tidak dapat berpangku tangan dan duduk diam ketika Mataram masih terguncang oleh dua peristiwa ; kepergian Panembahan Hanykrawati menyisakan perbantahan mengenai orang yang menjadi penerusnya, serta upaya makar Raden Atmandaru yang belum dapat diredakan. Lantas murid utama Perguruan Orang Bercambuk itu memandang dirinya sendiri maka muncullah bayangan Sekar Mirah dan keluarga lainnya. Keadaan yang cukup sulit tapi harus dipilih olehnya. Dia tidak mungkin membagi diri untuk dua kewajiban yang sama-sama besar.
“Paman Sedayu,” terdengar suara dari arah pintu yang dilewati Pangeran Selarong. Sekejap kemudian, Pangeran Mas Jatmika atau yang juga disebut sebagai Mas Rangsang tiba-tiba berada di tengah pintu. “Tentu Paman telah mendapat pemberitahuan sebelumnya.”
“Benar demikian, Pangeran,” ucap Agung Sedayu.
Pangeran Mas Rangsang melanjutkan ucapannya, “Paman pun juga pasti sudah mendengar bahwa di bangsal agung akan diadakan pertemuan.”
Agung Sedayu mengangguk dengan hormat.
“Sejujurnya, saya ingin bicara banyak hal dengan Paman. Tapi, sepertinya itu tidak dapat dilakukan pada saat ini,” kata Pangeran Mas Jatmika. “Orang-orang pasti sudah berada di bangsal agung. Meski dapat memulai pembicaraan tapi agaknya mereka pun menunggu kedatangan saya. Jadi, apakah Paman bersedia meluangkan waktu apabila saya mengundang setiap saat?”
“Saya bersedia, Pangeran.”
Pangeran, yang diajukan oleh sebagian orang untuk menerima tongkat kepemimpinan Mataram, itu lantas mengatakan bahwa ada kemungkinan masih ada yang tersisa dari pengikut Raden Atmandaru yang berada di lingkungan keraton. Maka atas alasan itu, Pangeran Mas Rangsang berpesan, “Saya tidak meragukan jangkauan Paman di bagian-bagian terlarang di dalam keraton. Hanya saja, saya minta Paman tetap waspada.” Usai berkata demikian, Raden Mas Rangsang berpamitan kemudian pergi menuju pertemuan.
Agung Sedayu mengangguk sekali lagi dengan selingan perasaan heran. Mengapa tiba-tiba dirinya enggan bicara banyak di depan Pangeran Mas Rangsang pada saat itu? Suami Sekar Mirah ini lantas termenung. Apakah ada yang salah dengan perasaannya itu? Apakah karena sang putra raja itu telah mengungkapkan bahwa mereka tidak mempunyai banyak waktu sehingga Agung Sedayu enggan banyak kata? Ataukah dia sendiri yang merasa sedang menonjol sehingga Mataram sangat berharap padanya? Keponakan Widura itu pun menghela napas panjang. Dia menekankan pada dirinya agar selekas mungkin keluar dari ombang-ambing pikiran semacam itu. Maka Agung Sedayu kembali memerhatikan belitan pendapat-pendapat yang berkembang di istana dan Kepatihan. Sedikit orang bercakap bahwa sebenarnya Ki Patih Mandaraka tidak berkenan apabila Pangeran Mas Rangsang yang menggantikan Panembahan Hanykrawati. Tapi, benarkan Ki Patih berpikiran seperti itu? Andaikan benar, Agung Sedayu hanya dapat berharap itu bagian dari hati yang terbolak-balik saja.
Sekali-kali masih terdengar suara guntur menggelegar. Rintik hujan turun membasahi jalan-jalan dan lorong-lorong yang terjulur di kotaraja. Warna kelabu masih belum menyingkir dari angkasa Mataram, tapi Agung Sedayu tidak ingin berlama-lama lagi di beranda yang terletak di sisi utara istana raja. “Sebaiknya aku menunggu kabar dari Pangeran Mas Rangsang di Kepatihan,” pikir Agung Sedayu. Maka dia pun menemui pengawal yang berjaga di dalam lalu mengatakan pesan-pesan tertentu. Sejenak kemudian, Agung Sedayu telah menuju Kepatihan dengan berjalan kaki. Pikirannya benar-benar penuh pada hari itu.
Setiba di Kepatihan, Agung Sedayu tidak segera masuk ke dalam bilik yang disediakan khusus untuknya apabila bermalam di kotaraja atas suatu keperluan. Agung Sedayu melangkah lebar menuju taman yang berada di halaman belakang. Kedatangan Agung Sedayu diketahui banyak orang. Oleh sebab itu, beberapa pelayan segera menyiapkan hidangan untuknya. Seorang prajurit muda tampak berjalan cepat menuju gardu prajurit yang terletak di sebelah selatan bangunan utama. Rupanya dia telah mendengar perintah Ki Demang Brumbung yang berpesan agar seseorang segera memanggilnya apabila Agung Sedayu berada di Kepatihan.
Ki Demang Brumbung bergegas mendatangi taman, lalu melihat seolah-olah ada beban berat yang sedang mendekam dalam pikiran senapati pasukan khusus itu. Namun tak banyak yang diucapkannya saat duduk di samping Agung Sedayu. Dalam pikirannya, senapati ini lebih cenderung menyiapkan diri sebagai pendengar. Dia tahu bahwa Agung Sedayu tidak membutuhkan nasehat atau kata-kata yang sudah kerap diucapkan oleh kebanyakan orang. Agung Sedayu akan mencari jalan keluar sendiri bagi kegelisahan atau keraguan yang sedang bergolak hebat di dalam hatinya, demikian keyakinan Ki Demang Brumbung.
“Ki Demang,” ucap Agung Sedayu sambil mengangkat wajah ketika orang yang disapanya telah berada di dekatnya.
Ki Demang Brumbung mengangguk lalu memandang pemimpin pasukan khusus yang sedang dirundung muram. Melalui gerakan tangan, Ki Demang Brumbung mempersilahkan Agung Sedayu agar mencicipi hidangan.
Agung Sedayu tersenyum, lalu mengambil sepotong ubi rebus tapi sepertinya tidak dapat menikmati hidangan hangat pada saat udara begitu dingin itu. Kemudian dia bertanya, “Bagaimana dengan keadaan di dalam Kepatihan, Ki Demang?”
“Bila Ki Rangga ingin mendengar pendapat pribadi saya, maka keadaan ini sudah terjawab dengan sendirinya,” ucap Ki Demang Brumbung.
Agung Sedayu menarik napas panjang kemudian manggut-manggut sambil mengembangkan senyum yang muram. “Mungkin tidak begitu tepat jika kita mengikuti pemikiran pribadi,” katanya. “Kadang-kadang kita terpengaruh oleh perasaan yang digerakkan sebab lain seperti kasihan atau pertimbangan-pertimbangan yang dipengaruhi masa lalu.
Ki Demang Brumbung menarik napas panjang, kemudian bergumam, “Pendapat telah terbelah. Saya kira kita hanya bisa menunggu. Ki Rangga, saya sebagaimana Anda adalah prajurit. Tapi saya adalah prajurit rendahan yang segala sesuatu hanya dapat mematuhi perintah atasan. Namun yang dapat membuat keadaan saya menjadi buruk adalah Ki Rangga tidak selalu dan selamanya menjadi atasan saya secara langsung.”
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya atau gratis. Kami hargai dukungan Anda atas jerih payah kami. Donasi dapat disalurkan melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah selesai. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA Terima kasih.
“Yah,” ucap Agung Sedayu berbarengan dengan hembusan napas yang cukup panjang. Kemudian dia berkata, “Seperti inilah keadaan kita sekarang. Ki Demang, tentu akan berkembang menjadi sulit apabila saya diminta untuk memilih, apakah berada di belakang Pangeran Mas Wuryah bersama Ki Patih Mandaraka atau menyatakan setia pada Pangeran Mas Rangsang? Pangeran berdua adalah sama-sama keturunan langsung mendiang Panembahan Hanykrawati. Saya kira apabila yang menjadi ukuran kelayakan adalah perbedaan usia, maka saya pikir Raden Atmandaru lebih pantas menurut pengakuannya sendiri. Atau mungkin Pangeran Mas Rangsang yang berusia jauh lebih banyak daripada Pangeran Martapura atau Mas Wuryah.”
“Jadi?” tanya Ki Demang Brumbung.
“Jadi, seandainya para pangeran bersatu lalu membahas permasalahan itu di antara mereka secara tertutup atau terpisah, saya yakin kekhawatiran akan lenyap dengan sendirinya. Tapi, yang membuat segala sesuatu seolah-olah berkembang tanpa kendali adalah pikiran-pikiran yang terungkap secara liar,” ucap Agung Sedayu menanggapi.
“Apakah mungkin kita berharap para pangeran sekalian dapat menyatukan pikiran dan hati?” tanya lagi Ki Demang Brumbung.
Agung Sedayu tersenyum sambil memandang wajah Ki Demang Brumbung yang tampak begitu polos. Senapati pasukan khusus itu paham bahwa Ki Demang Brumbung tidak mempunyai kepentingan atau keinginan pribadi dalam perbedaan yang mencuat di antara para petinggi Mataram. Sambil perlahan menepuk lengan Ki Demang Brumbung, Agung Sedayu berkata, “Tidak ada yang tidak mungkin selama kehidupan ini berputar, Ki Demang. Seperti yang Ki Demang katakan tadi, kita hanya orang yang lahir kemudian menjadi prajurit Mataram. Sehingga, setiap yang terjadi di tanah ini adalah tanggung jawab kita menjaga keseimbangan.”
“Kata-kata Ki Rangga sedikit sulit untuk saya pahami,” ucap lirih Ki Demang Brumbung. “Ungkapan yang sepertinya tidak ingin membiarkan orang-orang sekitar menjadi hanyut lalu turut membela salah satu pihak.”
“Seperti itulah, Ki Demang,” kata Agung Sedayu. “kita tidak dapat mati-matian mendukung pendapat yang searah dengan Ki Patih Mandaraka. Kita pun tidak mempunyai ruang untuk untuk memihak Pangeran Mas Jatmika. Kita hanya dapat menunggu sebelum menyerahkan segala sesuatu pada keadaan sambil berharap yang terbaik.” Setelah itu, Agung Sedayu sedikit menyinggung peristiwa yang nyaris serupa di masa lalu ketika Mataram mulai berkembang dan menyentuh lingkar kekuasaan Sultan Hadiwijaya.
Klik untuk membaca bab sebelumnya : Geger Alas Krapyak
2 comments
setia menunggu lanjutan kisahnya
setia menunggu berikutnya