Sedikit jauh dari Sabungsari, Sukra terlihat berlari cepat di belakang Glagah Putih. Percaya sepenuhnya pada Glagah Putih yang membuka jalan, Sukra memanfaatkan kesempatan untuk menyerang lawan yang berada di dekatnya. Sepasang lengan dan kaki Sukra menyapu kiri dan kanan. Meskipun ia begitu sibuk, Sukra tetap berusaha memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Namun, sebuah bayangan secara mengejutkan tiba-tiba menghadang laju Glagah Putih!
Ki Arung Bedander dengan gerakan yang mengagumkan mendadak memotong jalur Glagah Putih. Dalam waktu itu, Glagah Putih segera menyerang balik orang yang mempunyai kecepatan yang sama dengannya, mungkin. Seketika perkelahian pun meningkat sangat tajam.
Sedemikian cepat Glagah Putih dan Ki Arung Bedander berbaku hantam dengan tangan kosong hingga banyak prajurit Ki Sor Dondong yang terperangah. Mereka tidak menduga bahwa ternyata orang-orang Gondang Wates begitu cepat berada di antara barisan paling belakang. Bagaimana bila Ki Arung Bedander tidak segera menanggulangi Glagah Putih dan Sukra? Mereka tidak dapat berlama-lama dengan pertanyaan atau angan yang tidak membutuhkan jawaban karena Sukra melabrak dengan tandang yang menyakitkan!
Dengan demikian maka pertempuran pun bergolak di deret belakang pasukan Raden Atmandaru yang dibawahi Ki Sor Dondong.
Perkelahian Ki Arung Bedander melawan Glagah Putih berlangsung sangat seru. Namun begitu, mereka belum terlihat buru-buru mengungkap ilmu-ilmu simpanan. Meski berhasrat kuat untuk segera melumpuhkan Glagah Putih, tetapi Ki Arung Bedander tampak ingin menjajagi kemampuan lelaki yang berusia di bawahnya.
Serangan demi serangan Ki Arung Bedander mengalir dengan keras, tetapi yang menjadi lawannya adalah Glagah Putih – seorang prajurit sandi Mataram yang cerdas membaca pergerakan lawannya. Walau bertanding dengan tangan kosong, mereka berdua tetap menyimpan bahaya pada setiap pukulan dan tendangan. Dalam waktu itu, Glagah Putih dapat menduga bahwa Ki Arung Bedander belum melapisi pertahanannya dengan ilmu-ilmu yang tersimpan rapi di sepanjang pembuluh darahnya.
Laga mereka berkelok tajam ketika pengawal kademangan yang semula dipimpin Sabungsari tiba di dekat lingkar perkelahian yang berlangsung sangat ketat itu. Seorang pemuda yang dipercaya menjadi wakil Sabungsari lantas memandang sekitarnya. Ada dua lelaki muda yang bertarung sangat sengit. “Ki Sanak berdua!” serunya. “Siapakah yang bernama Glagah Putih?”
“Wetan!” Sukra menyahut dengan teriakan sambil menunjuk arah perkelahian Glagah Putih.
Glagah Putih melihat sepintas. Ia mengenali tanda yang memperlihatkan bahwa mereka adalah orang-orang dari Sangkal Putung. Glagah Putih meloncat surut, mengambil ruang aman dari serangan jarak dekat Ki Arung Bedander, katanya, “Akulah orangnya.”
“Ki Lurah Sabungsari terikat oleh sebuah perkelahian,” kata pengawal yang menjadi wakil Sabungsari.
“Baik,” sahut Glagah Putih. Ia menerjang Ki Arung Bedander dengan kekuatan besar dan tata gerak yang cukup rumit. Serangan itu sedikit mengejutkan Ki Arung Bedander. Meski tidak sedikit pun menurunkan tekanan, tetapi perubahan gaya Glagah Putih memaksanya untuk menyesuaikan diri. Ki Arung Bedander menjauhi lawan untuk membuat sebuah ancang-ancang.
Waktu yang sangat sempit segera dimanfaatkan Glagah Putih untuk memberi perintah pada rombongan pengawal kademangan.
“Emprit Neba!”
Jika dibandingkan dengan pasukan lawan yang berada di barisan belakang, jumlah pengawal kademangan memang tidak akan mencukupi untuk keadaan satu lawan satu. Pengawal Sangkal Putung tidak berkecil hati dan mereka bukan pula sekelompok penakut. Mereka menyambut perintah Glagah Putih tanpa keberatan.
Maka, benturan di bagian belakang pun menjadi semakin keras!
Para pengawal kademangan bertempur sangat garang. Kemampuan pribadi dari pengawal kademangan sebenarnya berada di bawah pasukan lawan. Namun, pada saat itu, hampir-hampir tidak terlihat perbedaan kemampuan pribadi yang mencolok. Keberadaan Glagah Putih adalah kelebihan yang tidak terduga. Sepupu Agung Sedayu ini cukup tangkas mengimbangi laga kasar Ki Arung Bedander tanpa meninggalkan kewajibannya sebagai senapati. Glagah Putih dapat memberi aba-aba yang mudah dimengerti pengawal kademangan. Apalagi, ketika para pengawal melihat Sukra yang bertempur dengan gerakan yang meledak-ledak, semangat mereka pun meningkat berlipat-lipat.
Dalam waktu itu, Ki Arung Bedander dapat membaca bahwa lawannya bukan orang sembarangan. Menghadang laju serangannya sudah cukup sulit, tetapi ia menyaksikan Glagah Putih tetap dapat mengendalikan pasukan Sangkal Putung. Maka, Ki Arung Bedander pun menyerang dengan bekal pengalaman. Hal ini menjadikan perkelahian mereka semakin dahsyat. Meski paham bahwa pertarungan belum meningkat pada penggunaan tenaga cadangan, Glagah Putih tidak dapat mengabaikan siasat lawan yang lincah berloncatan di antara kerumunan banyak orang yang saling mendesingkan senjata.
“Ini tidak main-main! Sedikit saja aku salah menempatkan diri, maka pengawal kademangan akan terkapar oleh kibasan lengannya,” desis Glagah Putih dalam hati.
Sementara itu, Sukra memaksa diri mengikuti gelar atau aba-aba yang sebenarnya ditujukan Glagah Putih pada pengawal kademangan. Pikirnya, ia harus memadukan tata geraknya dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam gelar pengawal kademangan. Jika ia tetap bertarung lepas dan bebas memilih lawan, maka Glagah Putih dapat saja gagal menahan barisan belakang. Dan bila itu terjadi, maka rencana Pangeran Purbaya tidak akan berjalan dengan baik. Sukra memantapkan diri. Bertempur dengan lincah dan tangkas. Sukra menggunakan pedang rampasan sebagai senjata, lalu memutarnya. Sulit bagi prajurit lawan untuk menembus pertahanan Sukra. Bahkan, mereka pun kesulitan menyentuh pengawal kademangan yang berkelahi di dekatnya. Pedang Sukra mampu menjangkau orang yang berada sekitar dua langkah darinya. Itu terjadi karena Sukra terus bergerak, berpindah, mengurung dan menyambar lawan seperti seekor burung rajawali. Maka yang terlihat kemudian adalah seolah-olah Sukra berkelahi di banyak tempat.
“Luar biasa hebat!” kata Ki Arung Bedander saat lawannya masih dapat menjaga keseimbangan. Ia mengerti sesungguhnya sangat sulit berkelahi di bawah hujan senjata sambil tetap melindungi orang lain, tetapi Glagah Putih benar-benar berbeda! Ini menjadi bukti kemampuan sebenarnya. ”Hebat, sungguh, sangat hebat! Ini akan menjadi perkelahian yang menyenangkan.”
Ki Arung Bedander mulai bersungguh-sungguh menghadapi Glagah Putih. Ia mulai mengetrapkan ilmu meringankan tubuh dan segudang kemampuan yang tersimpan dalam dirinya. Menyadari bahwa perkelahiannya akan berubah menjadi ajang perang tanding, maka Ki Arung Bedander mulai mendesak lawannya dengan gerakan-gerakan rumit yang berbahaya. Kadang-kadang segelombang angin menerpa punggung orang yang berada di dekatnya, baik pengawal kademangan maupun pengikut Raden Atmandaru, lalu mereka terjerembab atau terpental jauh.
Keadaan itu membuat kening Glagah Putih berkerut. Jika ia membiarkan Ki Arung Bedander bertempur secara liar atau tetap berada di tengah kerumunan banyak orang, maka pengawal kademangan dapat terluka. Dan itu hanya menunggu waktu saja. Namun pada sisi lain, Glagah Putih dapat mengerti bahwa pihak lawan pun dapat mengalami keadaan yang sama dengan pengawal kademangan. Secara keseluruhan, orang ini mungkin sedang menyiapkan diri untuk laga yang lebih berarti baginya, pikir Glagah Putih.
Mendadak bumi berguncang. Orang-orang nyaris kehilangan keseimbangan ketika derap banyak kuda memukul-mukul permukaan tanah.
Pasukan berkuda yang dipimpin Pandan Wangi begitu hebat membuat kejutan!
Mereka tidak langsung menyerbu lurus pada barisan lawan. Pandan Wangi membuat tanda agar para penunggang kuda membagi diri menjadi dua kelompok. Ketika telah melihat Glagah Putih, Pandan Wangi berseru sambil menunjuk seekor kuda tanpa penunggang yang berpacu di samping seorang pengawal berkuda, “Glagah Putih!”
Glagah Putih benar-benar terkejut! Ini sungguh-sungguh di luar dugaan. Seperti pertempuran yang telah berlalu, para senapati akan mengambil kesempatan untuk melakukan perang tanding. Tetapi, perintah Pandan Wangi, apakah ia akan menolaknya? Perintah Pandan Wangi adalah perpanjangan kalimat Pangeran Purbaya. Mungkinkah Pangeran Purbaya tidak menghendaki adanya perang tanding kali ini di pertempuran Gondang Wates? Perasaan Glagah Putih terguncang, bagaimana penilaian lawan padanya? Pengecut? Kabur kanginan?
Sepertinya kekhawatiran Glagah Putih tidak pernah terjadi. Pandan Wangi melabrak bagian lawan tempat Ki Arung Bedander berkedudukan. Sepertinya Pandan Wangi akan mengambil alih lawan Glagah Putih lalu mengikat perkelahian dengannya, benarkah?
Glagah Putih tidak mempunyai pilihan selain mematuhi perintah Pandan Wangi. Maka, Glagah Putih berkelebat, melayang ringan, menyambut kendali kuda yang disodorkan pengawal padanya. “Silahkan Ki. Atas perkenan Pangeran, Ki Glagah Putih mendapat perintah memecah lambung kanan pasukan lawan,” ucap pengawal itu sambil berteriak pada anak buah Sabungsari agar mengikuti mereka.
Sukra pun terperangah dengan ledakan baru yang ditimbulkan pasukan berkuda. Namun ia merasa bukan sebagai bagian kelompok Sabungsari, maka Sukra segera meleburkan diri pada pergerakan kelompok yang dipimpin Pandan Wangi. Seorang diri Sukra memecah kerumunan, mengurai jalur yang sulit agar semakin dekat dengan pasukan Pandan Wangi!
“Jancuk! Opo maneh iki?” geram Ki Arung Bedander yang kecewa karena gagal menguji kepandaian Glagah Putih. Rasa kecewa yang harus dibuang sejauh mungkin ketika Pandan Wangi semakin dekat padanya. Ia harus mempersiapkan diri untuk perkembangan baru. Meski demikian, ia semakin bertambah kagum pada keragaman siasat orang-orang Mataram yang tidak bertumpu pada satu bagian. Mereka mempunyai kelengkapan yang cair sehingga mampu mengikuti segala perintah panglimanya, puji Ki Arung Bedander dalam hati.