Berita kematian Ki Arung Bedander menggaung nyaring memenuhi Karang Dawa. Kejadian itu memberi pesan bahwa Pandan Wangi adalah lawan yang sangat tangguh. Tidak sedikit pasukan lawan yang terhempas lalu melayang seperti daun kering terhembus angina. Mereka cemas, siapa yang akan menjadi penghadang laju panglima wanita yang berkelahi bagaikan macan kumbang? Merayap senyap lalu menerjang seperti badai yang tidak terhalang.
Dengan perasaan geram, Ki Sor Dondong memandang pada arah Ki Arung Bedander terkapar. Sekejap kemudian, ia mendengar gemuruh yang terdengar seperti banjir bandang. “Pasti ada seseorang yang berada di belakang Pandan Wangi,” desisnya dalam hati. Siapa? Ki Sor Dondong melemparkan tanya ke dalam ruangan di pikirannya sambil menatap tajam orang-orang yang datang bergelombang dari pedukuhan. Rahangnya mengeras. Ia memberi perintah agar pasukannya segera menata barisan, menyiapkan gelar, kemudian Ki Sor Dondong meneriakkan aba-aba yang sangat mengerikan. Tidak ada ampunan bagi setiap orang yang melarikan diri dari gelanggang perang! Ki Sor Dondong bergerak dengan kecepatan terukur, melompati sejumlah anak buahnya yang bergerak maju menyongsong gelombang pengawal Gondang Wates yang telah mendapatkan perintah untuk menyerang!
Jauh hari sebelumnya, Ki Sor Dondong telah memperkirakan bahwa Gondang Wates akan memberi perlawanan yang sengit. Kecermatannya menilai keadaan patut dipuji, sebenarnya. Namun berdasarkan laporan petugas sandi yang menyusup ke dalam lingkungan pedukuhan, Ki Sor Dondong menyimpulkan bahwa hanya satu orang yang akan menjadi ancaman, Pandan Wangi. Ki Sor Dondong mengubah siasat karena percaya bahwa senjata rancangan Ki Astaman akan melumat semangat juang orang-orang pedukuhan. Kenyataan memberinya kejutan yang mengguncang seisi dada.
Dalam waktu itu, Ki Sor Dondong melihat kekacauan pada empat bagian yang ditempati pasukannya. Menurutnya, dalam pertempuran sesungguhnya, pasukan yang terbina melalui latihan-latihan perang yang disusun oleh Raden Atmandaru sudah memadai untuk menghadang dua atau tiga laskar prajurit Mataram. Tetapi yang tidak terduga olehnya adalah kehadiran sejumlah kecil punggawa Mataram. Ya, Sabungsari sedang berkelahi sengit melawan Ki Astaman. Pada sisi barat, ada keributan yang dipicu oleh sepak terjang Glagah Putih beserta pengawal berkuda Gondang Wates. Sedikit bergeser ke selatan dari pertempuran Glagah Putih, seorang anak muda bertarung dengan keganasan yang hanya dimiliki seekor singa betina yang kelaparan. Anak muda yang dapat dianggap nekat! Benar, Sukra menghantam sekelompok orang dengan serangan-serangan yang cukup dahsyat. Dan satu orang lagi yang sudah mendapat tempat dalam perhitungannya ; Pandan Wangi. Maka keheranan Ki Sor Dondong segera terjawab meski menyisakan satu pertanyaan, siapa penyusun siasat di belakang mereka?
Ki Sor Dondong mengabaikan nama Swandaru. Menurut pendapat Ki Sor Dondong, Swandaru tidak mempuyai kecakapan mengatur siasat perang. Swandaru tidak akan mampu menyusun rancangan rumit yang membutuhkan ketelitian tinggi. Agung Sedayu? Senapati dari pasukan khusus Tanah Perdikan Menoreh itu dikabarkan terluka parah akibat perkelahian di Slumpring. Sekali lagi, siapakah orang yang mampu meledakkan seisi Gondang Wates hingga sanggup membanjiri Karang Dawa dengan terjangan yang menggetarkan?
Meski perasaannya terpancing, Ki Sor Dondong sangat memahami bahwa keadaan yang bergolak tidak dapat dihadapi bersama api yang berkecamuk di dalam dadanya. Ia mengerti, pertempuran akan menjadi semakin dahsyat. Ia dapat memaklumi, bahwa jalan keluar telah tertutup rapat. Pertempuran tidak akan menyisakan seorang pun dari pasukannya. Bila tidak seperti itu, maka Gondang Wates akan berada dalam genggamannya. Ia juga telah sampai pada keputusan yang disuarakannya dengan nada mengerikan. Rawe-rawe rantas! Pateni, pateni sampai tuntas! Karang Dawa akan menjadi tanah yang dipenuhi mayat anak buahnya atau pengawal pedukuhan. “Wis bar, Cuk. Ayo dirampungke! Yang terbaring akan meninggalkan dunia dengan segala ratapan dan harapannya. Yang tersisa akan melihat kemenangan yang mulia,” seru Ki Sor DOndong yang disambut sorak sorai seluruh anak buahnya.
Dua pasukan yang berbeda jumlah bertumbuk dahsyat.
Saling serang, saling menggilas dan menghancurkan!
Pangeran Purbaya memandang benturan dari tempat yang agak tinggi. DI sampingnya telah berdiri Swandaru Geni. “Kau dapat melihat itu, tetapi jangan sekali pun engkau bergerak maju, Swandaru,” demikian perintah Pangeran Purbaya.
“Berdiri di tempat ini sudah jelas sangat tidak menyenangkan, Pangeran.”
“Apakah kau gelisah karena istrimu berada di tengah lautan senjata?”
Swandaru mengangguk tanpa suara.
Pangeran Purbaya mendesis tajam, “Swandaru, sejak kapan engkau mempunyai istri? Ketika aku menerima laporan dari penjaga regol, sungguh, aku jemu mendengarnya pada waktu itu. Aku ingin segera menendangmu keluar dari Mataram! Mengingat kebaikan-kebaikan ayahmu, kesetiaan Agung Sedayu, Ki Gede Menoreh dan Tanah Perdikan serta seluruh orang kademangan, aku harus memikirkan ulang keinginanku.” Pangeran Purbaya mendesah panjang sembari menimang pedang, sambil mengulurkan hulu pedang pada Swandaru, katanya, “Jika aku memintamu untuk bunuh diri dengan pedang ini, apakah kau akan melakukannya tanpa pertanyaan atau akan menyeretku dalam perbantahan?”
Swandaru bukan orang dungu. Ia mencegah dirinya untuk tidak mengucapkan kata yang mungkin akan dinilai Pangeran Purbaya sebagai perlawanan. Swandaru mengerti bahwa yang harus dilakukannya adalah diam.
Namun berdiam diri dan membeku di samping Pangeran Purbaya adalah siksaan tersendiri bagi Swandaru. Bagaimana ia dapat membiarkan Pandan Wangi bertukar darah di antara kelebat senjata yang berayun liar? Dalam kecamuk perasaannya, sungguh pun ia berulang-ulang menodai kesetiaan Pandan Wangi, tetapi perasaan cintanya jauh lebih hebat. Perasaan yang mendorongnya sangat kuat agar segera terjun menyelamatkan Pandan Wangi. Sepasang kaki Swandaru bergetar setiap kali ia menekan diri agar tetap diam. Sedikit pergerakan akan dapat menjadikan Pangeran Purbaya menjatuhkan keputusan yang mungkin dapat membuatnya lebih sengsara.
Seolah tahu isi hati dan pikiran Swandaru, Pangeran Purbaya berkata, “Tidak akan ada yang dapat kau perbuat selain menjaga perbatasan pedukuhan. Lakukan sesuatu jika kau mengerti maksudku.”
Swandaru memandang ke belakang serta bagian samping kiri dan kanan. Mengapa mereka tidak diperintahkan menyerbu? Bukankah pengawal kademangan yang berperang di Karang Dawa berjumlah lebih sedikit? Namun demikian, Swandaru berucap, “ “Pangeran sangat cermat membuat perhitungan.”
“Lakukan sesuatu untuk menebus kesalahan pada istrimu.”
Swandaru termangu-mangu, bukankah Pandan Wangi sedang bertempur di tanah lapang yang tergelar di hadapan mereka? Menebus kesalahan, bagaimana caranya? Ini perintah yang cukup gila, pikirannya membantah.
“Berapa lama waktu yang akan berikan padaku untuk menunggu?”
“Saya, Pangeran.” Swandaru memutar badan, berjalan menuju sebarisan pengawal pedukuhan. “Ikuti aku.”
Sang Maharani dengan Dyah Murti sebagai tokoh utama adalah tantangan yang tidak untuk ditaklukkan. Berteman dengan pribadi Dyah Murti akan menjadi pengalaman yang mengesankan bagi para pemburu ilmu kanuragan dari Sabang sampai Merauke. Sang Maharani tidak dikuasai oleh pertarungan-pertarungan biasa, tidak banyak dibumbui adu tenaga dalam atau ilmu meringankan tubuh. Sang Maharani tidak bicara tentang kesetaraan gender karena Rakai Panangkaran bukan penguasa anti sosial.
Padepokan Witasem mengedarkan tantangan bagi pesilat dunia maya untuk beradu nyali dalam suasana mistis!
Sejajar orang melangkah di belakang Swandaru yang masih menduga rencana Pangeran Purbaya berikutnya. Di simpang tiga, Swandaru membagi pengawal yang sengaja ditempatkan di kedalaman pedukuhan menjadi beberapa kelompok. Mereka telah membuka diri sepenuhnya untuk menerima perintah-perintah dari Swandaru. Pangeran Purbaya telah menyatakan keadaan itu, begitu pula Pandan Wangi yang menegaskan secara langsung di hadapan para pemimpin kelompok pengawal. Dengan demikian, suasana jiwani pengawal telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Atas perintah Swandaru yang mengurai mereka, para pengawal tanggap bahwa meronda wilayah adalah tugas yang tidak kalah seru dengan pertempuran di sisi depan pedukuhan. Mereka mengerti bahwa ancaman dan bahaya dapat datang dari segala arah.
“Oh, bodohnya aku!” umpat Swandaru dalam hati. Ia kemudian sadar bahwa perasaannya benar-benar mengacaukan jalan pikirannya. Sambil membayangkan seandainya Raden Atmandaru telah membagi pasukannya lalu menyerang dari arah Tanah Perdikan, tentu Gondang Wates segera musnah dari permukaan tanah. Oleh karena itu, Swandaru menepikan diri, mengambil jarak yang sekiranya dapat membuatnya sedikit lebih tenang tanpa meninggalkan pengawasan pada kewajiban para pengawal. Swandaru harus menerima keadaan. Ia harus memiliki kesetiaan yang setara dengan Pandan Wangi. Swandaru juga merasa, sudah saatnya untuk memberi kepercayaan sepenuh hati pada Pandan Wangi seperti Pangeran Purbaya yang menyerahkan kendali lapangan pada istrinya. Swandaru bertekad akan mengubah keadaan. Bila tidak, maka ia akan berhadapan dengan Agung Sedayu dengan ratusan kati rasa malu. Ia menghimpun tekad meski teriring pertanyaan, sanggupkah?
Mengingat kakak seperguruannya, hati Swandaru bertanya, “Kakang, di mana engkau berada?”
4 comments
Hebaaat, saluut Ki….
JazakAllah Khoiron Katsiron…
mantap Ki…….lanjut terus Ki
Pertempuran jiwani dan badani tergambarkan dengan seimbang, tidak ada bab yang menjemukan dari karya anda, Terimakasih Ki.
Saya merindukan anda mempertajam juga sikap jiwani durjana dan kemunafikan yang menurut saya anda kemas dengan santun.
terima kasih, ki