Sejujurnya, kehadiran prajurit Mataram adalah angan yang diidamkan untuk menjadi nyata. Seandainya mereka datang lalu bertempur di samping pengawal kademangan, sudah pasti, kemenangan akan mereka raih, demikian pendapat yang memenuhi pikiran Swandaru sepanjang waktu perang di Karang Dawa. “Kemenangan ini adalah pemberian Raden Atmandaru!” ucap ketus Swandaru dalam hatinya. Kemenangan yang justru membuatnya marah dan nyaris berteriak pada semua orang agar menghabisi lawan tanpa ampun pada waktu akhir peperangan!
Di luar pekarangan rumah bekel pedukuhan, Pangeran Purbaya berpesan agar dua pengiringnya tidak turut memasuki halaman. Mereka diperintahkan agar bergabung dengan para peronda yang sedang berada di gardu terdekat. “Selebihnya, kalian tidak perlu mengatakan sedikit pun tentang ini semua. Tidak perlu kalian berkata bahwa kalian menyertaiku pada awal malam ini. Mengerti?” ucap Pangeran Purbaya.
Dua pengawal Gondang Wates menjawab serempak, “Kami mengerti, Pangeran.”
Pangeran Purbaya seakan lenyap dari pandangan mata sebelum mereka mengatupkan bibir. Dengan gerakan tubuh yang sangat ringan, Pangeran Purbaya menyelinap lalu mengendap, mendekati Swandaru yang sedang berada di beranda rumah. Swandaru tampak duduk di atas lincak bambu dengan punggung tegak dan tangan bersilang di depan dada. Untuk sejenak waktu, Pangeran Purbaya mengamati suasana sekitarnya lalu berkelebat ringan, memasuki pekarangan dari arah yang dapat dilihat Swandaru Geni.
“Pangeran,” sapa Swandaru sesaat setelah bayangan Pangeran Purbaya jelas di matanya. Ia berdiri menyambut kedatangan putra Panembahan Senapati dan berusaha bersikap ramah. Namun begitu, Pangeran Purbaya dapat menangkap jelas sesuatu yang berbeda yang memancar dari paras wajah suami Pandan Wangi itu.
“Duduklah,” kata Pangeran Purbaya. Sejenak kemudian, ia menyambung ucapannya, “Apakah engkau keberatan bila kita bicara di dalam?”
Tanpa bertanya, Swandaru mengangguk lalu mengayunkan lengan sebagai tanda agar Pangeran Purbaya mendahuluinya.
Sejak duduk sebagai penanggung jawab benteng Gondang Wates, Swandaru menganggap kehadiran Pangeran Purbaya adalah sebuah kebetulan yang tidak ada campur tangan Mataram. Pendapat itu tidak berubah meski bara perang di Karang Dawa telah padam. Kegeramannya seperti mendapat jalan keluar lalu berkembang semakin kuat. Swandaru menumpahkan kekecewaan dan rasa malu serta kegeraman dengan bergumam sepanjang jalan dari gerbang pedukuhan hingga rumah bekel Gondang Wates. Bisa jadi, perasaan Swandaru yang kacau itu menjadi panjang lalu menggulung ketenangan yang sebelumnya menempati bilik hatinya. Terhitung dari kisruh yang disulut Ki Tambak Wedi hingga pertempuran Lemah Cengkar, maka cukup wajar Swandaru mengalami kekacauan jiwani karena bertahun-tahun ia berperang tapi sedikit sekali menerima kekalahan. Dalam kesendiriannya saat menjelang malam, Swandaru bergulung dengan benang kenangan, maka dadanya semakin kemrungsung lalu hatinya kembali mengagungkan kedudukannya yang tinggi sebagai pemuka kademangan dan menantu Ki Gede Menoreh. Lantas, dengan demikian, tanpa disadarinya, setiap yang bertatap mata langsung dengannya dapat merasakan bahwa Swandaru sedang menuntut mereka dapat memaklumi kegusarannya.
Di pringgitan, saat duduk berhadapan dengan Pangeran Purbaya, Swandaru menduga Pangeran Purbaya sudah mengetahui jalan pikirannya dari salah seorang pengawal. “Suara para pengawal ternyata lebih berisik daripada daun kemrasak,” kata Swandaru dalam hati. Saat itu, Swandaru sedang menimbang bahwa sebaiknya ia mengatakan segala yang diketahui maupun yang menjadi sebab kekecewaan yang membuatnya geram. “Bagaimanapun, kuasa seorang pangeran mungkin dapat mengimbangi keluasan wibawa seorang patih, tetapi itu pun tidak menjadi jaminan meski beliau adalah pangeran. Sekarang, mungkin sudah waktunya untuk mengungkapkannya di depan Pangeran Purbaya…” Napas Swandaru berayun kuat. Tak ada orang yang tahu, betapa kecewa Swandaru pada Ki Tumenggung Untara dan Ki Patih Mandaraka yang seolah membiarkan Sangkal Putung sendirian menghadapi bahaya.
Swandaru, untuk sesaat waktu, betul-betul merasa tidak leluasa duduk beradu wajah dengan Pangeran Purbaya. Mereka dipisahkan oleh meja pendek yang di atasnya ada hidangan ringan dan wedang sereh yang masih mengepulkan asap. Swandaru tahu bahwa ia tidak dapat seenaknya mempersilahkan Pangeran Purbaya menikmati makanan. “Ini bukan waktu yang tepat”, pikirnya. Ada ketidakpantasan jika mereka berbincang nyaman dengan sejumlah makanan serta minuman yang menghangatkan sedangkan duka masih menyelimuti pedukuhan. Namun demikian, itu adalah yang pertama kali bicara empat mata dengan Pangeran Purbaya. Ketika Swandaru mencuri pandang dari sudut matanya, maka tampaklah sikap Pangeran Purbaya yang sempurna menutup peluang baginya untuk bertanya atau membuat penyangkalan atas yang terjadi di Karang Dawa. “Sikap yang sempurna! Bagaimana aku dapat memulai perbincangan? Ataukah aku harus menunggu beliau?” Ketika mencoba mengangkat wajah, Swandaru dapat merasakan wibawa Pangeran Purbaya benar-benar terasa telah membekukan harga dirinya.