Petir menggelegar dengan lidah menjulur panjang, membelah angkasa. Sukra mendongakkan wajah, menantang titik-titik air yang belum jenuh menghujani bumi. Yang berkelebat di dalam benaknya kemudian adalah wajah Sekar Mirah dan bayinya. “Saya belum bertemu dengan Ki Lurah, Nyi,” desis Sukra ketika menggetarkan bibirnya. “Baiklah, ada pertemuan atau tidak dengan Ki Lurah, itu sama saja karena Pangeran Purbaya telah menyiapkan rencana lain,” kata Sukra dalam hatinya sambil beranjak bangkit. Ia merenggangkan otot-otot yang sempat terlena dengan udara dingin.
Sekejap kemudian, sebuah bayangan berkelebat dengan kecepatan yang sulit diikuti pandang mata biasa, Wajah pendatang asing itu tertutup oleh kain dan hanya menyisakan bagian mata saja. Ketika kakinya telah menjejak tanah dan berhadapan dengan Sukra, pendatang itu berkata, “Aku pernah melihatmu dan aku kira sekarang adalah saat yang tepat untuk mati, Cah Angon!”
Sukra membuang muka sambil mendengus. Sahutnya kemudian, “Wong gendeng! Aku, siapa? Dan kamu siapa? Ujug-ujug datang lalu bicara seperti setan yang kerasukan barang tak jelas!” Meski Sukra tidak bergerak dalam keadaannya, hanya berdiri, tetapi raut wajahnya memancarkan kesiagaan. Sebelah tangannya menuju pinggang, meraba hulu tongkat yang diselipkannya pada kain pengikat pakaian.
Orang asing itu tidak menanggapi ucapan Sukra. Ia pun diam, tidak bergerak. Mereka berdua seolah sedang dalam keadaan yang sama, waspada dan siaga terhadap perubahan lawan bicara.
Dari tempat yang agak jauh, Ki Sambak Kaliangkrik mendengus. Ia geram sewaktu salah seorang anak buahnya tidak dapat menahan diri. Benar, mereka sempat bertempur melawan Sukra dan juga melihat anak muda itu meninggalkan pertempuran lalu pergi ke barat. Hanya saja, pada waktu itu, mereka tidak dapat mengejar atau memburunya karena perinta Ki Sor Dondong agar mereka tetap berada pada garis pertahanan.
Sekejap kemudian, betul, hanya dalam dua atau tiga kedipan mata berikutnya, perkelahian pun pecah! Antara Sukra dengan anak buah Ki Sambak Kaliangkrik. Itu benar-benar perkelahian yang sebenarnya. Mereka telah saling menggebrak tanpa penjajagan dengan tangan kosong. Senjata yang berlainan bahan telah beradu, menyayat udara sambil mendesing tajam. Itu bukan perkelahian yang mirip dengan latih tanding, tetapi perkelahian untuk mempertaruhkan nyawa. Anak buah Ki Sambak Kaliangkrik ternyata memang bukan lawan yang berkemampuan biasa saja. Ia tahu saat untuk menghindar, menyerang sambil memanfaatkan kegelapan malam. Ditambah pakaiannya yang berwarna gelap, orang asing itu telah mengubah dirinya menjadi ancaman yang nyata bagi Sukra, sungguh!
Bertarung seorang diri di tengah hutan dan terdekap oleh gelapnya malam tidak membuat ciut nyali anak muda dari Menoreh itu. Sukra, penuh percaya diri, menepis ujung senjata lawannya yang menebar maut. Ketenangan Sukra pantas mendapat pujian meski golok lawan menyambarnya dari segala arah. Sekali-kali ia menolak senjata lawan secara langsung dengan batang tongkatnya. Maka, sepanjang batang tongkat pun banyak tercuil oleh bagian tajam senjata lawan.
Perkelahian meningkat semakin sengit dan ganas. Sejauh mereka bertempur, Surka cekatan dan tangkas mengeluarkan segenap kemampuan. Gerakannya yang lincah kemudian menimbulkan kesulitan tersendiri bagi lawannya. Tenaga wadag yang tersimpan di dalam diri Sukra pun mampu menggedor pertahanan lawan. Itu sangat mengejutkan! Orang asing itu bertanya dalam hatinya, bagaimana Sukra mampu memiliki tenaga yang luar biasa? Sedangkan sepasang kakinya terus bergerak lincah baik ketika menyerang maupun bertahan. “Anak ini cukup istimewa,” desisnya tanpa suara. Setiap tongkat Sukra berayun maka ujungnya bergetar secara mengerikan. Setiap tongkatnya berkelebat membelah udara maka gaungnya sanggup mengusik jiwani lawan yang semula begitu tenang menghadapinya.
Ingin berderma? Silahkan klik link Donasi.
Sesungguhnya ia juga sadar bahwa malam yang gelap ternyata tidak banyak membantunya, itu sesuatu yang sangat jauh dari harapannya. Ia kerap kesulitan menjaga garis serangan atau membuat lingkar pertahanan. Dalam keadaan demikian, anak buah Ki Sambak Kaliangkrik pun memaksa dirinya untuk berpikir ulang untuk meneruskan perkelahian. Mundur tentu bukan jalan terbaik. Betapa dirinya akan menjadi bahan olokan sepanjang hidup, tetapi mendesak Sukra lalu menghabisinya pun bukan perkara mudah. Maka, demikianlah ia mengerahkan segenap kemampuannya, termasuk melambari setiap gerakannya dengan tenaga cadangan. Orang ini sedang berusaha keras dan bertarung mati-matian! Sukra seakan-akan telah berubah menjadi kijang yang begitu ringan berloncatan. Pengerahan tenaga cadangan pun juga mulai dilakukannya supaya keseimbangan terkelahian tetap terjaga. Tempaan keras yang cukup singkat oleh Nyi Ageng Banyak Patra melejitkan kemampuan Sukra secara luar biasa. Hanya saja, dalam perkelahian itu, Sukra pun sering terbentur oleh garis pertahanan yang tidak terlihat oleh mata. Orang yang menjadi lawannya mempunyai pengalaman dan wawasan yang cukup untuk menutup lintasan atau membaca perkembangan geraknya. Mereka, sungguh, sedang bertarung ketat dengan kemampuan dan kelebihan yang berbeda!