“Pagi ini suamiku tidak pergi ke sawah. Badannya merasa tidak enak. Dahinya panas dan jantungnya serasa berdetak lebih cepat.”
“O…” Penjual nasi tumpang itu menjadi cemas. ”Apakah suamimu tidak pergi ke rumah seorang tua yang dapat menyingkirkan kutukan keranda terbang itu? Mungkin karanda itu mengetahui bahwa suamimu dan kawan-kawannya sengaja mengintipnya.”
Penjual kelapa itu termangu-mangu sejenak. Katanya, ”Belum. Tetapi siang nanti aku akan mengajaknya pergi kerumah Kiai Samid yang terkenal itu. Suamiku mengenalnya dengan baik, karena Kiai Samid minta suamiku menggarap sawahnya sampai lebih dari tiga tahun. Letak sawah Kiai Samid berdekatan dengan sawah suamiku, sehingga suamiku dapat menggarapnya dengan baik dan memuaskan bagi Kiai Samid.”
“Tetapi jangan sampai terlambat” desis penjual sirih. Penjual kelapa itu mengangguk. Tetapi ia tidak menjawab. Dua orang datang untuk memilih beberapa buah kelapa yang sudah tua. Paksi mendengarkan pembicaraan itu. Tetapi ia tidak berkata sepatah pun. Paksi tidak dapat berbicara tentang keranda terbang itu dengan perempuan-perempuan yang tidak melihat sendiri semalam. Tetapi Paksi bertekad untuk mengikuti penjual kelapa itu sampai ke rumahnya dan berbicara dengan suaminya tentang keranda terbang yang dilihatnya semalam. Ketika kemudian Paksi sudah menjadi kenyang, maka ia segera membayar harga nasi yang dimakannya. Dari penjual nasi tumpang, Paksi bergeser duduk di dekat penjual wedang sere. Sambil menunggu penjual kelapa itu menghabiskan dagangannya, maka Paksi minum wedang sere hangat dan masih juga makan beberapa potong makanan meskipun sudah terasa kenyang. Satu dua butir kelapapun telah laku. Berurutan orang-orang yang datang dan pergi. Namun penjual kelapa itu tampak gelisah. Sekali-sekali ia melihat matahari di langit yang memanjat semakin tinggi.
“Aku meninggalkan suamiku yang sedang sakit,” desis penjual kelapa itu.
“Tetapi kelapamu sudah hampir habis,” berkata penjual nasi tumpang itu.
“Aku ingin segera pulang.”
“Suamimu memang harus dibawa dengan cepat kerumah Kiai Samid agar segera mendapat obat penolak bala.”
“Tetapi kelapaku ini?”
“Jika kau mau menjualnya agak murah, aku akan membelinya semua yang tersisa. Untuk membuat bumbu gudanganku ini, aku memerlukan kelapa setiap hari. Sementara itu, kelapa di kebun sudah tidak. ada yang cukup tua.”
“Apakah kelapa itu tidak terlalu tua untuk membuat bumbu gudangan?” bertanya penjual sirih.
“Cukupan” sahut penjual kelapa itu. Akhirnya, kelapa itu telah dibeli dengan harga yang lebih murah oleh penjual gudangan itu, karena penjual kelapa itu ingin segera pulang dan membawa suaminya kepada Kiai Samid.
Paksi yang telah cukup lama menunggu, telah minta diri kepada penjual minuman itu setelah membayar harga makanan dan minumannya. Pada jarak tertentu Paksi telah mengikuti perempuan yang berjalan dengan tergesagesa pulang itu. Seperti yang diduganya, maka perempuan itu tinggal di padukuhan yang semalam dilewati keranda terbang itu, meskipun pada jarak yang tidak terlalu dekat. Paksi yang mengikutinya kemudian melihat perempuan itu memasuki sebuah regol halaman rumah di sebelah simpang empat. Paksi memang menjadi ragu-ragu. Ia sama sekali tidak dikenal di padukuhan itu. Seandainya ia menceriterakan apa yang dilihatnya, apakah orang padukuhan itu akan mempercayainya? Tetapi Paksi kemudian telah membulatkan tekadnya untuk mengatakan apa yang telah dilihatnya semalam. Karena itu, maka beberapa saat kemudian, Paksi telah berdiri di depan regol halaman rumah perempuan yang baru saja pulang dari pasar itu. Dengan ragu-ragu, Paksi melangkah melintasi halaman yang terhitung luas. Beberapa batang pohon tumbuh di halaman itu. Di sana-sini tampak pohon kelapa yang tumbuh mencuat mengatasi pepohonan yang lain. Agaknya sebagian dari dagangan kelapanya telah dipetik dari halaman dan kebun di rumahnya sendiri. Ketika Paksi berdiri ragu-ragu di halaman, maka seorang anak remaja datang mendekatinya sambil bertanya, ”Siapa yang kau cari, Kakang?”
Paksi tersenyum. Anak itu tampak ramah. Karena itu, maka ia bertanya, ”Apakah yang pulang dari pasar itu ibumu?”
“Ya. Ibu memang berjualan kelapa di pasar.”
“Ayahmu ada?” bertanya Paksi.
“Ada. Tetapi ayah sedang sakit. Kepala pening. Jantungnya berdebar-debar dan tidak dapat tidur.”
“Apakah aku dapat bertemu dengan ayahmu?”
“Ayah berbaring saja di pembaringan dengan gelisah. Kami bergantian menungguinya selama ibu berada di pasar.”
“Kamu siapa?” bertanya Paksi.
“Aku dan adikku.”
“Bagus,” desis Paksi, ”kau anak yang pandai.”Paksi menarik napas dalam-dalam. ”Jika demikian, aku ingin bertemu dengan ibumu.”
“Duduklah. Aku akan memanggil ibu.”
Paksi kemudian duduk di sebuah lincak bambu yang panjang di serambi depan rumah yang sederhana, tetapi tampak bersih itu. Sejenak kemudian, maka perempuan yang berjualan kelapa di pasar itu keluar dari pintu depan. Ia termangu-mangu sejenak, melihat Paksi yang belum pernah dikenalnya. “Kau mencari aku, Nak?” bertanya perempuan itu.
“Ya, Bibi,” jawab Paksi, ”sebenarnya aku ingin berbicara dengan paman. Tetapi bukankah paman sedang sakit?”
Perempuan itu mengangguk-angguk. Katanya, ”Ya. Suamiku sedang sakit.” Perempuan itu pun duduk di lincak bambu itu pula. “Aku belum pernah melihat kau sebelumnya, nak.”
“Ya, bibi. Aku memang baru kali ini menginjakkan kakiku di padukuhan ini.”
“Jadi apakah maksudmu menemui suamiku?”
“Bibi,” berkata Paksi, ”aku mendengar pembicaraan bibi dengan beberapa orang perempuan di pasar. Menurut bibi, paman menjadi sakit setelah semalam melihat keranda terbang itu?”
“Ya”jawab perempuan itu dengan wajah berkerut.
“Aku ingin memberikan sedikit keterangan tentang keranda terbang itu.”
“Jangan, nak. Jangan. Pamanmu sangat terpengaruh oleh penglihatannya semalam. Ia merasa seakan-akan selalu dibayangi oleh keranda yang berjalan sendiri itu. Bahkan rasa-rasanya keranda itu telah terbang mengitari rumah ini.”
“Apakah ketiga orang kawan paman yang melihat keranda itu juga sakit?”
“Adik pamanmu telah menghubungi mereka. Menurut keterangannya, mereka juga menjadi sakit, terutama seorang yang semalam hampir pingsan. Badannya panas dan sekali-sekali ia mengigau. Tetapi yang seorang lagi, hanya terasa pening-pening sedikit.”
“Tetapi orang itu tidak menjadi sakit seperti paman?”
“Tidak. Ia memang seorang yang sangat berani, meskipun semalam ia mengurungkan niatnya untuk mendekati keranda yang terbang itu.”
“Jika demikian, apakah aku sebaiknya berbicara dengan orang itu?”
“Apa sebenarnya yang ingin kau katakan?”
“Bibi. Aku minta bibi memberitahukan kepada paman, bahwa paman tidak perlu menjadi sakit. Keranda terbang itu hanyalah sekedar pokal orang jahat.”
“Tetapi pamanmu melihat sendiri.”
“Aku juga melihatnya, Bibi. Aku sempat mengikutinya. Keranda itu sebenarnya juga dipikul oleh beberapa orang dan bahkan diiringi beberapa orang yang lain. Tetapi mereka berpakaian hitam agar mereka tidak tampak dari jarak tertentu.”
“Ah…! Kau jangan mengada-ada, Anak muda.”
“Benar, Bibi. Aku dapat membuktikan. Tetapi aku memerlukan orang-orang yang berani seperti yang bibi sebutkan itu.” jawab Paksi. Lalu katanya pula, ”Jika saja paman tidak cepat percaya kepada keranda itu, maka aku ingin mengajak paman untuk melihat kenyataan tentang keranda itu.”
Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya ”Sebaiknya aku hubungi kakang Sura saja.”
“Di manakah rumahnya, Bibi?” bertanya Paksi. Perempuan itu kemudian memberikan ancar-ancar rumah Sura di dekat gardu peronda yang tidak pernah terisi sejak ada ceritera tentang keranda yang dapat berjalan sendiri di malam hari. Paksi minta diri untuk menemui orang yang bernama Sura itu.
Meskipun agak ragu, namun Paksi tetap memasuki halaman rumah di dekat gardu parondan. Seorang anak laki-laki yang sedang berlari-lari di halaman tertegun. Berlari-lari kecil anak itu menyongsong Paksi. “Kakang mencari siapa?” Ternyata anak itu ramah sekali.
“Apakah paman Sura ada di rumah?”
“Ayah?” bertanya anak itu.
“Ya. Tolong, katakan kepada ayah, bahwa seseorang mencarinya,” berkata Paksi.
“Siapa nama Kakang?”
Paksi tersenyum. Sambil menyentuh pipi anak itu, ia menjawab, ”Namaku Paksi.”
“Nama Kakang bagus. Tetapi namaku jelek. Ayah tidak pandai memilih nama.”
“Siapa namamu?”
“Namaku Salam.”
“Nama yang bagus. Aku senang mendengarnya. Salam.”
“Ah, Kakang hanya ingin membuatku senang.” Paksi tertawa. Anak itu ternyata anak yang sangat cerdas.
Anak kemudian berkata, ”Aku akan memanggil ayah di belakang.” Anak itu pun berlari ke belakang memanggil ayahnya. Sura terkejut melihat kedatangan anak muda yang belum pernah dikenalnya. Dipersilahkan Paksi naik dan duduk di pendapa. “Apakah ANgger mempunyai keperluan dengan aku?”
”Ya, Paman. Ada yang ingin aku bicarakan.”
“Tentang?”
“Bukankah Paman tidak sakit sekarang?”
“Rasa-rasanya kepalaku sedikit pening, Ngger. Tetapi tidak apa-apa. Aku dapat mendengarkan dengan baik persoalan yang akan ANgger katakan.”
“Apakah Paman sakit karena keranda yang berjalan sendiri semalam?”
Orang itu mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia bertanya, ”Apakah kau mengetahui bahwa aku telah melihat keranda yang berjalan sendiri?”
“Ya, Paman. Tetapi itu tidak penting. Aku hanya ingin tahu, bahwa Paman tidak menjadi sakit karena keranda itu?”
“Tidak. Tetapi kenapa?”
“Kenapa semalam paman tidak berusaha untuk menangkap keranda itu?”
“Apa sebenarnya yang ingin kau katakana, Ngger?” bertanya Sura.
Paksi menarik napas panjang. Kemudian diceriterakannya apa yang dilihatnya semalam sehingga keranda itu hilang dikuburan dan orang-orang berpakaian hitam yang menyembunyikan barang-barang hasil rampokan itu.
“Kau berkata sebenarnya?” bertanya Sura.
“Aku dapat menunjukkan tempat mereka menyembunyikan barang-barang itu jika Paman ingin membuktikannya.”
Sura mengagguk-angguk. Katanya ”Jika kau berkata benar, aku kagum akan keberanianmu.”
“Bukan soal keberanian, Paman. Tetapi aku sudah tersudut dalam satu keadaan yang tidak dapat aku hindari.”
“Sebenarnya aku memang ingin melihat dari dekat keranda yang dikatakan orang dapat terbang sendiri itu. Tetapi kawan-kawanku semalam menjadi ketakutan, sehingga aku mengurungkan niatku. Bahkan ada seorang di-antara kami yang hampir pingsan.”
“Ada di antara mereka yang menjadi sakit sekarang.”
“Ya. Aku dengar memang demikian. Mereka menjadi sangat terpengaruh. Tetapi sejak semula aku sudah meragukannya.”
“Tetapi Paman juga menjadi pening.”
“Bukan karena keranda itu. Tetapi hampir semalam suntuk aku tidak dapat tidur. Aku harus mengantar orang-orang yang ketakutan itu. Memapah kawanku yang hampir pingsan. Baru aku pulang terakhir setelah langit menjadi merah. Aku hanya sempat berbaring. Ketika aku hampir tertidur, adik salah seorang yang ikut bersamaku semalam datang kemari.”
Paksi mengangguk-angguk. Dengan nada berat ia berkata. ”Aku juga tidak tidur semalam.”
“Kau dapat beristirahat di sini,” berkata Sura.
“Terima kasih. Tetapi apakah Paman melihat barang-barang itu?”
Sura termangu-mangu sejenak. Dipandanginya anak muda yang sebelumnya belum pernah dikenalnya itu. Dari sorot matanya, memang tersirat keragu-raguannya. Tetapi Paksi tidak tersinggung. Ia tahu, bahwa hal itu adalah wajar sekali. Karena itu, maka katanya, ”Paman. Sebenarnya aku ingin sekali melihat apa saja yang disembunyikan oleh para perampok itu. Tetapi aku tidak dapat melakukannya sendiri. Aku tidak mempunyai alat untuk menggali.”
“Baiklah,” berkata Sura, ”kita akan melihatnya. Tetapi aku akan mengajak seorang lagi yang memiliki keberanian untuk membongkar barang-barang yang disembunyikan itu.”
Paksi mengangguk sambil menjawab, ”Silahkan, Paman. Tetapi orang itu harus dapat Paman percaya, karena mungkin ada sesuatu yang untuk sementara masih harus disimpan.”
“Baik. Tetapi kapan sebaiknya kita melakukannya?”
“Bukankah sebaiknya kita lakukan di siang hari? Di-malam hari orang-orang yang menyembunyikan barang-barang itu justru berkeliaran. Di siang hari mereka tidak akan menampakkan diri. Meskipun demikian, kita harus berhati-hati.”
“Baiklah. Kita dapat berpura-pura membersihkan kuburan. Aku mempunyai leluhur yang dimakamkan di kuburan itu.” Sura pun minta Paksi untuk menunggu. Minuman dan makanan pun telah dihidangkan pula. “Salam akan menemanimu, Ngger.” berkata Sura. Beberapa saat kemudian Sura telah datang bersama seorang kawannya. Bertiga mereka pergi ke kuburan untuk membuktikan, apakah yang dilihat Paksi semalam bukan sekedar sebuah mimpi atau khayalannya saja.
Dalam pada itu, Sura berkata, ”Ngger, pamanmu, Mertawira ini kebetulan adalah anak juru kunci kuburan itu.”
“O.” Paksi mengangguk-angguk, ”kebetulan sekali Paman.”
“Tetapi aku segan untuk menggantikan jabatan orang tuaku. Aku lebih senang tidak mengurusi kuburan,” desis Mertawira.
“Harus ada orang yang bersedia melakukannya. Jika tidak, orang-orang yang memerlukan akan menjadi sangat repot.” berkata Sura.
Mertawira tertawa. Katanya, ”Adikku telah menyatakan kesediaannya.”
“Sukurlah. Dengan demikian, maka segala sesuatunya ada yang mengatur. Orang-orang padukuhan yang kematian keluarganya tidak asal saja mengubur di kuburan ini, sehingga berjejal-jejal tanpa diatur.”
Mertawira tertawa semakin keras. Beberapa saat kemudian, mereka telah berada di kuburan. Tidak ada orang yang melihat mereka meskipun mereka memasuki kuburan itu di siang hari. Paksi memang agak sulit untuk menemukan batu yang besar itu. Bahkan Paksi sempat menjadi bimbang, bahwa apa yang dilihatnya tidak lebih dari sebuah khayalan. Mungkin hantu keranda itu sempat menyesatkan penglihatannya, sehingga seolah-olah ia melihat keranda itu memasuki kuburan Ini.
Namun setelah mengitarti kuburan itu beberapa kali, maka Paksi dapat menemukan batu yang besar itu.
”Kami hampir kehabisan kesabaran,” desis Sura.
Mertawira tertawa. Katanya, ”Aku kira kau hanya bermimpi. Tetapi itu pun masih harus dibuktikan, apakah barang-barang itu benar-benar ada.””
Paksi mengangguk-angguk. Ketika mereka bersiap-siap untuk mulai menggali, maka jantung Paksi menjadi berdebar-debar. Jika barang-barang yang dikatakan itu tidak ada, maka kedua orang itu akan dapat menjadi marah kepadanya. Mereka akan mengira, bahwa Paksi telah mempermainkan kedua orang itu. Namun Sura dan Mertawira memang melihat tanah yang kemerahan di sekitar batu yang besar itu. Tampaknya tanah itu memang tanah yang baru dari sebuah galian yang telah ditimbun kembali. Ketika mereka mulai menggali, maka tanah itu agaknya masih juga lunak, sehingga dengan demikian, mereka tidak banyak menemui kesulitan. Mereka menjadi berdebar-debar ketika cangkul mereka mulai terasa menyentuh sesuatu. Dengan hati-hati mereka menggali lebih dalam lagi. Ternyata Paksi tidak sekedar berkhayal atau bermimpi atau penglihatannya dipengaruhi oleh hantu keranda itu. Di dalam lubang galian itu memang terdapat barang-barang yang disembunyikan oleh para perampok yang telah mengelabuhi banyak orang itu.
“Apa yang sebaiknya kita lakukan dengan barang-barang ini” berkata Sura kemudian.
“Besok jika padukuhan ini merti desa, maka salah seorang pemimpin dari para perampok ini akan datang,” berkata Paksi, ”karena itu, maka barang-barang yang disembunyikan disini akan ditunjukkan kepada pemimpin mereka itu.”
“Jika demikian, biarlah barang-barang ini di sini,” berkata Mertawira, ”kita akan mengawasinya. Besok, pada saatnya pemimpin perampok itu datang, kita akan menangkapnya.”
“Kau kira kita akan mudah melakukannya,” sahut Sura, ”para perampok adalah orang-orang yang telah menyatukan hidup matinya dengan senjata. Mereka terbiasa berkelahi dan bahkan bunuh-membunuh, sehingga darah bagi mereka tidak lagi menggetarkan perasaan mereka.”
“Tetapi kita mempunyai kawan yang tentu jauh lebih banyak dari para perampok itu. Mungkin jumlah mereka hanya sekitar sepuluh orang.”
“Ya,” sahut Paksi, ”sekitar sepuluh orang. Mereka bergantian memanggul keranda itu.”
“Nah, bukankah kita memiliki kesempatan?”
Sura mengangguk-angguk. Katanya, ”Baiklah. Kita akan berbicara dengan Ki Jagabaya.”
“Hanya dengan Ki Jagabaya, ”desis Mertawira, ”jika hal ini didengar oleh banyak orang, maka persoalannya akan menjadi lain. Tetapi bagaimana menurut pendapatmu, Ngger?”
“Aku hanya ingin menunjukkan kepada Paman, bahwa keranda itu sama sekali bukan hantu. Salah satu buktinya adalah barang-barang yang mereka sembunyikan di sini. Selanjutnya, terserah kepada Paman berdua. Kasihan jika orang-orang padukuhan itu menjadi terlalu lama dicengkam oleh ketakutan.”
“Padahal bukan hanya satu dua padukuhan saja yang dibayangi ketakutan kepada hantu keranda yang berjalan sendiri di malam hari, yang bahkan dapat lenyap dalam sekejap mata.”
“Kita harus dapat menangkap hantu keranda itu. Tetapi kita memang memerlukan beberapa orang yang berani,” berkata Sura kemudian.
“Ya. Aku setuju, jika kita menemui Ki Jagabaya. Tetapi untuk sementara tidak ada orang lain yang mengetahuinya” berkata Mertawira. Bertiga mereka sependapat untuk menimbun barang-barang itu lagi. Namun dengan demikian mereka sudah menjadi yakin, bahwa keranda yang berjalan sendiri di tengah malam itu sama sekali bukan hantu. Sementara itu, mereka sudah mengetahui di mana para perampok itu menyembunyikan barang-barang hasil rampokan mereka.
“Tetapi kenapa pemimpin perampok itu akan datang tepat pada saat merti desa?” desis Sura.
“Entahlah,” berkata Mertawira, ”mungkin pada hari itu perhatian orang-orang padukuhan tertuju kepada keramaian di padukuhan ini.”
“Baiklah. Sekarang, marilah kita pulang.”
Namun dalam pada itu, Paksi berkata, ”Paman berdua. Sebaiknya aku meneruskan perjalananku. Aku merasa bahwa kewajibanku melaporkan tentang keranda yang berjalan sendiri di malam hari itu sudah aku lakukan dengan baik. Karena itu, segala sesuatunya terserah kepada Paman berdua serta para bebahu padukuhan . Tindakan apa yang akan mereka ambil. Namun barangkali yang harus mendapat perhatian adalah, bahwa pemimpin perampok yang akan datang itu bernama Kebo Lorog.”
“Kebo Lorog.” Kedua orang itu terkejut. Dengan nada tinggi Sura berdesis, ”Jadi permainan ini dikendalikan oleh Kebo Lorog yang namanya menggetarkan bulu tengkuk itu?”
“Apakah Paman sudah pernah mendengar nama itu?”
“Ya. Kami sudah pernah mendengar. Banyak orang yang pernah mendengar nama itu. Orang-orang padukuhan menjadi ketakutan mendengar nama itu sebagaimana mereka mendengar ceritera tentang hantu keranda. Tetapi hantu keranda itu ternyata hanya sebuah tipuan. Tetapi Kebo Lorog benar-benar mampu memilin leher kita sampai patah.”
“Tetapi jumlah penghuni padukuhan ini cukup banyak,” berkata Paksi.
“Itu tidak berarti apa-apa bagi Kebo Lorog” jawab Sura. “Jika demikian maka keranda yang berjalan sendiri itu tetap menakutkan bagi kita. Bukan karena kita menyangka keranda itu hantu, tetapi justru karena yang ada di belakangnya adalah Kebo Lorog.”
“Jika nama Kebo Lorog itu lebih menakutkan daripada hantu, kenapa mereka harus bermain hantu-hantuan? Kenapa tidak Kebo Lorog itu saja datang kemari dan melakukan kegiatan yang dilakukan oleh keranda itu?”
“Kebo Lorog mempunyai lingkungan yang luas, Ngger. Sehingga ia tidak dapat berada di satu tempat, Tetapi jika Kebo Lorog itu mengunjungi satu lingkungan, tentu ia mempunyai kepentingan tertentu.”
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, ”Mungkin keberhasilan orang-orang yang mempunyai gagasan bermain hantu-hantuan itu telah menarik perhatiannya, sehingga permainan itu akan dapat dikembangkan di daerah lain.”
Sura dan Mertawira mengangguk-angguk. Dengan nada datar Mertawira berkata, ”Mungkin kau benar, Ngger. Kita akan melihat bersama-sama, apa yang akan terjadi kemudian.”
“Paman berdua. Aku sudah berniat untuk mohon diri. Aku ingin melanjutkan pengembaraanku. Aku sudah merasa cukup berhasil dengan menunjukkan benda-benda yang disembunyikan itu.”
“Aku minta kau tetap di sini menunggu kedatangan Kebo Lorog,” berkata Sura.
“Apakah artinya keberadaanku di sini?”
“Kita akan bersama-sama menyaksikan, untuk apa Kebo Lorog itu datang,” jawab Mertawira.
Paksi termangu-mangu sejenak.
Sementara Sura berkata, ”Kita akan pergi kerumah Ki Jagabaya, Ngger. Kau akan dapat menjelaskan apa yang telah terjadi itu. Mudah-mudahan kita akan dapat mencari jalan keluar dari bayangan gelap karena kehadiran Kebo Lorog itu.” Paksi termangu-mangu sejenak. Sura tampaknya mengerti getar perasaan anak muda itu. Karena itu, maka katanya, ”Selama kau berada di padukuhan ini, kau dapat tinggal bersama kami, Ngger. Salam tentu akan merasa senang jika kau berada di sini.”
“Apakah aku tidak akan merepotkan Paman dan keluarga?” bertanya Paksi dengan ragu.
“Tentu tidak Ngger. Kau tentu sudah dapat mengurus dirimu sendiri. Kau sudah dapat mandi sendiri, mencuci pakaian sendiri. Makan sendiri, sehingga kami tidak usah menyuapi.”
Mertawira tertawa. Katanya, ”Juga tidak harus menggendong dan menidurkan menjelang malam.”
Paksi tertawa. Kemudian ia menjawab, ”Baiklah, Paman. Jika tidak berkeberatan, aku akan tinggal di sini sampai merti desa.” Ternyata bahwa keberadaan Paksi di rumah Sura justru memberikan kesegaran baru. Paksi adalah seorang anak yang rajin. Pagi-pagi ia sudah bangun. Menimba air untuk mengisi jambangan di pakiwan. Kamudian menyapu halaman samping, karena halaman depan tentu sudah disapu oleh Sura sendiri. Pengaruh keberadaan Paksi di rumah itu justru sangat baik bagi Salam, la dapat bangun lebih pagi dari kebiasaannya. Anak itu ingin bersama-sama dengan Paksi. Juga saat Paksi menimba air, menyapu halaman atau membelah kayu di siang hari. Bahkan Paksi jga mengajari Salam untuk menuliskan huruf-huruf, kemudian membacanya.
Sementara itu, ceritera tentang keranda hantu itu masih saja membayangi kehidupan beberapa padukuhan. Sura dan Mertawira memang belum mengambil langkah-langkah tertentu untuk membuktikan kepada banyak orang, bahwa ceritera tentang hantu keranda itu hanya sebuah olok-olok dari para penjahat yang kebingungan membawa hasil rampokannya. Namun yang kemudian ternyata berhasil. Seperti yang sudah direncanakan, maka ketika saatnya dianggap sudah tiba, maka Sura dan Mertawira telah pergi menemui Ki Jagabaya sambil mengajak Paksi Pamekas. Ki Jagabaya menerima mereka bertiga di pendapa rumahnya. Karena keduanya tidak terbiasa berkunjung ke-rumah Ki Jagabaya, maka Ki Jagabaya menjadi heran atas kedatangan mereka bertiga. “Tampaknya ada sesuatu yang penting,” desis Ki Jagabaya.
“Ya, Ki Jagabaya. Kami ingin berbicara tentang keranda hantu itu.”
Ki Jagabaya mengerutkan dahinya. Dengan nada berat Ki Jagabaya itupun bertanya, ”Ada apa dengan dongeng itu? Kalian berdua terhitung orang-orang yang berani di padukuhan ini. Apakah kalian juga percaya tentang keranda yang berjalan sendiri itu?”
“Kami percaya, Ki Jagabaya” jawab Sura.
“Sikapmu tentang keranda yang berjalan sendiri itu tentu akan menjadi panutan. Jika kau berkata bahwa kau percaya, maka padukuhan ini akan menjadi semakin kalut.”
“Aku telah melihat sendiri, Ki Jagabaya.”
Ki Jagabaya mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia berkata, ”Apa maksudmu? Apakah kau memang menghendaki orang-orang padukuhan ini dicengkam oleh ketakutan? Dengan susah payah aku menjelaskan kepada mereka, bahwa tidak ada hantu keranda. Omong kosong. Tidak ada hantu yang sedang menyebarkan wabah penyakit.”
Berkata Sura kemudian, ”Aku benar-benar telah melihat keranda itu berjalan di malam hari. Aku yakin akan penglihatanku itu. Hal itulah yang akan aku katakan kepada Ki Jagabaya.”
“Persetan dengan igauanmu. Kau tidak akan dapat mempengaruhi aku. Kau tidak akan dapat menyeret aku ke dalam ketakutan seperti orang-orang bodoh itu.”
Sura termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya ”Aku mohon Ki Jagabaya mendengarkan ceriteraku. Nanti Ki Jagabaya dapat percaya atau tidak percaya.”
Wajah Ki Jagabaya menjadi tegang. Namun kemudian katanya, ”Cepat katakan. Tetapi jangan mengharap aku terseret ke dalam arus yang melanda padukuhan kita dan beberapa padukuhan yang lain.”
Sura pun menceriterakan apa yang pernah dilihatnya. Keranda yang berjalan di malam hari. Seakan-akan keranda itu berjalan sendiri. Hampir saja Ki Jagabaya yang tidak mempercayainya itu menjadi marah. Namun kemudian Sura menceriterakan apa yang telah dilihat oleh Paksi Pamekas. Wajah Ki Jagabaya tampak berkerut. Dipandanginya Paksi dengan tajamnya. Kemudian Ki Jagabaya bertanya, ”Siapakah kau sebenarnya?”
Paksi pun menyebut namanya. Tetapi ia selalu mengatakan bahwa dirinya berasal dari Banyuanyar serta selalu mengatakan bahwa kedua orang tuanya sudah tidak ada lagi.
“Ceriteramu memang masuk akal,” berkata Ki Jagabaya.
“Kami sudah membuktikannya, Ki Jagabaya.”
“Bukti apa?” bertanya Ki Jagabaya.
“Kami sudah menggali tempat para perampok itu menyembunyikan barang-barangnya?”
“Kau telah mengambil barang-barang itu?”
“Tidak, Ki Jagabaya,” jawab Mertawira, ”kami hanya membuktikan bahwa penglihatan Angger Paksi itu bukan sekedar mimpi atau khayalan yang ditimbulkan oleh hantu keranda. Tetapi benar-benar ada. Sekarang barang-barang itu telah kami timbun kembali.”
Ki Jagabaya menarik napas dalam-dalam. Sementara Sura minta Paksi menceriterakan tentang rencana Kebo Lorog datang ke lingkungan mereka. Ki Jagabaya mendengarkan keterangan Paksi tentang Kebo Lorog sebagaimana didengarnya di kuburan dengan jantung yang berdebar-debar. Seakan-akan kepada diri sendiri Ki Jagabaya itu berkata, ”Kebo Lorog. Ternyata orang itu ada di belakang ceritera tentang hantu itu.”
“Mungkin sebaliknya, Ki Bekel. Kebo Lorog tertarik kepada gagasan para pengikutnya tentang hantu-hantu itu, sehingga ia ingin melihat hasil dari permainan itu. Kebo Lorog itu sendiri lebih dari hantu yang manapun juga.” berkata Ki Jagabaya.
“Apakah kita sepadukuhan tidak dapat menghentikannya?” bertanya Mertawira.
Ki Jagabaya menggelengkan kepalanya. Katanya, ”Kita sepadukuhan tidak akan berdaya melawan para penjahat itu jika di antara mereka terdapat Kebo Lorog. Kecuali karena Kebo Lorog itu mempunyai ilmu yang tinggi, ia akan dapat menjadi penyulut api keberanian dan kekuatan para pengikutnya. Bersama Kebo Lorog itu sendiri, maka sekelompok penjahat tidak akan dapat dihentikan oleh orang sepadukuhan. Bahkan mungkin sekali kita akan dibantai habis oleh Kebo Lorog itu.”
“Jadi, apa yang sebaiknya kita lakukan jika benar besok pada saat kita merti desa Kebo Lorog itu datang?”
“Kita akan berbicara dengan Ki Bekel.”
Ternyata Ki Jagabaya tidak membuang waktu. Diajaknya ketiga orang yang datang ke rumahnya itu langsung menemui Ki Bekel.
“Merti desa itu tinggal beberapa hari lagi. Kita harus dapat mempersiapkan diri sebaikbaiknya. Jika kita harus menyerang kepada keadaan, apaboleh buat. Kita tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi jika Ki Bekel maih melihat satu kesempatan untuk menggeliat meskipun Kebo Lorog ada di sini, maka biarlah kita mempersiapkan diri selagi kita masih mempunyai waktu,” gumam Ki Jagabaya.
Ternyata Ki Bekel juga merasa heran melihat kedatangan ki Jagabaya bersama tiga orang ke rumahnya. Di wajah mereka tampak persoalan yang membebani mereka, sehingga mereka harus datang menemuinya. “Apakah Ki Jagabaya tidak dapat menyelesaikan persoalan mereka sehingga mereka harus datang kepadaku?” bertanya Ki Bekel di dalam hatinya.
Ketika mereka sudah duduk di pringgitan, maka Ki Jagabayalah yang telah menyampaikan persoalan yang mereka bawa menghadap Ki Bekel. Wajah Ki Bekel pun menjadi tegang. Kebo Lorog baginya juga merupakan hantu yang mendebarkan.
Namun tiba-tiba dari ruang dalam rumah Ki Bekel, keluar seorang laki-laki muda yang bertubuh sedang. Wajahnya memancarkan kecerahan nalar budinya. Dengan sebuah senyum yang menghiasi bibirnya, laki-laki muda itu berkata, ”Maaf, Kakang. Aku tidak sengaja telah mendengar nama Kebo Lorog disebut-sebut. Jika Kakang Bekel tidak berkeberatan, aku ingin ikut mendengar ceritera tentang Kebo Lorog itu.”
Ki Bekel menarik napas dalam-dalam. Katanya, ”Kemarilah. Duduklah.”
Sura dan Mertawira terkejut melihat laki-laki itu. Hampir berbareng mereka menyapa, ”Adeg Panatas.” Laki-laki itu tersenyum. Sambil mendekat ia bertanya, “Kakang berdua tidak lupa kepadaku.”
“Tentu tidak” jawab Mertawira. Laki-laki muda itu kemudian duduk bersama mereka.
Ki Bekel kemudian berkata, ”Kemarin ia datang.”
Adeg Panatas, adik Ki Bekel itu tersenyum sambil menyahut, ”Aku sudah menjadi sangat rindu pada padukuhan ini.”
“Kau datang pada saat padukuhan ini dibayangi oleh hantu keranda yang mencekam seluruh penghuninya. Bahkan bukan hanya padukuhan ini. Tetapi juga padukuhan-padukuhan yang lain.”
“Aku sudah mendengar. Tetapi bukankah Ki Jagabaya tidak mempercayainya?”
“Ki Bekel juga tidak mempercayainya” jawab Ki Jagabaya.
“Tetapi agaknya hantu-hantuan itu ada hubungannya dengan Kebo Lorog.”
“Ya,” jawab Ki Jagabaya, ”anak inilah yang mendengar langsung pembicaraan para perampok itu.”
Sekali lagi Paksi harus berceritera tentang pari perampok dan pembicaraan di antara mereka tentang rencana kedatangan Kebo Lorog.
“Sebaiknya kita sambut kedatangan Kebo Lorog itu.” berkata Adeg Panatas.
“Kau jangan main-main dengan nama itu,” desis Ki Bekel.
Adeg Panatas tersenyum. Katanya, ”Aku tahu kelebihan Kebo Lorog. Tetapi jangan biarkan Kebo Lorog menguasai padukuhan ini. Sekali ia dapat bergerak leluasa di sini, maka padukuhan ini akan menjadi ladang yang subur bagi Kebo Lorog. Ia akan memeras setiap orang yang memang sudah ketakutan karena ceritera tentang keranda yang dapat berjalan sendiri itu.”
“Tetapi bagaimana kita dapat melawannya?” bertanya Ki Bekel.
“Kita harus melakukan bersama-sama. Biarlah aku mencoba untuk menahan Kebo Lorog. Jika aku tidak mampu mengimbanginya, maka Kakang Bekel akan dapat membantuku. Berdua aku yakin, bahwa kami akan dapat menahan Kebo Lorog.”
“Bagaimana dengan para pengikutnya?”
“Mereka banyak tergantung kepada pemimpinnya. Jika kami benar-benar dapat menahan Kebo Lorog, maka aku yakin, bahwa para pengikutnya akan menjadi ragu-ragu, sehingga kita akan dapat mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk ‘menghancurkan mereka. Bukankah jumlah mereka tidak terlalu banyak. Sepuluh, lima belas atau katakan duapuluh lima orang. Bukankah jumlah laki-laki di padukuhan ini jauh lebih banyak dari jumlah itu?”
“Tetapi hanya ada berapa orang laki-laki yang berada di paduhukan ini,” berkata Sura dengan dahi yang berkerut, ”apalagi menghadapi Kebo Lorog dan pengikutnya, sedangkan ceritera tentang keranda terbang itu saja sudah membuat seisi padukuhan ini ketakutan.”
”Tetapi bukankah ada orang-orang yang akan dapat menjadi sandaran kekuatan isi padukuhan ini? Di sini ada kakang Bekel, kakang Jagabaya, Kakang Sura dan kakang Mertawira. Di padukuhan ini ada bebahu yang tentu akan dapat dikerahkan. Mereka tidak hanya dapat sekedar menikmati bengkok sawah yang mereka petik hasilnya setiap musim. Tetapi mereka juga harus bersedia menjadi perisai di padukuhan ini. Kemudian menurut pengenalanku di sini ada juga beberapa orang bekas prajurit dan anak-anak muda yang harus menjelaskan bahwa keranda itu tidak lebih dari hantu-hantuan saja.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, ”Masih ada waktu berapa lama menjelang merti desa itu?”
“Tidak lebih dari sepuluh hari, Ki Bekel.”
“Cukup panjang” sahut Adeg Panatas ”kita siapkan perlawanan terhadap para perampok itu dalam waktu sepuluh hari. Aku kenal isi padukuhan ini. Karena itu, aku yakin bahwa kita akan dapat mempertahankan harga diri padukuhan ini. Tetapi sebelumbya kita harus juga menyadari, bahwa akan jatuh korban di antara kita. Tetapi itu tentu wajar bagi setiap perjuangan. Karena itu, maka kita harus mampu mengerahkan kekuatan yang sebesar-besarnya. Semakin banyak dan semakin kuat kita, maka korban akan menjadi semakin sedikit. Di dalam pertempuran, kita harus saling menolong sehingga setiap orang pengikut Kebo Lorog, akan menghadapi lawan yang dapat membuat jantungnya bergetar.”
“Bagaimana pendapatmu, Ki Jagabaya?” bertanya Ki Bekel.
“Aku setuju dengan adi Adeg Panatas. Aku akan menggerakkan setiap laki-laki di padukuhan ini.”
“Baiklah,” berkata Sura ,”jika kita sudah sependapat bahwa kita akan mengadakan perlawanan, maka kita harus melakukan-dengan sepenuh hati. Kita tidak boleh ragu-ragu. Jika kita menjadi ragu, maka kita justru akan terjebak dalam kesulitan.”
“Tentu Kakang Sura. Sekali kita turun ke gelanggang, maka kita harus sudah bersiap untuk menghadapi maut,” sahut Adeg Panatas.
“Itulah yang harus dijelaskan kepada rakyat padukuhan ini. Jika mereka bersedia, kita harus benar-benar terjun dengan segala akibat yang mungkin terjadi. Sebaliknya, jika rakyat padukuhan ini ragu, sebaiknya kita pasrah saja pada keadaan, meskipun leher kita akan dicekiknya,” sahut Mertawira.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, ”Aku akan memanggil para bebahu malam nanti.”
Demikianlah, maka Ki Jagabaya, Sura, Mertawira dan Paksi lantas minta diri. Malam nanti mereka akan kembali ke rumah Ki Bekel itu kecuali Paksi.
Menjelang malam, maka para bebahu yang dipanggil Ki Bekel telah berkumpul. Sura dan Mertawira juga telah datang pula memenuhi panggilan Ki Bekel meskipun mereka bukan bebahu. Paksi yang merasa dirinya orang lain di padukuhan itu, tidak ikut hadir di rumah Ki Bekel.
Namun beberapa orang telah mendengar ceriteranya tentang hantu keranda, para perampok dan hasil rampokan mereka yang mereka sembunyikan di kuburan.
Sementara Sura tidak ada di rumah, maka Paksi minta izin kepada Nyi Sura untuk berjalan-jalan.
“Malam-malam kau akan pergi ke mana, Ngger?” bertanya Nyi Sura.
“Hanya berjalan-jalan saja, Bibi, menghirup angin. Udara terasa panas malam ini.”
“Jangan terlalu lama, Ngger. Nanti jika pamanmu datang, ia tentu akan mencarimu,” pesan Nyi Sura.
Paksi kemudian meninggalkan rumah Sura. Ia menyusuri jalan-jalan padukuhan yang sudah menjadi sepi. Ada beberapa oncor terpancang di regol-regol rumah yang besar dan di simpang simpang ampat terpenting di-padukuhan. Sejak terbetik berita tentang hantu keranda, maka jarang sekali ada orang yang berani keluar setelah gelap. Bahkan gardu-gardu juga menjadi kosong. Satu dua orang yang mempunyai keberanian mencoba untuk mengintip dari belakang dinding padukuhan. Tetapi mereka tidak pernah dapat melihat keranda yang berjalan sendiri itu. Justru orang yang tidak sengaja untuk melihatnya, sekali-sekali pernah ada yang sempat melihatnya.