Jejak di Balik Kabut

Jejak-jejak di Balik Kabut 8 – Penyelesaian Masalah Perampokan Keranda Terbang

Para pengikutnya memang menjadi bingung. Mereka tidak tahu isyarat apa yang dimaksudkan oleh Kebo Lorog. Hanya seorang sajalah di antara orang-orangnya yang tahu pasti, apa yang harus dilakukannya. Orang yang tinggi tegap, yang bertempur melawan Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu itu. Adeg Panatas sendiri sudah mencurigai isyarat itu. Tetapi yang terjadi, Kebo Lorog justru telah menghentak kan ilmunya dengan sebuah serangan yang sangat mengejutkan, sehingga Adeg Panatas telah terdesak beberapa langkah surut. Demikian pula yang dilakukan oleh pengiringnya yang bertubuh tinggi tegap itu. Bahkan hampir saja senjatanya menyambar dada Ki Jagabaya. Untunglah Ki Jagabaya sempat mengelak. Meskipun demikian, senjata orang itu telah menyentuh lengannya, sehingga bukan saja bajunya yang koyak, tetapi juga kulitnya.

Kesempatan yang sekejap itu telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh Kebo Lorog dan seorang pengiring nya. Mereka seakan-akan telah meloncat menghilang ke dalam gelap malam. Adeg Panatas memang mencoba memburunya. Demikian pula Ki Jagabaya dan para bebahu yang bertempur bersamanya. Tetapi mereka telah kehilangan buruan mereka. Karena itu, maka Adeg Panatas tidak membuang waktu. Ia pun segera kembali ke arena pertempuran. Ia mencoba untuk mencegah para pengikut Kebo Lorog, agar mereka tidak sempat melarikan diri.

Pertempuran itu tiba tiba menjadi kusut. Beberapa orang berlari-larian tidak menentu. Beberapa orang padukuhan memang menjadi bingung. Ternyata cara yang dipergunakan oleh para pengikut Kebo Lorog yang sudah berpengalaman itu sebagian memang berhasil. Orang-orang padukuhan itu justru berlarian saling menghalangi, sehingga mereka telah kehilangan lawan lawan mereka yang berlari-larian berputaran. Tetapi, Adeg Panatas tidak menjadi bingung. Dengan cepat ia bergabung dengan Ki Bekel. Ki Pituhu yang akan ikut serta dalam arus yang berputaran dan membingungkan itu, telah kehilangan kesempatan. Adeg Panatas tidak membiarkannya lepas dari tangannya. Ketika kemudian pertempuran itu berakhir, maka hanya empat orang pengikut Kebo Lorog yang tertangkap termasuk Ki Pituhu sendiri.

Namun atas perintah Adeg Panatas, maka keempat orang itu telah dipisahkan yang satu dengan yang lain. “Kita ingin mendengar jawaban mereka esok. Kita akan bertanya kepada mereka seorang demi seorang.”

Beberapa saat kemudian, maka pertempuran benar-benar telah berhenti. Beberapa orang yang ada di kuburan itu telah menyalakan obor untuk mencari korban yang jatuh dalam pertempuran itu. Beberapa orang memang telah terluka. Tiga di antara orang pedukuhan terluka berat. Sedangkan yang lain, luka-luka yang mereka derita tidak sampai membahayakan jiwa mereka. Sementara itu, seorang di antara para perampok itu terluka parah. Seorang lagi diketemukan diluar kuburan, Orang itu bahkan telah pingsan, karena luka-lukanya. Tampaknya ia juga telah mencoba untuk melarikan diri, namun wadagnya tidak lagi dapat mendukungnya, sehingga ia terjatuh dan pingsan. Ki Bekel yang juga telah terluka meskipun hanya beberapa goresan ditubuhnya, telah memerintahkan untuk membawa mereka yang terluka dan para tawanan ke padukuhan.

“Hati-hati dengan para tawanan.” pesan Ki Bekel.

Ki Jagabaya tidak mau membuat kesalahan sehingga tawanan itu dapat terlepas meskipun hanya seorang saja. Karena itu, maka mereka pun telah diikat tangannya. Dua orang memegangi kedua ujung tali pengikat dari setiap orang.

Malam itu, para tawanan telah dibawa ke banjar padukuhan. Demikian pula mereka yang terluka. Ki Bekel telah memanggil tabib yang ada di padukuhan itu untuk membantu merawat orang-orang yang terluka.

Sementara itu, seperti yang dipesankan oleh Adeg Panatas, maka keempat orang itu telah di tempatkan di bilik yang terpisah. Mereka telah diikat dengan tiang yang ada didalam bilik itu. Bukan hanya tangannya, tetapi juga kakinya. Termasuk Ki Pituhu. Dari orang-orang yang tertawan, Ki Bekel mengetahui, bahwa pemimpin mereka adalah Ki Pituhu. “Kita akan berbicara dengan orang itu besok” berkata Ki Bekel kepada adiknya.

Adeg Panatas mengangguk. Namun ia memperingatkan, “Asal kita menjaganya dengan baik. Kawan kawannya dapat saja berusaha untuk membebaskan mereka. Tetapi ada kemungkinan yang lain. Mereka mengirim orang yang dengan diam-diam berusaha membunuhnya.”

Karena itu, maka Ki Bekel telah memberikan pesan kepada mereka yang berjaga-jaga di banjar itu, untuk sangat berhati hati. “Beri isyarat jika perlu” berkata Ki Bekel, “Aku akan membicarakan dengan beberapa orang, apa yang sebaiknya kita lakukan dengan benda-benda berharga itu. Jika perlu sekali, pukul saja kentongan.” Ki Bekel pun memberikan pesan yang sama kepada beberapa orang yang ditugaskannya untuk tetap berada di kuburan, mengawasi agar barang-barang berharga itu tidak diambil oleh siapa pun juga, sampai Ki Bekel mengambil satu keputusan.

Sepuluh orang yang berada di kuburan masih juga merasa, bulu tengkuk mereka meremang. Apalagi jika mereka memandangi sebatang pohon raksasa yang tumbuh di pinggir kuburan itu. Namun di antara mereka terdapat dua orang yang berani. Sura dan Mertawira. Keduanya telah diserahi untuk memimpin kawan-kawannya yang berjaga-jaga di kuburan itu. Paksi kemudian telah memilih untuk berada di kuburan bersama-sama dengan Sura.

Sambil duduk bersandar sebatang pohon di pinggir kuburan, dekat tempat benda-benda berharga itu ditanam, Paksi sempat merenungi pertempuran yang baru saja terjadi. Ia memang merasa heran, bahwa ada di antara mereka yang memiliki jalur perguruan yang dianutnya. Sebagaimana Paksi mengenali unsur-unsur gerak pada orang itu, maka orang itu pun dapat mengenali unsur-unsur gerak yang dikuasai oleh Paksi. Paksi pun kemudian berkata di dalam hatinya, “Tidak semua bunga ditanam berbau harum.” Namun Paksi bertekad untuk menemukan orang itu pada kesempatan lain. “Aku harus memberitahukan hal ini kepada guru” berkata Paksi di dalam hatinya. Tetapi Paksi tidak tahu, kapan ia dapat bertemu lagi dengan gurunya, karena Paksi tidak tahu kapan ia akan pulang. Paksi menarik nafas dalam-dalam.

Di sekitarnya terdapat beberapa orang padukuhan yang berjaga-jaga. Seorang di antara mereka membawa sebuah kentongan kecil. Jika perlu kentongan itu akan dibunyikan untuk memanggil orangorang dari padukuhan. Tetapi menurut perhitungan Paksi, para pengikut Kebo Lorog itu tidak akan kembali. Bagi Kebo Lorog, maka sawah di lingkungan ini adalah sawah yang tandus. Tentu tidak ada artinya jika ia harus menggarapnya lebih lama lagi.

“Apalagi orang yang bernama Ki Pituhu itu sudah tertangkap. Tidak ada lagi orang yang menyiapkan landasan bagi kekuatannya di daerah ini” berkata Paksi kepada diri sendiri. Namun beberapa saat kemudian, Paksi sempat merenungi dirinya sendiri. Setiap kali ia bertanya, “Kenapa aku harus pergi? Kenapa ibu menganggap bahwa ayah memang sengaja menyingkirkan aku dari rumah. Cincin itu hanya sekedar satu alasan.”

Sura yang berjalan hilir mudik untuk mengusir kantuk, justru telah mendekatinya. Sambil duduk di sebelahnya ia berkata, “Sebaiknya kau pulang saja ngger. Kau dapat beristirahat dan barangkali masih mempunyai waktu sedikit untuk tidur.”

Tetapi Paksi menjawab sambil tersenyum, “Aku tentu sudah tidak dapat tidur di sisa malam yang tinggal sedikit ini.”

“Kau tidak perlu tergesa-gesa bangun meskipun matahari sudah naik.” “Aku sudah terbiasa bangun pagi-pagi, paman” jawab Paksi.

Sura tertawa. Sambil menepuk bahu Paksi ia berkata, “Kau tentu letih. Barangkali kau dapat tidur sambil duduk bersandar seperti itu.”

Paksi pun tertawa pula. Katanya, “Aku akan mencoba, Paman.”

Sura pun kemudian bangkit sambil berkata, “Jika demikian, biarlah aku tidak mengganggumu.”

Paksi masih saja tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Paksi memang berusaha untuk dapat beristirahat. Tetapi yang beristirahat hanyalah wadagnya. Angan-angannya pun kembali mengembara menyusuri perjalanan hidupnya dari waktu ke waktu.” Paksi Pamekas itu pun mengambil kesimpulan, bahwa kehadirannya di rumah keluarganya memang tidak menyenangkan ayahnya. Ia tidak berada di dalam hati ayahnya. Tidak sebagaimana kedua orang adiknya yang mendapat perhatian sepenuhnya.

“Apakah karena aku anak sulung, maka aku harus memikul beban terberat di antara saudara-saudaraku?” bertanya Paksi di dalam hatinya. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Kakinya mulai merasa gatal. Nyamuknya cukup banyak, sehingga desing di telinganya membuatnya tidak tenang berangan-angan. Paksi akhirnya berdiri. Langit ternyata sudah mulai dibayangi cahaya kemerah-merahan. Menjelang fajar Paksi baru merasa dinginnya embun yang bergayut di ujung dedaunan dan menitik satu-satu. Batu-batu nisan pun mulai menjadi basah. Paksi menggeliat. Beberapa orang justru telah tertidur sambil bersandar pepohonan. Paksi melangkah keluar dari lingkungan kuburan. Ketika ia berdiri di pematang, dilihatnya sebuah parit yang dialiri oleh air yang jernih. Di luar sadarnya Paksi turun kedalam parit untuk mencuci wajahnya, kakinya dan tangannya. Terasa badannya menjadi sedikit segar meskipun semalam suntuk Paksi tidak tidur sekejap pun. Dalam pada itu, Ki Bekel, Ki Jagabaya dan Adeg Panatas masih berbincang tentang benda-benda berharga itu. Apa yang akan mereka lakukan, karena mereka tahu, bahwa benda-benda berharga itu adalah barang yang panas.

“Bagaimana kita dapat mengembalikan barang-barang itu kepada pemiliknya” berkata Adeg Panatas.

“Kita akan berbicara dengan Ki Demang.” berkata Ki Bekel.

Ki Jagabaya menjadi agak ragu. Katanya, “Bukankah Ki Bekel tahu, bahwa Ki Demang sering memilih jalan pintas untuk memecahkan persoalan? Ki Demang kadang-kadang dengan tanpa berpikir panjang, mengambil keputusan dengan mudah. Ia tidak mau bersusah payah mencari jalan keluar terbaik.”

Ki Bekel mengangguk-angguk, sementara Ki Jagabaya berkata selanjutnya, “Menurut dugaanku, Ki Demang akan menanggapi persoalan ini dengan ringan. Bahkan dengan tanpa memikirkan akibatnya” sambil sedikit kantuk, “Ki Demang akan mengatakan, bahwa sebaiknya barang-barang itu dimanfaatkan buat Kademangan.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti pendapat Ki Jagabaya. “Tanpa berpikir panjang, Ki Demang akan berkata, ‘Barang-barang itu kita jual. Uangnya kita pergunakan buat keperluan Kademangan.’ ”

Dengan nada dalam Ki Bekel bertanya, “Jadi bagaimana menurut Ki Jagabaya?”

“Kita menghadap Ki Tumenggung Wirayuda.” jawab Ki Jagabaya.

“Sejauh itu?” bertanya Ki Bekel. “Bukankah Ki Tumenggung Wirayuda yang telah mendapat tugas untuk mengambil pelaksanaan pemerintahan Pajang di daerah ini meliputi satu lingkungan yang luas sampai ke Kwarasan.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Namun ia pun bertanya, “Tetapi bagaimanapun juga kita harus berbicara lebih dahulu dengan Ki Demang.”

“Aku setuju, Ki Bekel. Tetapi sebaiknya kita sudah membawa sikap sebelum kita bertemu dengan Ki Demang.”

“Besok kita temui Ki Demang.” 

Tetapi yang mereka bicarakan bukan saja kepada siapa mereka harus melaporkan barang-barang berharga hasil rampokan itu. Tetapi perhatian Adeg Panatas lebih tertuju pada pengamanan barang-barang itu. Karena itu, maka Adeg Panatas itu pun berkata, “Kita harus mengatur, siapakah yang secara bergilir akan menjaga barang-barang itu.”

“Ya,” Ki Jagabaya mengangguk-angguk, “barang-barang itu tidak boleh jatuh kembali ke tangan para perampok itu.”

“Nanti, kita akan menyusun tugas bagi setiap laki-laki untuk bergantian berjaga-jaga di kuburan itu siang dan malam. Di siang hari kita akan menempatkan lima orang. Tetapi di malam hari, lebih dari itu. tujuh atau delapan orang.” berkata Ki Bekel, “mudah-mudahan Ki Tumenggung Wirayuda bergerak cepat atas nama Pajang sehingga tugas kita cepat selesai.”

gambar : RRI foto

Demikianlah, di pagi hari itu Ki Bekel, Ki Jagabaya dan Adeg Panatas telah bersiap-siap pergi ke padukuhan induk untuk bertemu dengan Ki Demang. Namun mereka-pun sudah bersiap pula untuk pergi ke Kwarasan, menemui Ki Tumenggung Wirayuda. Sebelum mereka berangkat, maka Ki Jagabaya telah menugaskan dua orang bebahu untuk membawa tiga atau empat orang menggantikan mereka yang bertugas menunggui benda-benda berharga di kuburan itu.

“Untuk selanjutnya kita akan mengaturnya sebagaimana kita mengatur para peronda,” berkata Ki Jagabaya.

Sementara itu, Ki Bekel, Ki Jagabaya dan Ades Panatas telah menemui Ki Demang uniuk memberikan laporan tentang peristiwa yang telah terjadi. Sebenarnyalah seperti dugaan Ki Jagabaya, maka Ki Demang tidak menanggapi persoalan itu dengan bersungguh-sungguh. Laporan itu didengarnya sambil mengangguk-angguk. Ia seakan-akan tidak mendengar bahwa telah jatuh korban di antara orang padukuhan. Beberapa orang telah terluka dan di antaranya sangat parah. Yang mula-mula ditanyakan, bukan keadaan orang-orang yang terluka itu, tetapi justru barang-barang yang masih berada di kuburan, “Apa saja yang kalian temukan?”

“Kami belum melihatnya satu demi satu, Ki Demang.”

“Nanti kita bongkar. Aku ingin melihat apa saja yang telah disembunyikan itu.”

“Kemudian?” bertanya Ki Bekel.

“Bukankah barang-barang itu tidak kita ketahui siapa pemiliknya?”

“Lalu?” bertanya Adeg Panatas.

Ki Jagabaya menarik nafas panjang ketika ia mendengar Ki Demang menjawab, “Itu rejeki kita. Kademangan ini membutuhkan banyak beaya untuk membangun banjar yang lebih baik. Untuk membuat susukan di gumuk Pantong. Dan barangkali masih ada yang lain.”

“Ki Demang,” berkata Ki Bekel, “barang-barang itu tentu ada pemiliknya meskipun kita tidak mengetahuinya. Seandainya pemiliknya tidak dapat kita ketemukan, maka kita tidak begitu saja dapat mempergunakannya untuk kepentingan kita sendiri.”

“Lalu, bagaimana menurut pertimbangan Ki Bekel?”

“Kami akan melaporkannya kepada Ki Tumenggung Wirayuda.”

“Untuk apa?” bertanya Ki Demang.

“Biarlah Ki Tumenggung Wirayuda memberikan keputusan atas nama Pajang. Seandainya, sekali lagi seandainya, Ki Demang. Ki Tumenggung menyerahkan barang-barang berharga itu atau sebagian daripadanya kepada kita, barang itu akan menjadi sah.”

“Jadi kalian akan pergi ke Kwarasan?”

“Barangkali Ki Demang juga ingin pergi?”

“Kenapa kalian memilih penyelesaian yang rumit?”

Adeg Panatas kemudian berkata, “Ki Demang. Jika kita langsung memanfaatkan benda-benda berharga hasil rampokan itu, mungkin sekali kita akan terjebak ke dalam kesulitan. Jika kita menjual benda-benda itu, mungkin pemiliknya dapat mengenalinya. Nah, jika ia sudah melaporkan bahwa ia kehilangan karena dirampok, maka kita akan dapat dituduh telah melakukan perampokan terhadap pemilik barang itu. Dengan demikian, kita akan mengalami kesulitan.”

“Tetapi mungkin Pajang akan mengambil barang-barang itu seluruhnya,” berkata Ki Demang.

“Itu haknya,” jawab Adeg Panatas.

“Tetapi apakah kau yakin, bahwa benda-benda itu akan dikembalikan kepada pemiliknya? Atau justru hanya akan memperkaya Ki Tumenggung Wirayuda?”

“Kemungkinan itu memang dapat terjadi, Ki Demang. Tetapi baiklah kita percaya kepada Ki Tumenggung. Jika kita sudah tidak mempercayai para petugas yang ditunjuk oleh Pajang, lalu apakah sebenarnya yang telah terjadi atas kita?” sahut Adeg Panatas.

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terserah kepada kalian jika kalian ingin menempuh jalan penyelesaian yang rumit. Aku sendiri tidak sempat mengurusinya. Pekerjaan cukup banyak.”

“Jika Ki Demang sibuk, biarlah kami yang menyelesaikannya. Tetapi yang penting, Ki Demang mengetahui apa yang akan kami lakukan.”

Ketika tiga orang itu kembali ke padukuhan, Ki Jagabaya pun berkata, “Bukankah kita sudah menduga?”

Apakah benar bahwa Ki Demang sibuk sekali?” bertanya Adeg Panatas.

Kisah Terkait

Jejak di Balik Kabut 2

kibanjarasman

Jejak di Balik Kabut 7 – Perkelahian Paksi

kibanjarasman

Jejak di Balik Kabut 4 (Jilid 1)

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.