Tidak butuh waktu lama bagi ketiganya untuk mencapai tepi pedukuhan. Pada malam itu wilayah luar Gondang Wates sama sekali tidak menunjukkan perlawanan. Siasat pertahanan yang dirancang Agung Sedayu terkesan tidak berjalan dengan baik. Kerut Dharmana menjadi berlipat ketika ia tidak melihat adanya gerakan atau bayangan di balik pepohonan dan pagar-pagar pekarangan. Meski gardu yang baru mereka singgahi masih ada kegiatan pengawasan, tetapi suasana yang berada di perbatasan telalu lengang!
Bentangan jarak masih cukup jauh bila dibandingkan dengan wilayah Pedukuhan Janti. Meski belum tampak adanya pertempuran namun dentang senjata dan teriakan orang-orang samar-samar mulai terdengar. Sayoga menarik kekang kuda untuk berhenti, begitu pula Dharmana dan diikuti oleh Bunija.
“Secepatnya kita harus dapat mencapai tempat terdekat dan memungkinkan kita mengamati sekitar perbatasan,” kata Dharmana pelan.
Dharmana menerima usul Sayoga agar mereka berjalan kaki agar tidak terpantau oleh lawan melalui detak kaki kuda. Mereka menambatkan kuda di halaman belakang sebuah rumah yang tidak berpelita. Sedangkan Bunija lebih memilih untuk mengikuti setiap perintah atau pendapat dari dua orang itu. Meski ia belum mengenal Sayoga, tetapi kepercayaannya pada Dharmana cukup memadai untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul. Terlebih setelah mendengar pengalaman Sayoga bertempur di Jagaprayan, maka Bunija merasa sepatutnya untuk menaruh keyakinan pada anak muda dari Menoreh itu.
Menurut Bunija, bila mereka melewati jalan biasa maka kehadiran mereka segera diketahui musuh. Keberadaan gardu di ujung jalan masuk Janti menjadi alasan kuat untuk itu. Lantas mereka menyisir di sela-sela tanaman yang dapat merintangi pengawasan dari seberang, dari wilayah Janti.
Tibalah mereka di tepi luar Gondang Wates. Dari balik dinding batu setinggi pinggang, mereka berlindung lalu mencari rerimbun yang dapat digunakan sebagai tempat pengintaian.
“Kakang,” bisik Sayoga, “Apakah tidak lebih baik kita menyebar?”
“Apakah itu menguntungkan?” Dharmana bertanya balik.
“Selama kita benar-benar dapat berlindung, sejauh itu mungkin kita akan aman.” Sayoga berpaling pada Bunija, menunggu pendapat pengawal Gondang Wates. Namun Bunija mengangkat bahu.
Dharmana pun tidak segera memberikan pendapatnya. Ia masih bertanya-tanya dalam hati tentang yang dialami oleh Gondang Wates. Bagaimana para pengawal tiba-tiba lenyap dari tempat-tempat seharusnya? Apakah mereka melarikan diri atau justru terhisap oleh pusaran perang di Janti? Jika mereka terhisap, maka kejatuhan Gondang Wates akan sejalan dengan jumlah langkah kaki. Bila mereka tidak terjun ke sana, lalu ke mana mereka pergi?
“Kakang!” desak Sayoga.
Tergagap Dhamrna, katanya, “Baik, baik. Baiknya memang kita menyebar.” Tetapi ia tidak membagi arah untuk dua pengiringnya. Dharmana hanya mengangguk, bahkan tubuhnya belum bergeser tempat!
Sayoga menggeleng tetapi dapat memahami bahwa Dharmana menemukan kejanggalan di sekitar mereka. Anak muda itu tidak memburu Dharmana dengan pertanyaan yang mungkin hanya membawa kerugian bagi mereka, waktu yang terulur! Sedangkan keputusan cepat sangat dinantikan oleh Agung Sedayu dan orang-orang lainnya.
Maka Sayoga mengambil jurusan ke gardu jaga Pedukuhan Janti, sementara Bunija dimintanya tetap berada di belakang mereka. “Sampeyan ambil tempat di samping jalan utama untuk mengawasi orang dari arah Janti. Bila perlu, cegah dengan kekerasan.”
“Aku mengerti.” Bunija berjalan merunduk, mendekati jalan utama yang menghubungkan dua pedukuhan itu.
Dharmana terperanjat ketika mendapati sendirian di tempat itu, namun ia tersenyum kemudian sambil menepuk jidat. “Bagaimana aku dapat terbawa keadaan sekarang? Tugasku adalah mengintai lalu melaporkannya pada Ki Rangga. Bukan tugasku untuk membenahi siasat KI Rangga yang tidak berjalan di pedukuhan ini. Betapa mudah aku terseret.” Penilaian pun kemudian dilakukannya, dan Dharmana memutuskan untuk membayangi Sayoga.
Dari tempatnya, Sayoga dapat melihat kesibukan di wilayah Janti. Sekelompok orang berjajar duduk, menghadap Gondang Wates dari sisi selatan. Segelintir orang tengah berkumpul di depan gardu jaga. Bayangan mereka dapat dilihat oleh Sayoga yang terbantu oleh benderang api yang membakar Pedukuhan Janti. “Mereka tidak mengawasi sebelah utara,” kata Sayoga dalam hatinya dengan tatap mata menuju arah utara.
“Di kawasan utara terdapat hutan kecil,” kata Dharmana yang tiba-tiba berada di balik punggung Sayoga, “mungkin dan bisa saja mereka mengabaikan itu bila ada teman-teman mereka berkumpul di sana.”
“Oh, Kakang,” seru pelan Sayoga yang tidak mengetahui kedatangan Dharmana. “Mungkin aku yang terlalu abai keadaan sekitar jadi tidak mendengar langkah kakinya, atau memang ia mempunyai ilmu untuk menyerap bunyi,” kata Sayoga dalam hatinya.
Tiba-tiba Sayoga terguncang ketika seorang lelaki berdiri menghadap jurusan Gondang Wates. Lelaki itu bersilang tangan di dekat obor yang menyala sejauh dua langkah dari tempatnya. Wajah dan bentuk tubuh lelaki itu benar-benar dikenalnya dengan baik. Begitu pun Dharmana yang seolah merasakan detak jantungnya berhenti mendadak sewaktu melihat sebaris anak muda berjalan jongkok. Ia mengenali beberapa wajah mereka.
“Oh, inilah sebab Gondang Wates begitu lengang,” kata Dharmana lirih.
“Kakang?”
“Ki Rangga menyusun benteng pendam pada tempat ini hingga gardu yang kita lewati tadi. Namun aku tidak melihat seorang pun sewaktu kita menuju ke sini. Mungkin itulah mereka,” kata Dharmana dengan telunjuk mengarah pada tebing rendah yang menghadap sawah.
“Menjadi tawanan?” Sayoga mengalihkan tatap mata sesuai arah yang ditunjuk Dharmana.
“Tentu para pengawal akan melawan gigih. Tidak mudah menculik atau mengalahkan mereka. Terlebih tidak ada suara yang berasal dari panah sendaren. Ketua regu jaga tidak menyebut gaung sendaren. Apakah aku yang melewatkan keterangan itu?”
“Tidak, Kakang. Ketua regu memang tidak menyinggung tanda bahaya.”