Bunija membelok, memasuki celah sebuah celah di antara pembatas pekarangan, menyisir jalan setapak yang rapat ditumbuh pohon singkong dan pisang. Dua kali ia menengok untuk melihat kelanjutan sepak terjang Sayoga dan Dharmana. Bunija begitu gemas karena tidak diizinkan ikut bertempur! Bunija begitu geram karena telah merasa pengawasan yang dilakukannya sangat ketat. Namun pihak lawan begitu cerdik dengan mengambil lorong panjang yang tersembunyi di balik pategalan yang berada di seberang tempat Bunija menjaga keadaan. Sungguh! Bunija didera penasaran dan bercampur aduk dengan perasaan yang lain, meski demikian perintah Dharmana berada di atas segalanya waktu itu, baginya.
Apakah, kira-kira, Ki Rangga dapat mengerti maksud pesan Dharmana? Geleng kepala Bunija yang diikuti desah tanda ia gelisah menduga Agung Sedayu mungkin tidak segera menangkap maknanya.
Maka ia membedal lambung kuda. Begitu kuat keinginannya agar segera tiba di pedukuhan induk, serunya, “Terbanglah, kuda baik. Terbanglah!” Di atas punggung kuda, ia mengulang-ulang pesan Dharmana, “Kosong, tawanan dan serangan. Kosong, tawanan, gardu.” Tak mudah bagi Bunija untuk lekas sampai di tujuannya. Jalan setapak itu, walaupun dapat menjadi pintasan, tetapi banyak turunan terjal dan tanjakan yang dipenuhi bebatuan pada dua sisinya. Bila ia tergelincir, sedikit harapan untuk dapat menyampaikan pesan Dharmana. Bila ia tergelincir, maka ia akan terperosok tiga kali lebih jauh dari yang ditempuh saat mendaki tanjakan.
Sementara itu, gardu semakin dekat dengan Sayoga, kemudian teriaknya pada Dharmana, “Kita berjaga jarak, Kakang!” Dharmana belum mengerti maksudnya namun ketika Sayoga melebarkan jarak dengannya, Dharmana pun paham. Tetapi laju kudanya terlalu riskan jika mendadak melebar, maka Dharmana tetap pada jalurnya. Sekejap lagi dua kaki depan kudanya akan menerjang lawannya.
Sayoga melirik sekilas, mengerti bahwa mustahil bila bentangan ditambah secara tiba-tiba, maka ia melompat dari punggung kuda. Tubuhnya melejit, begitu lentur dan indah selagi melayang dengan tiga kali jungkir balik di udara, menerjang tiga orang yang menghadangnya.
Di belakang barisan penghadangnya, terjadi pertempuran yang tidak seimbang antara pengawal pedukuhan melawan pengikut Raden Atmandaru. Delapan pengawal terkurung sebelas orang prajurit musuh.
Sedangkan Dharmana berkelahi dari atas punggung kuda melawan pemimpin kelompok kecil yang menjadi seterunya. Ia memekik nyaring sebagai tanda bahwa seluruh kemampuannya akan dikerahkan hingga batas tertinggi. Dharmana menusuk musuhnya dengan ujung tombak yang tak begitu panjang, ketika lawannya sanggup menghindar, masih dari punggung kuda, Dharmana memutar tombak lalu memukul bagian punggung lawannya.
“Hebat! Baru sekarang ada pengawal padesan yang bisa berkelahi dengan benar,” ejek lelaki bertubuh sedang dengan gelang dari akar pohon membelit dua lengannya. “Nah, sekarang kau dapat bersiap kalah. Ingat namaku baik-baik agar engkau dapat berbangga diri karena kalah berkelahi melawanku. Ki Dirgasana. Itu namaku dan selalu kenanglah dengan baik, jika dapat selamat malam ini!” Ki Dirgasana menggerakan sepasang kakinya dengan menggeser erat di atas tanah.
Dharmana mengabaikan ejekan lawannya. Ia tidak sedang berkelahi dengan ucapan. “Tata gerak yang aneh!” pikir Dharmana sambil memicingkan mata.
Debu-debu segera berhamburan, menjadi penghalang pandang Dharmana, bahkan kudanya pun terganggu dengan debu yang melayang semakin tebal. Dharmana memutar tombaknya lebih cepat agar kepul debu tersingkir dari sekitarnya, tetapi Ki Dirgasana selalu dapat berlindung di balik hamburan debu sambil menyerang lawannya dengan rentetan tendangan yang silang menyilang!
Tiga penghadang segera melingkari Sayoga, mereka mengitari dengan ayun langkah menyamping sementara tubuh mereka tetap menghadap Sayoga yang terkurung di tengah lingkaran. Tidak ada rasa gentar yang muncul dalam hati anak muda dari Menoreh ini, perjalanannya beberapa masa yang lalu menggemblengnya sangat keras sehingga ia menjadi lebih kuat. Seuntai rantai besi tiba-tiba menyambar Sayoga, membidik tepat di bagian tengah dahinya. Lontaran itu begitu cepat dan sangat kuat hingga menimbulkan suara berdesing. Sayoga mengelak, memiringkan tubuh lalu menyabetkan pedang kayunya ke bagian belakang. Pendengarannya menangkap desir gerakan yang datang dari balik punggungnya.
Orang yang hendak menyerang Sayoga tiba-tiba terkejut dengan ayunan pedang kayu yang membabat tepat pada batang lehernya. Ia mundur selangkah sambil mencondongkan tubuh ke belakang. Sementara pelempar rantai menjadi marah ketika melihat lontaran senjata begitu mudah dielakkan Sayoga.
Seorang lagi menghantam Sayoga dengan tendangan samping yang dilakukannya sambil melayang. Begitu deras dan kuatnya tendangan itu, Sayoga tidak sempat mengelak, memutar tubuh seperti kayu gilingan sambil menutup lambung dengan siku bersudut lancip. Serangan bertenaga dan ditambah bobot tubuh penyerang, membuat Sayoga terhuyung mundur. Satu, dua, tiga langkah Sayoga terpental. Sekilas ia melihat bahwa tubuhnya berada sejajar dengan garis lingkaran, maka Sayoga menghentak langkah, melemparkan tubuh agar keluar dari kepungan. Cerdas! Meski demikian dan masih tegak berdiri dengan senjata erat tergenggam, Sayoga merasakan nyeri pada sikunya.
“Bukan main! Ia mampu menendang sangat kuat. Mungkinkah serangan tadi berlambar tenaga inti?” Sayoga memutar jalan pikirannya.
Seraut wajah geram terlihat dari seorang pengepungnya. Ia tahu bahwa akan sedikit berat untuk menundukkan lawan yang berusia muda itu. “Ia dapat lolos dari tiga serangan yang hampir serentak mengancamnya. Bahkan ia lepas dari jerat lingkaran! Pemuda edan! Bila ia mampu menyerang Ki Surana yang berada di belakangnya, tentu jauh lebih sulit jika berhadap-hadapan seperti sekarang ini,” katanya dalam hati. Lelaki ini memutar lengan, memberi tanda pada dua kawannya agar segera menempatkan Sayoga kembali berada di pusat lingkaran. Sayoga bergeser mundur, bergerak ke samping kiri dan kanan, memancing serangan dengan selangkah maju. Acak Sayoga bergerak supaya tiga musuhnya tidak dapat menyeretnya ke dalam lingkar kepungan.
Berbekal jalur ilmu yang diajarkan oleh Nyi Wijil, Sayoga menggerakkan satu kakinya, membuat lingkaran kecil di bawahnya. Ia sedikit merunduk, sambil menunggu tiga musuhnya menyerang, Sayoga membuat penilaian dari gerak dasar tiga pengepungnya. Ia akan memilih gerak dasar yang paling terbuka untuk diserangnya!
2 comments
Selain narasi yg kadang sulit dimengerti juga iklan yg tll bnyk disetiap halaman menjadi beban unt loading scr cepat… Pdhal iklan itupun cukup dibaca sekali saja dan iklan2 selanjutnya tdk dibaca lagi….. Mgk kurangi iklan akn menambah keasyikan membaca, tks.
Untuk narasi mungkin memang sulit untuk sebagian penikmat, hanya saja cara penulisan seperti itu yang saya bisa lakukan. Sedangkan iklan menjadi tumpuan sebagai pengganti dari kebebasan berbayar, selain itu, pengaturan iklan dilakukan otomatis dari penyedia jasa.
Anda dapat bersabar dengan menunggu hingga Kitab Kiai Gringsing versi pdf telah terbit, lalu mengunduhnya gratis dan membacanya tanpa lagi terganggu oleh iklan. Demikian keterangan, harap menjadi maklum.