Padepokan Witasem
Api di Bukit Menoreh, Agung Sedayu, Kiai Gringsing, cerita silat
Bab 4 Kiai Plered

Kiai Plered 33 – Pedukuhan Janti

Sementara itu Ki Demang tengah termenung bersama ibu Sekar Mirah di pringgitan. Mereka tidak dapat berbuat lebih banyak dari menunggu. Seorang bocah lelaki tengah berada di pangkuan Ki Demang. Sebelumnya bocah itu bertanya, “Kakek, ada apakah dengan mbokayu Mirah?”

Ki Demang mengalihkan jawaban pada istrinya melalui pandangan mata. Jawab Nyi Demang kemudian, “Sampeyan akan mempunyai adik bayi. Besok pagi dan seterusnya, Sampeyan tidak lagi bermain sendiri. Ada adik mbokayu Mirah.”

“Benarkah, Kakek?”

Ki Demang perlahan memberi jawaban dengan anggukkan kepala. Tetapi bocah itu seperti belum puas dengan bahasa tubuh kakeknya. Ia mendesak, “Kakek, kenapa diam?”

loading...

“Kakek tidak diam. Hanya saja kakek sedikit pening.” Senyum lesu membingkai raut wajah yang telah penuh dengan gurat garis nasib. Ki Demang berusaha tidak mengungkap gelisah dengan remang-remang pada wajahnya. Berulang-ulang orang tua Sekar Mirah melempar pandangan ke bagian dalam, terutama pintu bilik anak perempuan satu-satunya. Mereka berharap kabar gembira. Keduanya telah menunggu itu semenjak tujuh bulan yang lalu.

Nyi Demang mendekap harapan dengan lintasan-lintasan wajah Sekar Mirah di masa kecil : bocah perempuan mungil yang lincah berlari dan menari. Bocah perempuan yang mampu memaksa sedih menyingkir dari hati ibunya. Mirah, Mirah, Mirah menjadi kata yang memenuhi ruang batin Nyi Demang. “Begitu lama,” Nyi Demang mendesah tanpa suara. “Selama ini Sekar Mirah tidak mengalami gangguan atau kejanggalan-kejanggalan yang tidak lumrah. Atau mungkin ia tidak ingin membebaniku dan ayahnya. Mungkin usianya terlampau tua untuk persalinan tetapi bila telah menjadi kehendak-Nya, apa kuasa Sekar Mirah? Kasihilah, Gusti. Kasihanilah anak saya.”

Udara dingin seperti tak sanggup menghalau gelisah yang meringkuk erat dalam hati Sekar Mirah. Tatap lekat mata Agung Sedayu pada wajah Sekar Mirah membentur dinding kelopak mata yang terpejam. Agung Sedayu tidak dapat mengetahui keadaan istrinya yang sesungguhnya. Ia hanya dapat mendengar erang kesakitan dan ratapan yang berkepanjangan, melihat garis-garis wajah Sekar Mirah yang terus-menerus menampakkan keluh yang tak terucapkan. Sehelai kain yang menutup tubuh Sekar Mirah telah basah oleh peluh dan air ketuban. Namun di balik tirai tipis itulah terjadi pergulatan hidup mati yang lebih dahsyat dari perang tanding!

“Selain menunggu perintah Nyi Kuswari, apa lagi yang harus aku lakukan? Aku tak dapat bicara dengan Mirah, tak pula dapat mengerti keadaan anakku! Kalau saja kelahiran ini tidak dapat dipaksakan atau andai tidak ada keonaran yang berturut-turut terjadi, mungkin segalanya menjadi berbeda.” Namun Kiai Bagaswara telah memberinya pengertian bahwa kelahiran anaknya harus dipaksakan, bila Agung Sedayu bertahan untuk menuju kelaziman, maka bahaya besar dapat menimpa istri dan anaknya. Tentu senapati Mataram ini tidak akan sanggup memaafkan dirinya sendiri bila tetap menghendaki persalinan yang wajar. Boleh jadi, selama musim masih bergiliran datang, Agung Sedayu akan dikenang sebagai pembunuh berdarah dingin dan ayah yang keras kepala.

Agung Sedayu menggeram dan kesal dalam hatinya karena kekacauan yang terjadi di sekitarnya, tetapi ia sadar bahwa peristiwa yang dialami istrinya sejak di Tanah Perdikan bukanlah kesengajaan yang dilakukan orang lain untuk mencelakai keluarganya. Maka ia menahan kemarahan itu lalu memendamnya dalam-dalam.

“Ki Rangga,” kata Nyi Kuswari sambil menegakkan punggungnya. “Bayi ini sepertinya berkeras hati dengan tidak mengubah kedudukan.”

Agung Sedayu memandang wajah Nyi Kuswari tak mengerti.

“Begini,” lanjut Nyi Kuswari, “bayi Nyi Sekar Mirah dalam keadaan melintang. Bagian punggung atau perutnyalah yang menghadap jalan lahir, sedangkan kelahiran sudah sewajarnya diawali oleh bagian atas, kepala. Ki Rangga, dalam beberapa persalinan yang saya bantu, keluarnya bayi berawal dari dua  kaki yang mendorong kuat-kuat, lalu, biasanya akan diikuti dengan putaran tubuh. Bayi akan memutar, berpilin hingga kepalanya menyembul dari pintu garba ibunya. Dorongan kaki bayi itu sendiri adalah jalinan kerjasama dengan ibunya ketika mengejan.”

“Dari mana bayi itu tahu?”

“Ada peralihan wawasan yang tidak dapat kita ketahui caranya, Ki Rangga. Ada pengajaran dari ibu untuk anaknya dengan bahasa-bahasa yang hanya berlaku di dalam gua garba.” Senyum Nyi Kuswari masih mengembang.

Agung Sedayu mengernyitkan kening kemudian bertanya, “Lantas, bagaimana dengan anak kami?”

“Mungkin Ki Rangga bisa membantu saya dengan mengusap perut Nyi Sekar Mirah. Dan dalam waktu itu, Ki Rangga dapat mencoba bicara pada bayi.”

“Apakah ia dapat mendengar?”

Nyi Kuswari menggangguk dan tersenyum. “Tentu saja, Ki Rangga. Tentu saja ia dapat mendengar karena alat dengarnya sudah bekerja dengan baik.”

Agung Sedayu menghampiri Sekar Mirah lebih dekat. Ia duduk di tepi pembaringan, meletakkan telapak tangan lalu memejamkan mata. Agung Sedayu ingin mendengarkan. Ia ingin melihat melalui getaran-getaran jiwani yang tengah dilakukannya sesuai petunjuk Nyi Kuswari.

Pemimpin pasukan khusus ini merindukan kehadiran permata dalam hidupnya, maka ia mencoba mencari cahaya dalam kegelapan yang meringkuk dalam hatinya. Seberkas cahaya yang mengerjap adalah harapan yang tengah dikais olehnya. “Semoga yang aku perbuat ini dapat diketahuinya lalu ia mengerti keadaan ibunya. Semoga.”

 

Wedaran Terkait

Kiai Plered – 83 Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 9 – Pedukuhan Janti

kibanjarasman

Kiai Plered 88 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 87 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 86 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 85 – Randulanang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.