“Apakah Ki Rangga berada di sini? segera Bunija bertanya balik
“Tidak. Ki Rangga sedang menunggu persalinan Nyi Mirah.”
“Kalian, ada berapa orang?”
Pengawal yang bertugas di banjar mengerutkan kening. “Pertanyaan yang aneh,” katanya dalam hati. Ia meminta Bunija sedikit bersikap lebih tenang, lantas memandang dua orang yang datang bersama Bunija. “Sebenarnya, apa yang terjadi pada kalian?”
Sutiyasa mendekati Bunija kemudian menyentuh bahu pengawal Gondang Wates sambil berkata, “Bunija, biarkan kami yang mengatakan pada mereka.”
Bunija menarik napas panjang, katanya kemudian, “Silahkan.”
“Di gardu jaga yang terletak di perbatasan dengan Janti, menurut Bunija, telah pecah bentrokan antara pengawal pedukuhan dengan lawan.” Sutiyasa mengawali penjelasan.
Kemudian Bunija meneruskan keterangan itu, katanya, “Kami diperintah… aku diperintahkan kakang Dharmana untuk memberitahukan keadaan Gondang Wates pada Ki Rangga.”
“Dan sekarang kalian telah berada di banjar. Salah satu dari kami bisa mengantar kalian pergi ke rumah Ki Demang,” kata pengawal Sangkal Putung, “Tetapi sebelum itu, dapatkah kalian katakan tentang keadaan terakhir Gondang Wates?”
Bunija pun menceritakan secara singkat mengenai suasana di perbatasan, perkelahian di gardu jaga dan pertemuan mereka di ujung tanjakan.
“Berapa banyak jumlah mereka?” ketua regu bertanya.
“Sedikit lebih banyak dari pengawal pedukuhan, tetapi Sayoga dan Dharmana mungkin akan banyak mengurangi perbedaan kekuatan yang ada,” jawab Bunija.
“Bagaimana engkau yakin?”
Bunija mendengus kesal, meski tidak tahu kemampuan Sayoga dan Dharmana sebenarnya tetapi ia tersinggung dengan pertanyaan itu. Kemudian katanya dengan ketus, “Bagaimana aku yakin? Karena aku harus yakin bahwa mereka memang akan membuat perbedaan. Baiklah, begini, aku berterus terang, bila kalian tidak yakin dengan mereka berdua, maka pergilah dan bantulah teman-teman kami di Gondang Wates!”
“Baik, kami segera ke sana,” sahut seorang anak muda yang berdiri di samping pengawal yang menjadi ketua regu.
“Tidak!” sergah ketua regunya. “Kita harus menunggu mereka melaporkannya pada Ki Rangga.”
Anak muda itu, mungkin seusia dengan Sayoga atau Sukra. Memandang wajah pemimpinnya dengan sorot mata heran. “Kakang takut? Mengapa harus menunggu Ki Rangga? Bukankah kita telah dibekali senjata dan gelar yang bersifat khusus?”
Ketua regu banjar menggeleng. Suaranya mendesis, “Tak ada alasan untuk takut karena selalu lebih banyak alasan untuk mati konyol.”
“Kakang, bila mereka bisa menyerang kita setiap waktu, seharusnya pula kita dapat berbuat yang sama dengan mereka. Aku pikir kita, walau tidak semua yang berada di sini, dapat memukul mereka mundur. Sebenarnya persoalan terbesar kita adalah selalu menunggu perintah Ki Rangga. Sebagai anak seorang bekel pedukuhan, aku kira aku dapat mengatasi keadaan di Gondang Wates.”
“Sombong!” teriak pengawal lain pada anak bekel pedukuhan. “JIka ini menjadi pertempuranmu yang pertama, aku harap kau simpan kata-katamu sampai bertemu musuh yang bertelanjang senjata. Hey, Simbara! Aku harap sikap dan ucapanmu tadi bukan karena engkau adalah anak pemimpin Pedukuhan Randulanang.”
“Bila tidak?” tukas Simbara.
“Bila tidak, itu hanya berarti ucapan dari seseorang bermulut besar saja. Lalu, buat apa kami mendengarnya?”
Simbara pepat menahan marah. Ia berpendapat lebih baik menyerang lawan di Gondang Wates daripada menanti serangan di banjar pedukuhan induk. “Menunggu akan menurunkan ketahanan juang saja,” teriaknya.
Ketua regu menengahi. “Aku berpikir sama dengan kalian berdua. Menyerang mereka di Gondang Wates berakibat dua hal, mati konyol atau mengurangi ketahanan lawan. Aku pikir begitu. Namun menunggu di sini pun berakibat dua hal, kita dapat menghemat tenaga bila akhirnya Sayoga dan kakang Dharmana mampu membekuk mereka. Yang kedua, pedukuhan tidak kekurangan pengawal bila terjadi serangan mendadak dari jurusan lain.”
“Dan, mana yang akan Kakang pilih?” Tatap tajam Simbara menembus rongga dada ketua regunya.
Namun ketua regunya tidak menanggapi, bahkan memberi perintah pada anak buahnya yang lain agar segera mengantarkan Bunija menemui Agung Sedayu. Bunija serta dua orang Jati Anom hanya mengikuti perbantahan itu tanpa bercakap suara. Bagi mereka, yang utama dilakukan adalah menemui Agung Sedayu selekas mungkin. Selain hal itu? Tidak ada.
“Marilah,” kata pengawal yang lain mengajak Bunija dan dua orang Jati Anom menemui pemimpin pasukan khusus Mataram. Mereka berempat bergegas mengambil jurusan yang akan membawa mereka kepada Agung Sedayu.
Sebelum empat orang itu melangkah keluar dari halaman banjar, ketua regu berkata pada pengawal kademangan, “Pedukuhan Janti telah berada di penguasaan musuh. Gondang Wates pun telah mereka datangi. Ini adalah ancaman, dan bukan omong kosong. Sejauh ini kita berbantahan dan saling bertanya, apakah benar Ki Rangga tidak mengabarkan berita palsu? Memang pedukuhan induk masih dalam pengawasan kita, tetapi musuh telah dekat. Sangat dekat.” Sepintas ia melihat dengan sorot mata yang menyayat Simbara.
Para pengawal yang berada di sekeliling ketua regu tidak mengeluarkan kata-kata. Sebenarnyalah ketua regu memang mengatakan kebenaran. Mengungkap kenyataan bahwa sebagian orang Sangkal Putung menjadi ragu-ragu dengan segala perintah Agung Sedayu. Peringatan bahaya dari prajurit Mataram itu pun tidak dijalankan sepenuh hati, hanya karena mereka memandang Agung Sedayu adalah kakak seperguruan Swandaru dan orang yang pernah berjasa di masa lalu. Sepanjang malam di banjar, Simbara banyak mengatakan tentang kemungkinan-kemungkinan seperti yang diucapkan ketua regu saat itu. Sejumlah pengawal larut dalam pembicaraan-pembicaraan yang diedari pendapat dari Simbara.
“Simbara,” kata ketua regu. “Ki Rangga telah memberikan peringatan. Setiap pedukuhan pun bergerak seperti harapan Ki Rangga. Namun bila engkau mempunyai persoalan dalam keadaan seperti ini, engkau boleh marah pada orang-orang yang menolak gagasanmu. Dan apabila engkau mau, aku juga tidak keberatan melepas ikatanmu sebagai pengawal kademangan. Kau dapat berjalan pulang ke Randulanang.”
“Tidak terdengar sebagai ancaman, Kakang.”
“Aku tidak sedang mengancammu.”
“Itu semua lebih terdengar sebagai hinaan. Aku adalah anak pemimpin Randulanang, tidak sepatutnya kalian, orang-orang padesan, mengabaikan keberadaanku di tempat ini. Meski aku pun seorang pengawal sebagaimana kalian semua, tetapi aku berasal dari Randulanang dan suaraku sangat dipatuhi di sana. Seharusnya kalian dapat membuka mata setelah kenyataan terhampar di depan kita sepanjang waktu ini. Ki Swandaru tidak ada di sekitar kita. Ke mana beliau pergi? Siapa yang pantas menggantikan Ki Swandaru untuk sementara waktu? Aku, bukan Ki Rangga Agung Sedayu yang seorang prajurit tapi tidak mengenal tata wilayah. Kalian dapat mempertimbangkan itu. Bila ada perubahan pada jalan pikiran kalian, aku menanti itu di Randulanang. Selamat malam.”