Padepokan Witasem
Api di Bukit Menoreh, Agung Sedayu, Kiai Gringsing, cerita silat
Bab 4 Kiai Plered

Kiai Plered 59 – Gondang Wates

Para pengawal yang berada di banjar kebanyakan adalah anak-anak muda yang berusia tidak terpaut jauh dari Simbara atau Sayoga. Maka mendengar perkataan Simbara yang mengejutkan, sebagian dari mereka menerimanya dengan hati tertusuk. Betapapun, Agung Sedayu adalah orang yang mempunyai kepantasan menggantikan kedudukan Swandaru untuk sementara waktu.  Namun sebagian juga dapat menerima alasan yang dilontarkan oleh Simbara. Meski demikian, walau sejenak, gejolak yang nyaris memanaskan udara banjar mulai mereda setelah ketua regu mereka bersorah sedikit panjang.

“Kita tidak sedang berlatih atau bermain-main sambil  menunggu tenggelamnya rembulan,“ perlahan ketua regu kembali berbicara. “Kita harus memahami bahwa keadaan kademangan benar-benar sangat sulit. Aku tidak perlu mengulang persoalan yang berulang-ulang kita bicarakan di tempat ini selepas senja tadi. Namun aku ingatkan kali ini, Ki Rangga tidak akan mampu mengatasi belit masalah ini apabila kita meninggalkannya seorang diri.”

“Baik, Kakang,” ucap anak-anak muda serempak.

Dari tlundak banjar, mereka memandang punggung Simbara yang kemudian mengambil jurusan yang berlawanan arah dengan Bunija.

loading...

“Ke mana ia akan pergi?” seorang pengawal mengutarakan Tanya yang dijawab dengan geleng kepala oleh mereka yang mendengarnya.

Dalam waktu itu, ketika Simbara mengayun langkah menembus malam, ia berkata dalam hatinya, “Bagaimana mungkin sekumpulan laki-laki muda begitu tunduk pada seseorang yang dikenal lemah dan peragu? Apakah nasib kademangan ini sepenuhnya berada padanya? Ini tidak masuk akal. Sepertinya pengawal Sangkal Putung telah kehilangan arah. Mereka bukan lagi sekawanan pejantan yang layak dibanggakan. Huh!”

Simbara terus berjalan menjauh dari banjar pedukuhan induk. Pikirannya membuka jalan-jalan yang dapat diisinya dengan rencana-rencana ketika perang benar-benar membakar tanah kademangan. Tanpa keraguan sama sekali, ia membuat tantangan bagi dirinya sendiri. Harga diri yang tinggi sebagai anak bekel pedukuhan menumbuhkan rasa percaya diri yang cukup besar. “Esok akan terlihat. Apakah Agung Sedayu benar-benar layak menempati kedudukan sebagai seorang pemimpin di Sangkal Putung? Aku akan mengetahui jawabannya.”

Berbeda jalur yang mereka lalui semenjak meninggalkan halaman banjar, Bunija sudah tidak sabar lagi untuk bertemu dengan Agung Sedayu. Ia mengajak tiga pengiringnya untuk berlari. Terngiang di bagian dalam pendengarannya ucapan Simbara yang benar-benar menyakitkan hatinya. Sebenarnya ia ingin menampar anak itu tetapi Bunija segera sadar bahwa kegentingan Sangkal Putung tidak dapat diselesaikan dengan sebuah tamparan. Bahkan mungkin akan terjadi permusuhan di dalam sekam bila ia sungguh-sungguh melabrak mulut Simbara. Yang terdengar kemudian darinya adalah dengusan-dengusan marah!.

Sebenarnya bukan hanya Bunija yang sakhit hati, dua orang Jati Anom pun ingin memukul kepala Simbara pada saat ia mengucapkan itu. Walau mereka tidak mendengar secara langsung, tetapi penuturan pengawal banjar yang mengantarkan mereka cukup membakar hati. Agung Sedayu, di mata orang-orang Jati Anom, adalah kebanggaan. Menjadi orang kepercayaan Panembahan Senapati bukan pemberian yang datang tiba-tiba. Mereka mendengar sepak terjang Agung Sedayu belasan tahun silam. Pada malam itu, dua orang Jati Anom ingin sekali meninggalkan Sangkal Putung secepatnya! Namun mereka tetap melangkah maju menemani Bunija atas perintah Ki Panuju dan pribadi Agung Sedayu.

“Bila bukan karena Ki Rangga berada di sini dan menikah dengan orang Sangkal Putung, kademangan ini bukanlah apa-apa untukku!” hati Sutiyasa mendesis tajam. Begitu pun Marsudi yang berpendapat sama.

“Dua tikungan lagi, kita akan sampai di rumah Nyi Sekar Mirah,” kata pengiring dengan suara yang terdengar dipaksakan. Orang muda ini pun merasakan kegetiran tengah melanda mereka berempat.

“Bila kita telah bertemu dengan Ki Rangga, bukankah itu tidak berarti masalah segera usai?” Bunija menyusulkan ucapannya dengan tawa kecil yang terdengar sumbang. Tiga orang memandangnya dengan wajah masam. Begitu hambar!

Meski mereka adalah pemberani tetapi lawan mereka begitu matang bersiasat. Kejutan-kejutan terus datang bertubi-tubi menghantam ruang batin mereka. Mereka tidak takut terbunuh, terlebih bila musuh telah menghunus senjata. Kebingungan adalah keadaan yang menjejali perasaan dan pikiran banyak orang Sangkal Putung. Bahkan sejak Simbara banyak mengumbar kemungkinan-kemungkinan yang dipikirkannya di depan banyak orang, keresahan tiba-tiba menjadi bala bantuan tak terduga bagi bala pasukan Raden Atmandaru.

Ruang dada orang-orang Sangkal Putung mulai sering bergetar ketika mendengar sebuah wilayah mulai didatangi kekacauan. Sedangkan serangan kilat masih kerap dilepaskan oleh pengikut Raden Atmandaru sejak hutan Pedukuhan Janti menyalakan api.

Maka pertanyaan Bunija pun tidak mendapatkan tanggapan dari pengawal Sangkal Putung. Termasuk pula dua orang Jati Anom yang seolah tidak menghiraukan ucapannya. Walau begitu, pikiran dan keinginan mereka telah terpusat pada satu pandangan. Melawan hingga kekuatan terakhir.

Bunija yang sulit menekan gelombang hatinya tetap menggerakkan bibirnya. “Kalau aku masih merasa sayang bila mati dalam usia begini muda. Tentu kalian paham maksudku. Hanya saja anak gadis mana yang bersedia melihat wajahku?”

Serentak tiga teman perjalanannya tersenyum.

Tikungan di ujung jalan telah terlihat dan mereka melampauinya.

Regol halaman rumah Ki Demang masih terlihat ramai dengan orang-orang yang berjaga.

Sepasang mata membayangi empat punggung orang yang terlibat percakapan singkat dengan penjaga regol. “Sebaiknya aku tidak menampakkan diri begitu cepat. Aku ingin mencari tahu pembicaraan mereka lebih dekat. Namun kemampuan Agung Sedayu pastinya dapat mendengar langkahku. Hmm.. Dari arah mana aku dapat mendekati mereka?”

Pengintai itu menggeleng. “Aku tidak dapat mendengar dari jarak yang cukup jauh. Pasti ketahuan dan sulit bagiku melepaskan diri dari tuduhan mata-mata musuh.” Ia berpikir keras sambil memandang para penjaga dan suasana sekitar regol.

Wedaran Terkait

Kiai Plered – 83 Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 9 – Pedukuhan Janti

kibanjarasman

Kiai Plered 88 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 87 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 86 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 85 – Randulanang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.