“Simbara,” gumam Raden Atmandaru. “Buat apa ia harus bersama kita? Bukankah ia akan membalaskan dendam untuk kematian ayahnya?”
“Kematian Ki Gandung Jati bukan berawal dari kesalahan kita. Kita tidak dapat lari dari kenyataan bahwa Kiai Plered terlalu ampuh meski Raden dan saya telah menggabungkan tenaga. Raden, kita berdua, dapat menyerahkan Simbara pada ibunya. Dan kita tahu bahwa ibunya sangat tergantung pada Swandaru. Inilah keuntungan kita.”
“Hmm, aku kira aku dapat menampung usul Kiai,” sahut Raden Atmandaru. Lantas ia berpaling pada Ki Tunggul Pitu, sekilas mereka beradu pandang. Raden Atmandaru membentuk pendapatnya sendiri tetapi tidak dikatakannya pada Ki Sekar Tawang.
Lambaian tangan Raden Atmandaru membuat perintah agar dua penasehatnya segera beralih tempat. Mereka bergeser ke halaman belakang, sedangkan sejumlah pengikut mereka mulai membersihkan bagian depan rumah Ki Gandung Jati dari jasad empunya rumah.
“Malang,” kata seorang prajurit Raden Atmandaru.
“Apakah engkau menyaksikan pergumulan tadi?” seorang kawannya bertanya.
Jawab prajurit itu, “Apa yang dapat disaksikan dan dilihat? Hanya tiga orang yang berdekatan lalu datang Ki Gandung Jati, kemudian tiba-tiba ia mati dalam keadaan berdiri. Pikirmu, ilmu apakah yang dapat melakukan itu?”
“Benar juga. Tidak ada orang yang bergerak selain ia sendiri,” kata temannya sambil menuding muka Ki Gandung Jati. “Pecundang! Ia mati dan istrinya terpikat lelaki lain selagi suaminya hidup.”
“Terpikat atau memikat?”
“Entah. Aku pikir mereka berdua sama saja,” pungkas prajurit itu dengan memaksudkan persoalan pada Nyi Gandung Jati dan Swandaru.
Di halaman belakang.
Menurut dugaan Raden Atmandaru, Ki Juru Martani tidak akan berkeliing seorang diri. Namun untuk memisahkannya dari lingkaran pengawal kepatihan tentu bukan perkara mudah. “Sulit bila kita menceraikan mereka di pedukuhan induk. Itu sama dengan bunuh diri meski kita berada di atas angin dan sanggup membunuh Ki Juru Martani. Ratusan orang – pengawal dan orang-orang biasa – akan mengerumuni kita dengan senjata yang bergerak liar. Lalu sampai kapan kita akan bertahan?”
“Seperti yang saya katakan di awal rencana, Raden.”
Raden Atmandaru menoleh pada Ki Sekar Tawang.
“Mangesthi dapat menghadapi Pandan Wangi di Jagaprayan. Ia akan sanggup menghalangi Pandan Wangi, bahkan, bukan tidak mungkin dapat melenyapkan anak Ki Gede itu.”
“Kiai begitu yakin pada Mangesthi. Saya tidak ingin bertanya, mengapa. Hanya saja, saya tidak atau belum melihat perkembangan terakhir gadis itu. Kiai, apakah angin tajam telah terpisah dari batang pedang? Pandan Wangi telah melakukan itu, bila ia tekun, tentu kemampuannya akan melebihi perkiraan saya.”
“Mangesthi adalah penerus satu-satunya dari jalur ilmu perguruan kami, Raden. Ki Gede Menoreh? Tidak ada orang yang meragukan kemampuannya tetapi masanya telah berlalu. Sudah tentu Pandan Wangi telah menyesap seluruh bagian ilmu ayahnya. Ditambah kesehariannya selama ini bersama Swandaru, saya dapat pastikan bahwa ilmu Pandan Wangi meningkat pesat. Mungkin telah jauh berada di atas ayahnya. Kembali ke Mangesthi. Dalam satu permisalan, Mangesthi bukan tandingan Pandan Wangi maka perempuan itu akan kehabisan tenaga sebelum mencapai pedukuhan induk. Itu adalah keuntungan yang lain.”
“Lalu Swandaru?” lanjut Raden Atmandaru bertanya.
Ki Sekar Tawang tertawa kecil bersamaan dengan kekeh Ki Tunggul Pitu. Dua lelaki lebih dari setengah baya itu mempunyai bayangan yang sama. Kemudian kata Ki Tunggul Pitu, “Mengenai Swandaru, saya yakin dapat memisahkannya dari Nyi Gandung Jati. Ada seorang Gendhis di tengah-tengah kita.”
“Aku telah memikirkan itu. Gendhis, Gendhis. Gadis baik yang dapat diandalkan. Kiai, dengan sikap dingin yang lebih banyak menguasai Gendhis, apakah Swandaru tetap terjaga hangat tubuhnya?”
Ki Sekar Tawang sejenak memandang wajah Raden Atmandaru lekat-lekat tetapi tidak segera menjawab. Lantas ayah Mangesthi itu berpaling pada Ki Tunggul Pitu lalu berkata, “Kiai, apakah Kiai mempunyai gambaran mengenai sikap Swandaru?”
“Saya kira Swandaru tidak menyimpan perasaan selain hasrat pada Nyi Gandung Jati. Kita dapat melihat bahasa tubuh dan sinar matanya ketika melihat mayat Ki Gandung Jati. Bahkan, saya pikir, keberadaan Gendhis akan menjadi bantuan yang tak ternilai. Swandaru bukan Agung Sedayu yang dapat mengendalikan diri bila sebuah kenikmatan lain tersaji di depan matanya. Mereka berdua sama sekali jauh berjarak. Saya berani bertaruh Swandaru akan bergeming walau Merapi meletus ketika ia bersilang paha dengan seorang wanita. Raden, ramuan Ki Sekar Tawang terlalu kuat untuk dilawan seorang Swandaru. Saya yakin itu.”
Raden Atmandaru mengusap dagu dengan mata lurus menatap Ki Tunggul Pitu. Sekelebat siasat tersusun rapi di dalam kotak penyimpanan pikirannya. Ia melipat tangan di atas perut sementara Kiai Plered tergantung menyilang di depan dadanya dengan pembungkus yang rapi.
“Sekarang ini kita tidak mempunyai penghubung yang bekerja di pedukuhan indu,” ucap Raden Atmandaru. “Anak muda yang bernama Simbara pun belum memberikan laporan. Andaikan Ki Juru datang sebelum Simbara pulang ke Randulanang…” Raden Atmandaru menggantung ucapannya. Sepasang matanya menerawang dengan isi pikiran yang bekerja keras menguji siasatnya.
Gulir matahari belum mencapai seperempat kaki langit. Sejumlah binatang peliharaan berlarian melintasi tempat mereka berunding. Raden Atmandaru sadar bahwa Simbara hanya bertubuh besar dengan kesadaran yang belum wajar. “Lebih pantas bila dianggap sebagai cah cilik,” gumam Raden Atmandaru dalam hatinya. Sekali lagi tatap mata orang yang bergelar Panembahan Tanpa Bayangan itu membentur bagian dedaunan yang basah dan berkilau. Seluruh sebab yang memecah pikirannya telah terusir jauh-jauh.
“Dengan Kiai Plered berada dalam kekuasaan saya, apakah saya dapat sekuat Raden Sutawijaya ketika bertarung melawan Arya Penangsang?”
Keheningan segera menjawab pertanyaan Raden Atmandaru. Ingatan dua lelaki di hadapannya terhempas ke masa lalu. Dua-duanya tengah mengukur kekuatan Raden Atmandaru yang tidak lama tersingkap di depan mata. Untuk sejenak, kenangan tentang pertarungan hebat itu terasa tidak begitu lama terjadi.
“Perkelahian itu berlangsung di masa ayah saya,” kata Ki Sekar Tawang tak lama kemudian, “meninggalkan satu pertanyaan. Di manakah keris Setan Kober pada saat sekarang? Sejujurnya, saya mempunyai kekhawatiran bila Ki Juru Martani ternyata menyimpannya lalu membawa pusaka itu ke Sangkal Putung.”
2 comments
Semangkin seru… maturnuwun.
Mugi2 bermanfaat.