Di depanku, dia mengaku bernama Tobil. Aku tahu dia berbohong tapi itu bukan satu masalah besar. Kenyataannya dia tidak bertubuh seperti kadal. Biarlah, nama adalah kebebasan mewujudkan kedalaman tentang sesuatu yang hanya dimengerti oleh yang bernama.
Aku tahu.
Ia tidak bernama Tobil, tetapi tetangga dan orang sekitarnya lebih mengenalnya sebagai Tobil. Asal muasal panggilan itu sendiri masih menjadi rahasia yang belum terpecahkan.
Tobil, nama kondang seantero Kecamatan Warawara, Kabupaten Reareo. Melebihi nama bupati dan pemimpin negara. Ditakuti dan juga disukai oleh sekelompok orang yang berbau badan seamis ikan asin.
Tanpa seorang pun tahu, Tobil duduk merenung di satu sudut desa. Mata nanar bibirnya tak bergetar.
“Mendengar mereka mengatakan banyak perihal tentang aku sebagai pemuja setan, sebenarnya hanya membuatku ingin bungkam. Selamanya.” Terik matahari tidak mendengar ucapan lelaki muda berusia di bawah empat puluh tahun itu.
“Mereka menuduh diri mereka sendiri, hanya saja mereka tidak tahu,” ia masih berkata-kata di bawah suram matahari.
Aku hanya mampu mendengarnya dengan wajah sesekali tengadah. Matahari berlalu tanpa berpaling pada raut muram penuh gusar. Apakah itu tanda bagi Tobil yang merasa tidak lagi diacuhkan? Entahlah. Aku tidak dapat berpikir sedikit pun.
Dentang lonceng memukul dinding semesta telah terdengar. Tobil bangkit, beranjak pergi. Aku mengikutinya. Dari balik punggungnya, aku mendengar ia berkata,”Orang-orang pergi keluar dari hati mereka. Masing-masing berjalan menuju sesuatu yang dianggap baik.
“Mereka bodoh! Sering mereka berpikir bahwa aku salah, sedangkan batas dari sebuah kesalahan pun tidak dapat dengan terang dikabarkan”
“Mereka punya hak untuk bicara tentang orang lain,” aku ingin mengucapkan itu. Hanya saja, kegelapan masih merundung seisi kepalaku. Ini kegilaan yang nyata!
“Adakah sesuatu yang akan engkau katakan?” tiba-tiba dia memutar tubuh lalu berpaling padaku, pada wajahku, pada dua bola mataku.
“Tidak! Aku masih ingin mendengarkan suaramu,” aku menjawabnya dari balik tenggorokanku yang kering. Tidak, sebenarnya aku masih bungkam.
Tobil tertawa dengan suara yang mampu meledakkan seisi tata surya.
“Engkau benar,” sepatah yang keluar dari sela tawanya.
Mendadak segala sesuatu terlihat gelap. Sangat gelap. Aku tidak dapat melihat telapak tanganku sendiri. Oh, apakah hari ini adalah hari kiamat? Apakah mentari telah kehabisan bakan bakar? Apakah ada tirai yang lebih besar daripada matahari? Aku memilih menjadi beku.
(bersambung)