Agung Sedayu hampir menitikkan air mata. Kenangan itu sangat sederhana. Ia tumbuh tidak dalam buai kemewahan. Agung Sedayu menjadi lelaki yang tidak berkawan erat dengan kesenangan, tetapi ia tidak terlalu sering berada dalam keprihatinan.
Rumah Ki Sadewa yang telah berubah menjadi barak pasukan Mataram muncul di hadapan Agung Sedayu. Ia masih mengenali dengan baik sekalipun Untara telah melakukan banyak perombakan pada bagian rumah. Bangunan itu masih terlihat seperti rumah, tidak ada gambaran yang menunjukkan bahwa tempat itu telah beralih menjadi barak prajurit. Ketika ia memasuki ruang depan, dinding dan perabot lainnya pun seolah segera mengulurkan sapa padanya.
“Tidak ada yang kurang,” pikir Agung Sedayu, “tidak ada pula penambahan selain warna dinding. Kakang Untara telah menjaga rumah ini hingga…Seolah aku kembali pada usia belasan atau kurang dari itu.”
Sejurus kemudian Agung Sedayu telah duduk berhadapan dengan Untara, di samping mereka telah hadir pula Sabungsari dan Ki Widura yang masih bersusah payah mengatur keadaan diri mereka. Mereka berkumpul di beranda. Mereka berada di antara kesibukan prajurit yang mulai berkurang.
Tiba-tiba Untara berpaling padanya, katanya, “Tidak ada satu dari kita berdua yang akan mengira bahwa rumah ini akhirnya menjadi begini.” Untara menyodorkan tangan ke depan dan menyapu pada arah seluas bangunan.
Agung Sedayu tersenyum kemudian, “Selagi mempunyai manfaat, tentu tidak ada alasan bagi Kakang untuk mengembalikan pada keadaan semula.”
“Engkau tidak keberatan?”
Agung Sedayu menggeleng. “Ini adalah jalan Anda, Kakang. Rumah ini telah melebihi keadaannya semula. Bahkan, mungkin, ia telah menjadi rumah bagi banyak orang meskipun tidak pernah menjadi tempat tinggal selamanya bagi mereka. Tetapi saya kira sudah cukup memadai dan menyenangkan bahwa mereka telah menganggap rumah ini sebagai rumah mereka sendiri.”
Setelah keadaan benar-benar mereda tetapi kesibukan tidak berhenti begitu saja. Para prajurit peronda dan pengawal pedukuhan semaklin merapatkan jarak jangkau wilayah perondaan. Meski malam semakin pekat dan sisa-sisa kebakaran mulai meremang sebelum padam, kegiatan di Jati Anom belum dapat dikatakan telah berkurang. Mereka hanya beralih perhatian. Selain peningkatan penjagaan, orang-orang Jati Anom telah bangkit dengan cepat untuk menyambut hari baru yang akan datang tak lama lagi.
Di dalam selimut kabut yang turun dari Merapi, Agung Sedayu beserta orang-orang lainnya masih berada di beranda. Percakapan mereka semakin dalam.
“Kebakaran ini bukan sebuah kebetulan,” ucap Untara yang telah kembali ke tempat duduknya.
Sabungsari dan Ki Widura saling bertukar pandang, sementara Agung Sedayu masih memandang lantai di bawahnya. Keheningan masih belum beranjak dari beranda sedangkan Untara telah mengucap kata.
Untara kembali memecah keheningan, katanya, “Saya rasa kita tidak perlu lagi menunda dengan saling menunggu satu sama lain untuk menyampaikan pendapat.”
Agung Sedayu mengerutkan kening, sejenak ia memejamkan mata, kemudian berkata, “Perkelahian yang terjadi di badan sungai tentu bukan sebuah peristiwa yang kebetulan terjadi. Menurut saya, itu adalah petunjuk bahwa mereka memang telah mendekati Jati Anom.”
“Agung Sedayu, apakah engkau setuju jika aku katakan bahwa pertikaian di antara putra Panembahan Senapati semakin runcing?” Untara lurus menatap wajah adiknya.
“Sebenarnya itu bukan wilayah saya untuk menyatakan pendapat, Kakang. Adalah kewajiban kita bersama untuk menjaga keamanan dan ketenteraman Mataram,” jawab Agung Sedayu. “Meski begitu saya juga tidak ingin mengatakan Raden Atmandaru adalah orang yang berhak atas kekuasaan di Mataram.”
“Bagaimana engkau dapat berkata seperti itu?” tanya Ki Widura dengan penasaran. Ia mendapat laporan yang sama dengan yang dikatakan Agung Sedayu. Namun Ki Widura belum mempunyai dugaan seperti pendapat Untara.
“Paman, sejujurnya saya telah mendengar dari petugas sandi pasukan khusus mengenai pergerakan yang diawali dari Pedukuhan Dawang. Namun kami belum mempunyai waktu yang cukup untuk meninjau atau membahasnya seperti yang biasa kami lakukan. Mereka terlalu cepat, tetapi saya sadar bahwa itu bukan alasan yang dapat membenarkan bahwa sesungguhnya kita memang terlambat.”