Dia mengaku bernama Tobil. Tetapi bukan seekor kadal meski tak sedikit orang mengira dia adalah siluman biawak.
“Sengkuni,” tiba-tiba ia menyebut nama.
Aku menunggu.
Dia tidak berkata-kata lagi.
Aku menunggu.
Aku menunggu.
Lama.
“Setiap orang yang mengabaikan kepentingan orang lain, aku menyebutnya Sengkuni,” ia melanjutkan, “setiap orang yang mengatakan tentang watak para pecundang, aku memanggilnya Sengkuni.”
Aku menunggu.
“Apakah engkau tidak ingin tahu alasanku?”
Aku menunggu.
“Para pecundang hanya mampu berkata tentang orang lain. Mereka tidak dapat melihat ke dalam diri masing-masing. Mereka tidak memiliki cinta dan buta tentang itu.”
Aku ingin membantahnya namun lebih baik diam dan menunggu.
“Mungkin engkau mempunyai pemikiran lain. Tapi, baiklah, aku melihatmu dalam keadaan membatu. Engkau memilih untuk bisu, Kawan.”
Aku ingin tersenyum meski masam tapi lebih baik diam.
“Ketika Pandawa tiba di Waranawata, Yudhistira mengingat pesan Widura. Pesan penting yang, aku pikir, cerdas untuk menjadi landasan bergerak.
Kata Widura, ‘Mampu mengenali bahaya adalah benteng perlindungan dari musuh yang licik.
‘Banyak senjata yang lebih tajam dari keris, tetapi kebijaksanaan dapat menyelamatkan orang dari kehancuran. Api raksasa yang memusnahkan belantara tidak dapat membakar tikus yang bersembunyi di dalam lubang atau seekor landak yang menggali liang di dalam tanah.’
“Bahaya dari ucapan tidak lebih besar dari kiamat yang menimpa matahari. Engkau pasti paham itu,” ucap Tobil memungkasi kisah pendeknya.
Sementara. Aku yakin itu hanya sementara waktu sebelum ia berlanjut dengan sangat deras.
Cukup lama ia mendiamkan bibirnya. Sekepul asap keluar dari kedua telinganya, lanjutnya, “Tak ada orang kuat untuk berbuat baik selamanya. Sesekali ia akan jatuh karena satu kesalahan. Karena ceroboh, lalai maupun sebab yang lain. Begitu pula gelap dan terang yang selalu berganti mengisi ruang dan waktu. Tidak ada pendosa yang rela berkubang sesal selamanya.
“Hanya malaikat yang tidak pernah berbuat salah. Hanya setan yang tidak pernah berbaik sangka. Aku dan kamu, dengan sepasang kaki dan tangan, adalah pelaku yang dapat menyeberangi batasan. Baik suka atau terpaksa.
“Setiap orang akan menemui karmanya sendiri, bila kau percaya karma itu ada. Namun jika tidak, setiap sebab selalu mempunyai akibat. Ini masalah waktu.”
Aku tidak ingin menunjukkan perubahan yang ada di dalam hatiku. Aku pikir, lebih baik menunggu.