Keadaan di sekitar lingkunganku belum dapat dikatakan aman dan sejahtera ketika Jepang memulai serangan pada negeri Hindia Belanda. Aku lahir sewaktu bapakku yang bernama Ahmad Salim Ronodipoero bekerja sebagai kepala kamp konsentrasi tahanan keluarga Belanda di Muntilan. Tentara pendudukan Jepang menggunakan kompleks sekolah Katolik sebagai tempat bagi para tahanan.
Sedikit melangkah mundur ke masa puluhan tahun silam, bapakku adalah anak pertama dari empat bersaudara. Kakekku. Ronodipoero, tinggal di desa Mayong dan bekerja sebagai mantri untuk areal hutan jati. Beliau adalah orang yang terbuka dan berwawasan luas sehingga kerap bersentuhan dengan pandangan-pandangan modern Raden Mas Sosrokartono dan Raden Ajeng Kartini. Kakekku yang bergelar Mas mempunyai hubungan kerja yang berdekatan dengan wewenang pangreh praja, serta pergaulan yang baik dengan para pejabat Belanda serta orang-orang yang berpengaruh pada masa itu.
Mungkin atas hubungan dan pergaulan yang mengelilinginya, Mas Ronodipoero berusaha keras agar empat putranya dapat mengenyam pendidikan tinggi pada zaman Belanda. Oleh sebab karunia Tuhan Yang Maha Kuasa, Ahmad Salim, putera pertama bisa menjadi pangreh praja dengan jabatan pertamanya adalah asisten wedana di Karangkobar, Wonosobo. Sementara putera kedua, Ir. Abdul Rahman menjadi ahli kimia di ITB Bandung dan sempat mengenyam pendidikan di Amerika. Rektor Universitas Airlangga masa bakti 1961 – 1965 adalah Prof. Dr Mohammad Toha Ronodipoero, Sp.OG . Beliau adalah putra ketiga dari Mas Ronodipoero. Dan yang terakhir adalah Jusuf Ronodipoero, pejabat RRI yang pertama menyiarkan proklamasi kemerdekaan keluar negeri sehingga beliau dihajar tentara Jepang sampai lututnya cacat. Kelak beliau menjadi duta besar di Argentina
Sebagai orang yang bekerja di dalam pemerintahan Hindia Belanda, tentu sudah lumrah apabila bapak kerap berpindah-pindah kota atau kabupaten. Dalam keadaan itu, beralih tempat tinggal karena mengikuti perintah atau pekerjaan, aku lahir di Magelang.
Namaku Purwanti jika ditulis dengan ejaan baru. Aku lahir pada masa pendudukan Jepang. Namaku kadang ditulis sebagai Poerwanti dalam ejaan lama. Aku adalah anak anak kelima dari sepuluh putera puteri pasangan Ahmad Salim Ronodipoero dengan Rohmani Singgih Brotohamijoyo.
Aku dilahirkan pada tanggal 9 April 1942, di Embong Kenongo, Kota Magelang, Jawa Tengah. Sedikit kisah yang diceritakan oleh ibuku menjelang detik-detik kelahiranku.
Pada pagi hari di tanggal itu, ibu sudah sibuk mengurus rumah tangga. Dengan cekatan wanita cantik itu memberi perintah dan petunjuk kepada pembantu rumah tentang semua yang harus dikerjakan, tentang keadaan-keadaan yang perlu didahulukan. Ibuku, Nyonya Rohmani Singgih sedang hamil tua, tapi keadaan itu tidak membuatnya lemah dan tanpa daya. Salah satu rencana yang ada dalam pikirannya adalah menjemur kasur untuk persiapan melahirkan anak yang kelima. Belum lama setelah beliau memerintahkan agar kasur dijemur, perintah pun diurungkan. Tentu itu bukan tanpa sebab karena gerakan bayi dalam perut memaksanya untuk membatalkan niat. Ya, pengalaman melahirkan empat anak membuat ibu tanggap isyarat dari sang bayi. Sebelumnya pun ibu telah mendapatkan banyak penjelasan dari bidan yang bermukim dekat rumah. Atas perkembangan itu, bidan pun dipanggil agar segera datang ke rumah yang kami tempati.
Jam 09.00 pagi waktu Magelang, aku pun lahir. Kata ibu, aku adalah perempuan mungil yang lantang menyapa dunia dengan tangis dari atas kasur yang batal dijemur. Ibu pula yang menjelaskan bahwa orang yang memberi nama untukku adalah bapak. Dalam bahasa Jawa, Poerwanti bisa berarti yang pertama, padahal anak kelima ini bukan juga putri yang pertama. Menurut ibu, bapak mengikuti suara hatinya sebelum memberikan nama tersebut bagi putri kelimanya.
Sebagai pasangan hidup dari orang yang bekerja untuk pemerintah militer Jepang, ibu merasakan betapa sulit bagi orang-orang di lingkungan mereka untuk menerima keberadaan bapak. Pada satu sisi, bapak sebagai Inspektur Polisi tentu harus mentaati pemerintahan yang berada di atas kedudukannya. Bapak mempunyai kewajiban untuk menegakkan hukum sipil yang berlaku pada zaman itu. Namun dari sudut yang lain, bapak dan keluarganya adalah bagian dari bangsa Indonesia yang sedang berjuang meraih kemerdekaan.