Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 64

Cahaya matahari belum menyapu seluruh permukaan tanah ketika Agung Sedayu tiba di sisi utara alun-alun kota. Penyamaran yang dilakukannya sejenak sebelum memasuki kotaraja tampak mendekati sempurna. Dalam waktu itu, Kinasih tidak perlu berbuat sama dengan Agung Sedayu. Paras wajah Kinasih bukan wajah yang dikenal orang-orang Mataram, termasuk prajurit maupun petugas sandi. Berbeda dengan Agung Sedayu yang sejak muda sudah kenal dengan banyak orang di Mataram. Dari balik caping yang menutup sebagian wajahnya, Agung Sedayu melihat detak kehidupan Mataram berjalan lambat-lambat. Mungkin karena hari masih remang dan udara terasa begitu dingin menusuk tulang, pikirnya.

Kemudian kata Agung Sedayu pada Kinasih, “Kita mungkin harus menunggu sebentar. Aku pikir akan lebih baik jika dapat berbaur dengan banyak orang yang akan hilir mudik melintasi jalan dan lorong-lorong kota. Aku berharap  akan mendapatkan sedikit berita mengenai perkembangan terakhir di ibukota sebelum bertemu dengan gurumu, Panembahan Hanykrawati dan yang lainnya.” Mata Agung Sedayu tajam mengawasi jalan, lanjutnya, “Apakah kau mempunyai usulan?”

Kinasih telah melewati suasana tegang di Sangkal Putung, maka ia mempunyai perkiraan tersendiri mengenai langkah selanjutnya. Setelah merenung sejenak, ia berkata, “Seandainya saya mengenal sedikit petak-petak di kota ini, tentu saya akan melakukan pengamatan sendiri.”

Agung Sedayu tidak ingin menebak maksud Kinasih selanjutnya. Senapati Mataram itu lebih memilih untuk menunggu Kinasih mengungkap kehendaknya sendiri.

loading...
Dengan membeli tiga karya Padepokan Witasem, Anda berhak mendapatkan bonus 2 buku Kitab Kiai Gringsing.
Hubungi : Ki Banjar Asman (WA)

“Bila saya tersesat, sudah pasti saya memerlukan bantuan orang. Tetapi, Ki Rangga, seandainya kita harus berpisah, di mana kita akan berkumpul kemudian?”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepala. “Tetap di tempat ini atau sekitar tempat ini. Tetap sembunyikan dirimu seandainya aku belum terlihat berdiri di sini. Dan, apakah kau yakin ingin berjalan sendiri?” Tebersit keberatan dalam hati Agung Sedayu jika melepas Kinasih mengamati keadaan tanpa dirinya. “Ah! Aku terlalu banyak berprasangka!” tegur Agung Sedayu dalam hati pada dirinya sendiri.

“Saya, serba sedikit, sudah memperhitungkan keadaan ini ketika kita berjalan ke Mataram. Terlebih ketika kita mengawasi perkelahian pengawal Menoreh di hutan sebelum Mataram. Pengalaman semalam mengajari saya tentang suatu hal yangkiranya penting dibutuhkan dan dilakukan oleh seorang prajurit.”

Agung Sedayu tersenyum. “Berhati-hatilah. Menyembunyikan wajah tentu menjadi sesuatu yang aneh jika dilakukan pada siang hari di tempat terbuka. Tapi, itu tidak dapat diingkari bahwa akan ada orang-orang yang tertarik untuk sekedar mengajakmu berbincang-bincang atau menggodamu.”

“Terima kasih, Ki Rangga, atas peringatan itu,” sahut Kinasih. “Dan, menurut Ki Rangga, di manakah sebaiknya saya bergerak?”

Lagi-lagi Agung Sedayu tersenyum seperti kagum atau bangga dengan kecerdasan Kinasih yang terhitung hidup cukup jauh dari dunia keprajuritan atau semacamnya. “Apakah kau tergoda untuk segera bertemu dengan Nyi Ageng Banyak Patra?”

Kinasih menunduk, lalu menggeleng. “Kerinduan itu selalu ada, tapi saya pikir Guru dapat memaklumi keadaan ini.”

“Rencana selanjutnya dari Panembahan Tanpa Bayangan, sudah pasti, tidak dapat diketahui oleh orang lain. Bisa jadi, orang kepercayaannya pun tidak akan dapat mengetahui secara rinci. Kinasih, saat ini, aku ingin mengatakan bahwa engkau sendirian. Tidak ada orang lain di sisimu yang lekat menyertai. Bahkan, sebaiknya engkau pun harus meniadakan keberadaanku dalam pengintaian yang akan kau lakukan.”

“Saya mengerti.”

“Bila kemudian kau terlibat dalam perselisihan atau perkelahian, mungkin aku tidak dapat segera membantumu. Mungkin pula engkau tertangkap oleh prajurit yang tengah meronda. Yang pasti, banyak kemungkinan yang dapat terjadi padamu. Namun, kita tidak dapat dan tidak boleh berpikir mengenai segala sesuatu yang buruk. Dan kita juga tidak dapat menghindari segala yang buruk yang mungkin datang.”

Kinasih mengangguk.

“Kau tidak dapat mencurigai setiap orang yang menurut pikiranmu cukup pantas untuk dicurigai. Tidak semua orang yang bertingkah ganjil atau berpakaian aneh harus diwaspadai. Pertimbangkan lebih dalam jika ada sesuatu yang memancing perhatian.”

Lantas, Agung Sedayu menunjuk arah pada daerah yang akan menjadi wilayah pengamatan Kinasih. Bersamaan itu pula, pemimpin pasukan khusus itu menerangkan tata letak bangunan dan jalan-jalan pada daerah yang dimaksudkan olehnya.

“Semoga tidak ada yang mengenalmu ketika engkau tiba di sekitar Kepatihan, Kinasih.”

Kinasih mengerutkan kening. Ia sudah mempunyai dugaan adanya kemungkinan pertemuan tanpa sengaja dengan gurunya, Nyi Ageng Banyak Patra. Lalu, apakah ia tetap berpura-pura tidak melihat atau mengenal? Dan ucapan Agung Sedayu memang dipahaminya sebagai harapan bahwa gurunya tidak bertemu dengannya.

Beberapa lama kemudian, Agung Sedayu dan Kinasih pun meninggalkan tempat itu. Mereka berpisah disertai sedikit ganjalan pada hati Agung Sedayu. Bagaimana ia begitu percaya diri dan berani membebani Kinasih dengan tugas pengintaian? Namun demikian, Agung Sedayu memantapkan hati bahwa keputusannya tidak akan salah karena Kinasih ditempatkan pada daerah yang memungkinkan terjadi pertemuan antara murid dengan gurunya.

Bayangan menapak panjang. Istana Panembahan Hanykrawati terlihat jelas oleh setiap mata yang memandang. Bagian depan istana seakan menunjukkan bahwa Mataram sedang menggeliat bangun. Semangat Panembahan Hanykrawati memancar dari bagian depan seperti sedang membakar gairah orang-orang yang hidup di atas Mataram. Rimbun daun pepohonan yang berbaris rapi mengelilingi halaman depan istana memberi arti bahwa Panembahan Hanykrawati adalah pengayom dan pelindung terbaik Mataram. Tetapi, sebagian orang sedang mengikis kepercayaan rakyat padanya. Mereka tidak menghembuskan kabar buruk, mereka juga tidak menyiarkan kebohongan mengenai keputusan atau kebijakan pemimpin Mataram. Mereka hanya mengabarkan bahwa Raden Atmandaru mempunyai hak kepemimpinan di Mataram. Untuk menguatkan keberadaan serta menarik perhatian agar orang-orang condong pada gerakan mereka, Raden Atmandaru cenderung memilih untuk memutuskan jalur perdagangan, menimbun barang ataupun kegiatan lain yang mengusik keamanan.

Mereka, Raden Atmandaru dan Ki Sekar Tawang sedang memandang dari tempat yang agak jauh dari pemberhentian Agung Sedayu dan Kinasih sesaat ketika memasuki kotaraja.

“Sejauh ini, kita hanya menerima kabar kekalahan pasukan induk di Sangkal Putung,” kata Raden Atmandaru.

“Walau demikian,” ucap Ki Sekar Tawang, “itu tidak berarti kita kalah di semua lini, Raden.”

Raden Atmandaru bergumam lalu berkata lirih, “Sudah tidak mungkin kita dapat mengirim bantuan untuk mereka. Mereka tahu bahwa bala bantuan tidak akan datang dari Mataram atau tempat lain.”

“Jika segalanya berjalan sesuai rencana, dalam keadaan luruh seperti sekarang, Ki Sor Dondong akan datang menemui Raden pada malam nanti,” kata Ki Sekar Tawang. “Saya akan pastikan padanya bahwa tidak boleh  pertempuran pembalasan di kotaraja seperti yang Raden kehendaki.”

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 91

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 90

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 9

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 89

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 88

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 87

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.