Sahabat
Penulis :
Alin, Amri, Ari Arti, Ati G, Ayu N, Cinta, Dahlina, Dede, Denok, Dhian, Tri H, Utami, Yuyun, Endah
Kemarau panjang tidak membuatmu terlihat gelisah. Aku tidak mempunyai kemampuan mendatangkan hujan. Bahkan, mengulurkan segelas air pun aku tidak punya kuasa.
Kawan, kesadaranmu untuk bertahan dan tersenyum membuatku tiada. Aku adalah ketiadaan setiap aku memandang wajahmu.
Kau tak patah meski kering menguasai kerongkongan. Saat tidak tersisa setetes pun liur untuk kau telan, kau tetap melangkah dengan gairah. Sunyi? Pasti! Karena kau sendiri. Tak ada yang sanggup sepertimu.
Panas matahari adalah keluh pecundang. Ia mengadang tiap harapan. Jangan gentar! Terus berjalan meski bara merintang. Pada suatu masa, kau tadahkan tangan untuk menampung sedihku. Peluk hangat damaikan hati.
Masa lain, kala masih tenggelam dalam duka. Kau buat tawaku bebas lepas. Helai-helai riang kita tumpuk dan tenggelamkan lara.
Aku tak mampu hadirkan air, namun kau dinginkan. Aku menatap bola mata menyala. Ada pijar semangat, membara. Asa berkobar. Tak padam walau dirundung malang.
Kau hebat!
Wajahmu menyimpan duka. Luka tertutup rapat, tak terucap keluh. Aku luluh, terenyuh. Aku tak setangguh dirimu.
Pada suatu malam dingin kau pernah berkata,”Aku memilih untuk diam, agar aku lebih banyak melihat dan mendengar.”
Aku bahkan tak melihat raut sedih saat kau mengucapkannya. Yang ada hanya tatap tegas dan rahang keras. Aku tertunduk. Malu.
Kau selalu mampu menyelimuti sunyi dengan kehangatan. Memberikan payung rembulan pada diriku yang bersembunyi di bawah daun pohon asem. Kau rela memberikan kehangatan saat melawan hembusan gigil badai. Kau menggantikan sinar mentari dalam kegelapan.
Kadang, aku merasa ini tak nyata. Seperti mimpi yang sering hadir di nyenyak tidurku. Namun, ketika aku mencoba mencubit tanganku pelan, aku merasakan perih. Aku baru yakin engkau memang ada. Bagiku, kau seperti peri yang diturunkan ke bumi.
Aku bahagia mengenalmu, kawan! Hanya ada satu tanya yang meraja. Sanggupkah aku sepertimu?
“Tak perlu kau sepertiku!” Itu yang pernah kau katakan padaku.
“Aku adalah aku. Kau adalah kau. Kau punya permata sendiri. Kaulah yang harus mengasahnya hingga mengkilat. Bercahaya. Indah.
Itulah kau!
Selalu bisa membuka mata batinku. Menggugah gairah saat aku hendak menyerah.
Saat aku diujung kalah, tuturmu adalah pijar harapan. Tangan lembutmu merengkuh jiwa dalam kepasrahan. Tidak ada lagi kehampaan. Hadirmu adalah nyawa dalam simpul ikatan ini.
Memberi cahaya dalam balutan rasa cinta.
Membakar semangat dalam angan yang berubah nyata.
2 comments
Uapik… Suka sama prosa Kang Roni. ?
Syahdu…..membaca puisi jd tdk membosankan ??