Aku berselisih dengannya. Kami adalah dua muka yang bertolak belakang. Ia berjalan ke barat, aku ke timur. Manakala ia menuju utara, aku mengikutinya lalu memukul tulang punggungnya. Aku lakukan itu karena ia bukan bayanganku. Aku pun bukan bagian dirinya.
Kadang kala sewaktu aku pergi ke selatan, ia menjulurkan ujung belati. Menembus tulang dadaku. Ia melihat itu dengan mata yang enggan terbuka. Aku marah dan memakinya.
Ia tersenyum. “Sebangsat hewan tiada pernah mengucap itu pada induknya.”
Ia adalah inang lalu aku bersuara.
“Bangsat!”
previous post
next post