DALAM pada itu, di saat yang sama ketika Pangeran Purbaya menghadapi Panembahan Pulangsara. Di pondok Syeh Winong, Jaka Tole terlihat duduk di pringgitan dari bangunan utama rumah itu. Sepertinya anak itu memang mematuhi apa yang dipesankan Ki Resa Demung kepadanya. Sehingga setelah kepergian paman dan para saudaranya ke Mataram, sama sekali anak itu tidak pergi meninggalkan halaman pondok tersebut, meskipun dalam hati Layunglati sesungguhnya merasakan kebosanan berdiam diri dalam waktu yang lama.
Kebiasaannya sebagai seorang penggembala yang biasa menjelajahi alam bebas sebenarnyalah selalu mendorong hatinya untuk berjalan menyusuri sekitar kediaman Syeh Winong tersebut. Akan tetapi hal itu ditahannya oleh karena pesan yang disampaikan paman gurunya beberapa saat sebelum berangkat.
“Kenapa kau melamun, Ngger?” ucapan Syeh Winong yang tiba-tiba datang hingga membuat anak itu terkejut.
“Kyai di sini?” jawab Layungpati tergagap. Ia kemudian menyalami orang tua itu.
Syeh Winong tersenyum lalu katanya, “Kau melamun sehingga tidak melihatku. Jadi kau tidak ikut ke Mataram?”
“Tidak, Kyai.”
“Lalu kenapa kau tidak masuk ke dalam rumah?”
“Ampun, Kyai, aku tidak berani mengganggu ketenangan Kyai.”
Syech Winong terlihat masih tersenyum melihat tabiat anak itu lalu katanya, “Jadi namamu Layungpati?”
“Kyai sudah tahu namaku?”
“Tentu, paman gurumu yang mengatakannya. Kenapa, Ngger? Apa kau keberatan?”
“Tidak, Kyai…sama sekali tidak,” jawab anak itu terbata-bata.
“Baiklah, sekarang kau sucikan wadagmu. Matahari sudah di atas kepala, sudah saatnya kita menjalankan wajib. Aku menunggumu di surau.”
“Layung” ucap Syeh Winong beberapa saat setelah selesai menjalankan kewajiban Dhuhur mereka. “Kenapa kau tidak mengikuti saudara-saudaramu ke Mataram?”
Layungpati hanya terdiam. Anak itu seperti bingung untuk menjawab apa. Namun pada akhirnya dia pun berkata juga, “Aku lebih suka melihat ketenangan di sini, Kyai”
“Hanya itukah?” tukas Syeh Winong.
Sementara Layungpati mengiyakan pertanyaan itu dengan mengangguk kecil. Hingga Syeh Winong pun kembali berucap, “Apakah kau tidak ingin seperti kawan-kawan sebayamu? Yang mana orang sebayamu itu biasanya memggebu-nggebu untuk mengetahui segala hal di dunia ini yang tentu akan bisa menjadi bekal hidupnya kelak. Dan bukankah sebenarnya kau mempunyai kesempatan saat ini? Mungkin kau akan melihat berbagai hal yang mungkin dapat menambah wawasanmu jika kau bersama saudara-saudaramu di Mataram saat ini.”
Layungpati menarik napasnya, anak itu seperti memikirkan sesuatu sebelum berkata, “Entahlah, Kyai. Aku sendiri tidak mengerti apakah ada yang salah dalam diriku, kenapa aku selalu menderita kebisingan ketika berada di tengah banyak orang. Aku lebih merasa berarti jika berada dalam suasana yang cendrung sepi seperti ini.”
Syeh Winong mengangguk-anggukkan kepalanya. “Tidak ada sesuatu yang salah dengan garis kehidupan yang harus dijalani manusia, Ngger. Yang menjadi persoalan justru ketidaktahuan kita akan garis kehidupan itu sendiri.”
“Aku tidak paham yang Kyai maksudkan.”
“Apakah kau percaya Gusti Allah itu Maha Asih?”
“Tentu aku percaya, Kyai.”
“Jika demikian apakah kau yakin jika manusia sebagai ciptaan-NYA pasti memperoleh garis kehidupan yang baik dalam hidupnya?”
“Ya, Kyai, tapi bukankah sebaliknya tidak sedikit orang-orang di dunia ini justru banyak yang terjatuh dalam penderitaan hidupnya?”
“Juga dalam kesukaan yang melimpah bahkan bergelimang hartakah?” lanjut Syeh Winong menyambung ucapan anak itu.
“Benar,” jawab anak itu lirih.
“Lalu mungkin dalam benakmu terselip tanya, Gusti Allah itu tidak adil begitu?” tukas Syeh Winong seraya tersenyum.
Layungpati berkata lirih seraya menundukkan wajahnya, “Apakah itu termasuk rahasia kehidupan?”
“Demikianlah, Anakku. Kadang kita harus belajar untuk menghidari sifat kesombongan, takabur atau apa pun itu mana kala kita berjalan dalam segala bentuk keindahan dunia ini, karena pada hakekatnya semua kemuliaan dunia itu semu dan tidak akan mampu kau rengkuh sampai batas akhir napasmu. Dan semua itu tentu berpenghitungan kelak di alam akhir. Akan tetapi kegemerlapan hidup itu pun kadang kala dapat berbalik menjadi kesengsaraan dalam sekejap mata, sekalipun kita masih ada dalam dunia ini pula, demikian sebaliknya. Semua itu kewenangan Yang Maha Agung bagaimana cara menguji seseorang yang tentu tidak akan sama satu dengan yang lainnya.”
“Guru juga pernah berkata demikian,” tukas Layungpati lirih.
“Memang demikianlah kehidupan itu adanya, Layung. Dan itu hanyalah satu contoh dari sekian banyak warna-warni kehidupan yang ada dalam dunia ini. Oleh karena hakekat kehidupan dunia ini semu dan tidak langgeng, karenanya kita sebagai titah yang diberi kelengkapan berpikir tentu akan bisa merasakan, ke mana sesungguhnya arah kita dalam melangkah. Jika dalam kegelapan hendaklah melangkah menuju cahaya agar kaki tidak terperosok dalam lembah yang semakin kelam dan dalam. Seperti yang saat ini kau rasakan, sesungguhnya kedamaian dan ketenangan yang kau rasakan itu berawal dari rasa yang bisa kau ciptakan dalam hatimu sendiri. Dan tidak selalu bergantung pada suasana tempat di mana kau berada.”
“Tapi bukankah sesuatu yang berbau kekerasan, pertikaian, yang kadang kala menciptakan gelimang darah dan kematian itu sangat mengusik ketenangan hati bagi yang melihat?”
“Memang benar, sebagai sesama manusia tentu menjadi sesuatu yang tidak baik jika harus bertikai, apalagi saling melukai, saling membunuh yang tentu saja itu akan menciptakan suasana ketidak nyamanan dalam kehidupan. Namun semua itu tentu harus dicermati akar persoalannya, Ngger. Ada kalanya kita terpaksa menjalani perbuatan-perbuatan seperti itu demi meraih dan mempertahankan kedamaian dalam kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu tidak semestinya juga kita menjadi anti pati dalam melihat itu semua secara gebyah uyah tanpa memperhatikan pokok persoalan kenapa hal itu bisa terjadi.” Syeh Winong berhenti sesaat lalu katanya lagi, “Dan bukankah perasaan itu pula yang membelit hatimu sampai saat ini?”
Layungpati mengangguk kecil. Lama anak itu terlihat menundukkan wajah sehingga tidaklah tampak jika anak itu telah memejamkan matanya untuk menahan sebuah gejolak dalam dadanya. Lalu dia berdesis, lirih, “Jika demikian apakah aku harus membalas dan membunuh mereka satu per satu?”
Syeh Winong termangu-mangu mendengar ucapan anak itu. “Siapa yang kau maksudkan? Membalas dan membunuh siapa?”
“Ampun, Kyai, aku hanya tidak sadar berbicara, tidak ada persoalan apa-apa,” jawab Layungpati terbata-bata.
Syeh Winong tersenyum lalu katanya, “Syukurlah jika tidak ada suatu hal yang membebani hati dan pikiranmu.” Orang tua itu menarik napasnya panjang-panjang lalu melanjutkan ucapan, “Aku cuma ingin kembali mengatakan kepadamu, hanya diri kita sendiri, batin kita sendiri yang bisa membuka sebuah kedamaian yang mungkin terpendam sekian lama. Selama itu kita tidak akan mampu bangkit kalau beban itu selalu mengikat. Apakah kau mengerti?”
“Ya, Kyai,” gumam anak itu.
“Baiklah , rasanya matahari sudah semakin condong. Ada sesuatu yang harus kukerjakan di pedukuhan wetan gumuk itu. Kau tunggulah di sini, nanti sebelum wayah surup aku kembali.” Syeh Winong kemudian berdiri, lalu membenahi jubah dan pakaiannya dan beranjak pergi. Namun langkah orang tua itu sejenak terhenti oleh suara Layungpati.
“Kyai… ”
“Kenapa, Ngger?”
“Apakah aku boleh bercerita sesuatu”?
“Tentu saja, akan tetapi tunggulah, nanti setelah aku kembali dari pedukuhan wetan gumuk itu kau bolehlah bercerita.”
“Apakah aku boleh ikut ke pedukuhan itu?”
Orang tua itu menarik napasnya kemudian berkata, “Baiklah jika kau tidak keberatan untuk berjalan kaki.”
“Terima kasih. Kyai, aku sudah terbiasa berjalan kaki dalam jarak yang jauh.”
Syeh Winong mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang tua itu pun teringat bahwa Layungpati adalah seorang anak gembala yang tentu berjalan kaki sudah menjadi kebiasaannya.