Padepokan Witasem
senja langit mataram, cerita silat jawa
Bab 1 Senja Langit Mataram

Senja Langit Mataram 22

Jalan setapak hutan kecil itu belum juga terlihat ujungnya. Demikian setelah Syeh Winong bersama Layungpati memasuki kawasan itu selepas jalan gumuk yang tidak terlalu luas di belakangnya. Entah pedukuhan mana yang akan dikunjungi orang tua itu seperti yang dikatakannya pada Layungpati beberapa saat lalu.

Lorong jalan setapak hutan kecil itu seakan tidak ada batasnya mereka lalui. Bahkan Layung Pati merasakan dirinya hanya berjalan berputar-putar beberapa kali melewati jalan yang sama. Di sisi lain Syeh Winong justru menikmati saja jalan itu seakan tidak menghiraukan sesuatu yang aneh seperti dirasakan anak itu.

“Kyai, jika aku boleh bertanya masih seberapa jauhkah pedukuhan itu?”  ucap Layungpati yang terdorong untuk bertanya.

“Sudah tidak begitu jauh lagi,”  jawab Syeh Winong menghentikan langkahnya sekejap,  “kenapa?  Apakah kau letih?”

loading...

“Tidak Kyai aku hanya ingin bertanya.”

“Atahu mungkin kau memerlukan tongkatku ini agar langkahmu sedikit ringan?”

“Tidak bukan itu maksudku.”

“Jika demikian baiklah kita teruskan langkah sebelum matahari benar-benar condong.”

Kedua orang itu pun kembali berjalan menyusuri jalan setapak di lorong hutan kecil itu. Dan apa yang dirasakan Layungpati tetaplah sama, seakan-akan seperti mengulang melewati jalan yang pernah mereka lalui. Sampai pada akhirnya di sebuah jalan dengan tepian semak belukar Layungpati tiba-tiba mengerutkan wajahnya sesaat setelah matanya menangkap sesuatu yang bergerak-gerak hingga menggerakkan daun-daun belukar di sekitarnya.

Layungpati pun berhenti dan semakin tajam memandang gerak dedaunan belukar yang terlihat sudah tidak terlalu jauh lagi dari tempat mereka melangkah.

“Kenapa berhenti, Layung?”  tukas Syeh Winong  seraya memandang anak itu.

“Apakah Kyai melihat daun-daun belukar yang bergerak-gerak itu?”

“Iya, aku melihatnya,”  kata orang tua itu singkat

“Belalang?”   desis anak itu termangu-mangu. “Belalang itu akan di mangsa burung itu. Kasihan, aku harus mencegahnya.”

“He! Kau akan ke mana?”  sergah Syeh Winong mencegahnya.

“Kasihan belalang itu, dia hendak dimangsa burung sikatan.”

“Jangan kau ganggu mereka, Ngger,”  tukas Syeh Winong, “biarkan mereka menjalani kehidupannya.”

“Tapi bukankah belalang itu akan menjadi mati karenanya?”

“Memang sudah demikian seharusnya, Layung. Biarkan sesuatu berjalan sesuai kodratnya. Burung itu mencari makan, dan belalang itu makanannya.”

“Apakah kita akan membiarkan belalang itu menderita, Kyai?”

“Tidak akan ada yang menderita. Karena apa yang terjadi di alam ini semua hanya mengikuti kehendak Sang Pencipta. Termasuk belalang itu.”

“Maksud Kyai?”

“Ya,  mungkin saat ini kau melihat belalang itu hendak dimangsa burung. Akan tetapi pada suatu saat nanti kau juga akan melihat seekor belalang memangsa binatang lain yang mungkin lebih kecil darinya. Sebaliknya tidak mustahil pula burung itu pada saatnya juga akan dimangsa binatang yang lebih besar darinya, demikian kehidupan alam berputar secara wajar.”

“Jadi apakah demikian kejam kehidupan alam ini seharusnya? Yang kecil dimangsa yang besar, dan yang lemah menjadi santapan yang kuat?”

Orang tua itu tersenyum lalu tukasnya, “Itu yang terjadi dalam dunia binatang, Ngger. Mereka hidup hanya berdasarkan naluriahnya saja. Akan tetapi yang seperti itu akan menjadi sebuah kejahatan bagi titah yang dilengkapi nalar dan budi oleh Sang Pencipta, yaitu manusia. Oleh karena itu layaknya seperti binatang itu pulalah manusia jika meniru perilaku kehidupan binatang di alam ini.”

Layungpati mengangguk-anggukkan kepalanya kemudian berucap, “Aku mengerti, Kyai.”

“Bagus, jika demikian marilah kita lebih mendekat agar dapat melihat apa yang terjadi dengan dua binatang yang berbeda itu.”

“Belalang sembah?” desis Layungpati

“Ya, kau benar itu walang kadung. Dia berusaha menyelamatkan diri dari serangan burung sikatan itu.”

“Aku sangat menyukai gerak-gerik belalang itu.”

“Lihatlah itu, meskipun lebih besar sepertinya burung itu tidak akan begitu saja dengan mudah menghentikan perlawanan belalang sembah itu,”  tukas Syeh Winong

Dan demikian seperti yang terlihat. Meskipun burung sikatan itu bergerak demikian lincah dengan sayapnya yang selalu mengembang, akan tetapi sepertinya memang terlihat sulit baginya menggapai tubuh belalang sembah itu. Dua kaki depan belalang sembah itu, di mana terdapat seperti ujung-ujung jari tajam, beberapa kali terlihat mematuk-matuk dengan cepat mana kala burung itu mendekatinya. Memang gerakan belalang sembah itu tidaklah selincah burung yang hendak memangsanya itu. Namun belalang itu sepertinya tidak mau begitu saja menyerahkan tubuhnya menjadi sasaran paruh burung sikatan yang kuat dan tajam tersebut. Sesekali belalang sembah itu bergerak memutari dahan yang di pijaknya sehingga serangan burung itu terhalang dahan sehingga mengalami kesulitan melancarkan patukannya. Apalagi belalang itu selalu melancarkan tusukan jari-jari tajamnya begitu cepat begitu melihat peluang menyerang  burung sikatan itu.

Sampai pada saat hal yang tidak terduga pun terjadi. Disaat burung itu hinggap menunggu kesempatan, belalang sembah itu tiba-tiba mendekat begitu cepat, dan entah kapan belalang sembah itu menggerakkan ujung-ujung jari tajamnya, tiba-tiba burung sikatan itu tubuhnya seperti memusar-musar dengan kedua sayapnya yang selalu mengembang. Demikian burung itu pun terlihat jatuh dari pijakannya dan terjerembab ke tanah, kemudian terbang  bagaikan tidak terarah hingga beberapa kali menabrak beberapa batang pohon yang banyak tumbuh di sekitar jalan setapak hutan itu.

“Kyai, apa yang terjadi dengan burung itu? Kenapa tiba-tiba pergi dengan cara terbang yang begitu kacau?”  kata Layungpati keheranan.

“Entahlah Ngger, aku juga tidak tahu kenapa, akan tetapi sepertinya burung itu mengalami sesuatu ketika belalang sembah itu terakhir mendekatinya. Marilah kita lihat. Burung itu sepertinya tak akan mampu terbang jauh.”

Keduanya kemudian memburu kemana arah burung Srikatan itu terbang. Tidak sulit rasanya mereka mendapati burung srikatan itu, karena memang gerak terbang burung itu sangat kacau dan beberapa kali menabrak benda –benda di depannya sehingga beberapa kali pula burung itu terjerembab di atas tanah.

Layungpati pun menangkap burung sikatan itu. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika anak itu melihat kedua mata burung srikatan itu berdarah.

“Kedua matanya terluka?”  desis Layungpati.

Syeh Winong pun serta merta menarik napasnya panjang-panjang, lalu berucap, “Luar biasa..apakah tusukan jari-jari belalang itu telah membuat burung ini buta? Di kedua matanya yang menjadi terluka.”

“Kasihan burung ini, Kyai,”  tukas Layungpati.

“Coba kau lihat, apakah manik matanya terluka?”

Layungpati pun dengan hati-hati membuka kedua mata burung sikatan itu satu per satu. kemudian dian berdesis, “Tidak, Kyai, luka itu tidak mengenai mata di bagian hitamnya.”

“Alhamdulillah, syukurlah, mudah-mudahan luka itu tidak akan lama mengganggu pengelihatan burung itu.”

“lLlu apa yang harus kita lakukan?”

“Kau lepaslah burung itu, semua akan kembali secara alami, burung itu pada saatnya akan pulih kembali.”

Anak itu kemudian melepaskan burung itu, lalu katanya, “Meskipun terlihat lemah,  ternyata belalang sembah itu merupakan binatang yang berbahaya.”

“Begitulah kehidupan, Ngger, kadang ketika mempertahankan hidup dari bahanya yang mengancam, siapapun akan dapat berbuat melebihi kemampuan yang ada dalam dirinya secara tiba-tiba tanpa kehendak kemauannya.”

“Tapi belalang sembah itu sepertinya memang binatang yang sangat pandai bertarung.”

“Sepertinya kau begitu suka dengan belalang itu, Ngger?”  tukas Syeh Winong seraya tersenyum.

“Bukan begitu maksudku, Kyai. Bukan karena suka atau tidak suka. Karena binatang apa pun bagiku sama saja dan aku sangat menyukai mereka semua.”

“Bagus, memang sudah seharusnya sebagai sesama titah untuk senantiasa berdampingan, sekalipun terkadang di antara binatang itu ada yang menyerang manusia, tapi sesungguhnya mereka itu sebenarnya hanya merasa terganggu, atau mengikuti naluriah mereka belaka,”  ucap Syeh Winong.

“Beberapa kali aku sering mendapati perkelahian berbagai binatang pada saat menggembala, akan tetapi memang belalang sembah itu mempunyai cara berbeda dan aneh dalam mempertahankan dirinya dari bahaya.”

“Kau sering melihat perkelahian binatang-binatang?”  tukas Syeh Winong menegaskan ucapan anak itu.

“Sebenarnyalah begitu, Kyai.”

“Bukakah kau tidak menyukai sesuatu yang berbau perkelahian?”

“Tapi mereka bukan manusia”

Syeh Winong tertawa kecil lalu katanya,   “O begitu, baiklah, Ngger, mari kita lanjutkan perjalanan hari akan semakin sore.”

“Tapi bukankah kita seperti hanya berputar-putar di hutan ini tanpa ujung, Kyai?”

“Sudahlah, Ngger,  kau ikuti langkahku, kita jalan ke arah matahari itu,”  desis Syeh Winong seraya menggerakkan tongkat di tangan kanannya. Sementara Layungpati mengikutinya dari belakang. Keduanya kemudian kembali berjalan menyusuri jalan setapak menuju arah matahari tenggelam.

Layungpati masih saja mengikuti langkah orang tua itu tanpa tahu ke mana sesungguhnya tujuan perjalanan mereka. Apalagi sampai sekian lama berjalan belum juga melihat tanda-tanda layaknya pedukuhan yang menjadi tujuan Syeh Winong sebelumnya.

Wedaran Terkait

Senja Langit Mataram 9

Ki Ras Haris Ph

Senja Langit Mataram 8

Ki Ras Haris Ph

Senja Langit Mataram 7

Ki Ras Haris Ph

Senja Langit Mataram 6

kibanjarasman

Senja Langit Mataram 5

kibanjarasman

Senja Langit Mataram 4

Ki Ras Haris Ph

2 comments

Teti Mardiana 11/12/2021 at 18:04

Setelah berjalan-jalan dengan Sech Winong, maka akhirnya timbul keberanian Layung Pati untuk belajar kanuragan.

Reply
kibanjarasman 10/01/2022 at 11:30

dan kemudian titik titik..

Reply

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.