“Bersiaplah untuk menemui ayahmu, Pangeran. Aku akan membunuhmu dan dua prajurit itu.”
“Batara Keling!” sahut Pangeran Parikesit. ”Mengapa kau tidak segera saja berhenti untuk melanjutkan perbuatan-perbuatan yang banyak membuat orang lain menderita? Berhentilah, karena hanya dengan berhenti maka derita akan menjauhimu.”
“Lanjutkan itu dalam mimpimu, Pangeran. Jauh di belakangku telah bersiap pasukan sehamparan tebasan parang. Dan kau mungkin dapat menyaksikan jika alam tunduk pada kehendakku.”
“Sekalipun aku tidak pernah ingin membunuhmu.” Pangeran Parikesit melenting surut. ”Tetapi menghentikanmu adalah satu tugas yang harus aku tunaikan, Batara Keling.”
Lantas yang terjadi kemudian adalah kedua orang yang telah lama saling mengenal ini tenggelam dalam perkelahian yang sengit. Pertarungan yang lain yang terjadi di dekat mereka pun terpaksa harus menjauhi mereka. Betapa angin panas yang keluar dari telapak Batara Keling seringkali menyambar tubuh mereka hingga terasa perih.
Sementara itu, dua orang pengawal Adipati Pajang yang menyertai Pangeran Parikesit telah berpencar. Dua orang prajurit ini adalah bagian dari Pasukan Khusus Pengawal Istana yang mempunyai kemampuan setara dengan lima belas orang. Meskipun mereka telah berada dalam lingkaran yang dikelilingi orang-orang Batara Keling, dua pengawal ini dapat memberi perlawanan dengan gerakan yang gesit dan lincah. Tubuh mereka terlihat sangat ringan menghindari serangan demi serangan yang dilontarkan musuhnya secara bergantian.
Tetapi empat orang yang menjadi lawan mereka bukanlah prajurit dengan kemampuan pada tataran rendah. Empat orang penentang ini merupakan orang-orang yang telah lama berlalu lalang dalam pergumulan olah kanuragan.
Demikianlah, maka keadaan pertempuran yang melibatkan enam orang itu kemudian berubah. Keseimbangan tidak lagi dapat dijaga oleh dua prajurit dari Pajang. Perlahan dan penuh kepastian kedudukan prajurit Pajang berada dalam bahaya. Sekali-kali tubuh mereka nyaris yang dapat terhantam serangan para penentang yang datang membadai.
Lalu secara mengejutkan, keadaan di sekitar lingkaran pertempuran itu menjadi terang benderang dan menyilaukan. Tiba-tiba beberapa bola cahaya berukuran kecil melesat deras menerpa para pengepung prajurit Pajang. Penglihatan mereka tiba-tiba menjadi gelap karena cahaya yang keluar dari bola-bola kecil itu sangat menyilaukan mata. Empat orang pengeroyok itu menjadi sangat terkejut, mereka dengan cepat menghindar dengan sembarangan. Terdengar suara nyaring saat satu dua orang dari mereka terlambat menghindari sambaran bola-bola bercahaya putih menyilaukan dan tubuh mereka terjengkang roboh. Namun mereka berusaha bangkit berdiri.
Dua orang pengawal Adipati Pajang dapat mengenali orang yang datang membantu melalui suara yang telah mereka kenal.
“Kalian harus cepat menyusul Adipati!” perintah orang yang baru datang itu.
“Baik, Kiai!” sahut bersamaan dua orang prajurit Pajang yang kemudian dengan ringan meloncat ringan ke atas punggung kuda. Sekejap kemudian mereka bergerak menjauh menembus hutan dalam malam yang gelap.
Batara Keling yang sempat terhenyak kemudian beringsut keluar dari lingkar pertarungannya. Tajam ia memandang sosok yang baru datang dengan cara yang mengejutkannya. Lalu tiba-tiba Batara Keling tertawa dengan suara yang membuat bulu kuduk meremang. Kedatangan Ki Getas Pendawa bukanlah bagian dari harapannya, bahkan sama sekali tidak termasuk dalam perencanaannya. Namun kesombongan yang subur mengakar dalam hatinya telah menjadikannya untuk menetapkan keputusan yang tidak wajar.
“Sulit untuk dipercaya tetapi inilah kenyataan yang terjadi!” kata-kata Batara Keling terdengar di antara gema tawanya yang mengerikan. Empat orang kawannya yang melangkah mendekatinya pun saling bertukar pandang, mereka belum memahami maksud kata-kata Batara Keling.
Batara Keling melihat mereka, lalu katanya, “Paman dan keponakan telah berkumpul pada satu tempat, dan mereka sedang menanti hukuman dariku atas perbuatan mereka selama menjadi orang-orang yang terbuang.”
“Apakah mereka berdua anak cucu raja bernyali kecil?“ bertanya salah seorang dari pengikutnya.
“Tidak salah!” sahut Batara Keling.
“Marilah, Jagat Batara,” kata orang yang mengenakan ikat kepala berwarna merah sambil bertolak pinggang, ”Kita tuntaskan pekerjaan ini dan menukar dua kepala ini dengan lantakan emas.”
Ki Getas Pendawa menarik napas dalam-dalam lalu berpaling pada Pangeran Parikesit yang bersikap dingin. Ki Getas Pendawa kemudian mendesah lirih, ”Ternyata masih ada orang yang menganggap kita berdua ini adalah sebuah hadiah, Paman.”