Ki Patih Mandaraka seperti sengaja menurunkan ketegangan atau mungkin sedang menunggu perubahan yang mungkin akan dilakukan lawannya. Kepercayaan diri Ki Tunggul Pitu, diakui atau tidak, cukup mempengaruhi keadaan perkelahiannya. Walau tidak begitu tajam tetapi kenyataannya orang kedua Mataram itu belum juga meningkatkan kecepatan geraknya.
Suasana terasa semakin suram ketika malam mencekam semakin dalam. Kedudukan bintang perlahan berubah meski seolah masih kokoh di lintasannya. Ki Patih Mandaraka bergerak lambat Kiai Kutharaga yang masih terayun sepenuh tenaga. Perubahan tata gerak Ki Patih Mandaraka tidak membuat Ki Tunggul Pitu turut melambat, sebaliknya ia tetap bergerak lincah dengan kecepatan yang belum banyak berubah walau sekali-kali mengikuti perlambatan lawan. Dua orang yang sedang bertarung sengit itu seperti kembali ke awal perkelahian. Awal pertemuan untuk penjajagan. Gebrakan yang digencarkan Ki Tunggul Pitu dapat diredam cukup baik oleh Ki Patih Mandaraka, dalam keadaan demikian, setiap pihak telah mempunyai dasar untuk menilai kemampuan lawan. Maka perkelahian yang seakan berlangsung lambat, sebenarnya, telah berpindah pada keadaan yang seketika dapat meningkat sangat tajam dan sanggup memeras tenaga.
Namun bagi orang yang melihat bila ia melewati menyaksikan perkelahian itu, maka penilaian bahwa tidak ada keseimbangan dalam pergumulan itu akan muncul dalam benaknya. Ki Tunggul Pitu, dalam waktu itu, mengerti bahwa Ki Patih Mandaraka belum mengeluarkan segenap kemampuannya. Tentu saja keadaan itu memaksanya untuk menahan diri. Ia pun menunggu sambil tetap melontarkan serangan-serangan yang membahayakan.
Mungkin dalam waktu yang sedikit lama, pertarungan tetap berkubang dengan cara-cara dan siasat yang aneh untuk menguji ketahanan jiwani lawan masing-masing.
Ki Sekar Tawang menempuh jalan lain. Ia terus meningkatkan serangan walau menanjak perlahan. Jika dulu ia meninggalkan pertempuran Madiun, kali ini Ki Sekar Tawang seperti tidak akan membiarkan Agung Sedayu melarikan diri. Pikirnya, ia memang harus cepat memberi tekanan. Berulang ia mendengar kabar bahwa Agung Sedayu kerap meninggalkan gelanggang. Perkelahian sengit menghadapi Ki Garu Wesi dan Ki Hariman di sungai kecil di tepi Jati Anom, di sisi pasar induk Tanah Perdikan.
Di bagian lain, Ki Sekar Tawang sempat dongkol pada Ki Tunggul Pitu yang tiba-tiba menghentikan serangan. “Bodoh! Jika ia berhenti, Agung Sedayu akan mudah melepaskan diri lalu meninggalkan Ki Juru demi sebuah bantuan. Meski tempat ini jauh dari pemukiman, tetapi siapa yang dapat mengabaikan Untara?” hati Ki Sekar Tawang berkata dengan geram. Perasaan yang mengganjal hatinya segera beringsut pergi ketika Ki Tunggul Pitu memperlihatkan laga pilih tanding. Ia mengetahui kekuatan yang tersimpan dalam diri Ki Tunggul Pitu dan itu melonggarkan hatinya.
Dua keadaan yang berbeda.
Ki Sekar Tawang memang tidak setegang kawannya. Ki Sekar Tawang tidak mempunyai keinginan mempelajari kitab Kiai Gringsing, menurutnya, kedalaman isi kitab adalah sesuatu yang dapat dicapai. Dari salah satu cabang pikirannya, dengan menguasai pusaka Mataram maka segenap peninggalan Kiai Gringsing akan berlalu seperti debu yang terhempas kaki-kaki kuda.
Ia berloncatan, menyerang Agung Sedayu dari segala arah dengan sepasang lengan yang tak henti berayun. Lelaki ini sangat menguasai cara menjatuhkan ketahanan jiwani lawannya. Perkelahian pada lingkaran mereka perlahan-lahan menjadi bising. Bibir Ki Sekar Tawang tidak berhenti bergerak. Berteriak-teriak dengan ucapan-ucapan yang tidak berguna. Ia terus menerus mengeluarkan kalimat yang merendahkan Panembahan Hanykrawati, Ki Patih Mandaraka, dan yang lebih buruk, dan sangat buruk adalah penghinaannya pada Ki Sadewa – mendiang ayah Agung Sedayu.
“Ini bukan lagi sebuah perang tanding yang memegang teguh paugeran sebagaimana wajarnya perkelahian satu lawan satu,” kata Agung Sedayu dalam hatinya, “ini adalah ungkapannya untuk membunuhku secara perlahan. Ya, ini adalah penyiksaan.”
Ki Sekar Tawang merapatkan serangan melalui kata-kata dengan baik, menurutnya Agung Sedayu akan mengalami kekacauan luar biasa secara jiwani. Bagaimana ia dapat bertempur dengan sepenuh tenaga bila perasaannya terombang-ambing? Kegelisahan hati Agung Sedayu yang terpancar jelas dari wajahnya, meski sepintas, menjadi lubang terbaik yang dapat dimasuki oleh Ki Sekar Tawang. Oleh karena itu, ia merintis jalan untuk meremukkan bagian dalam senapati Mataram itu terlebih dahulu.
Baca juga : Kompor Tua
Gempuran kata-kata yang dilontarkan Ki Sekar Tawang belum terlihat menggoyahkan kedudukan Agung Sedayu. Lambat laun ketika nama Ki Sadewa mulai disebut-sebut, gempuran kalimat buruk berhasil mengurung perasaan Agung Sedayu. Pada saat ucapan keji datang menerjangnya, Agung Sedayu mulai kesulitan memusatkan tata gerak. Sedangkan segenap kemampuannya akan memuncak apabila ia berhasil membangkitkan kekuatan dari bagian intinya. Senapati tangguh itu bertarung seperti orang yang perlahan kehilangan keseimbangan. Putaran cambuk mulai terlihat seperti permainan orang yang sedang kesurupan. Barangkali Agung Sedayu tidak menyadari perubahan yang terjadi padanya. Segala ucapan buruk terutama yang ditujukan pada Panembahan Hanykrawati dan Ki Sadewa mulai menggerus pertahanannya.
Agung Sedayu limbung dan keruntuhan batinnya tidak diketahui oleh Ki Patih Mandaraka. Baik sepintas maupun melalui pengamatan mendalam, pergerakan Agung Sedayu belum terlihat berubah. Segalanya masih seperti mula-mula. Meski sebenarnya Agung Sedayu sedang berubah menjadi helai nyiur yang terkatung-katung menunggu patah!
“Selesai!” teriak gaduh Ki Sekar Tawang di dalam hatinya. Ki Sekar Tawang bersorak. Hanya ia yang tahu dan dapat merasakan penurunan yang terjadi di dalam lingkar pertarungannya.
Pakaian senapati Mataram robek! Tercabik kulitnya ketika Kiai Plered sanggup menembus lapisan kebal yang setara dengan Lembu Sekilan!