Sebenarnyalah dalam benak anak itu telah muncul berbagai pertanyaan, namun dia tidak lagi berhasrat untuk bertanya. Di ikuti saja langkah orang tua itu ke mana pun dirinya pergi. Sampai pada suatu ketika Layungpati menjadi termangu-mangu ketika dirinya melihat Syeh Winong seperti memotong jalan keluar dari jalur jalan setapak itu. Lalu berbelok kanan melewati grumbul-grumbul semak belukar yang banyak tumbuh di tepian.
Akan tetapi bukan itu yang membuat Layungpati terbelalak. Tapi karena ternyata grumbul-grumbul semak belukar itu tumbuh di dalam sebuah cekungan tanah meski tidak terlalu dalam.
Dedaunan semak belukar itu demikian rapat menutupi cekungan tanah sedalam satu tombak terhampar hingga tepian sebrang. Anak itu semakin termangu-mangu ketika melihat Syeh Winong tampak berjalan seperti biasa menginjak ujung-ujung dedaunan semak belukar itu layaknya menginjak rerumputan yang tumbuh di atas tanah.
“Tidak mungkin… semestinya Kanjeng Syeh jatuh terjerembab ke dalam cekungan tanah itu? Tapi…apakah mataku tidak salah melihat?” gumam Layungpati dalam hati.
“Kyai !” mulutnya pun tidak sadar berucap memanggil.
Namun Syeh Winong seakan tidak menghiraukannya. Orang tua itu terus saja berjalan hingga tepian seberang sebelum kemudian berhenti. Lalu memutar tubuhnya ke arah Layungpati. “Kenapa kau berhenti, Ngger?” kata orang tua itu kemudian.
“Tapi, Kyai, bagaimana bisa aku menginjak ranting-ranting lunak itu?” tukas Layungpati.
Anak itu pun menoleh ke kanan dan ke kiri mencari-cari kalau saja ada jalan setapak yang menghubungkan ke tempat di mana Syeh Winong saat ini berdiri. Ia kemudian mencoba berjalan searah jalan setapak itu kembali. Namun langkahnya terhenti oleh suara Syeh. Winong. “Kau mau ke mana Layung?” kata orang tua itu.
“Aku akan mencari jalan yang terhubung ke tempat Kyai.”
“He.. Bukankah jalan setapak itu hanya berputar-putar saja? Bukankah kita tidak pernah menemukan ujungnya? Kau tidak akan mencapai tempat ini, Ngger.”
Layungpati kembali termangu-mangu. Anak itu semakin bingung bagaimana caranya menuju ke tempat orang tua itu. Sampai pada akhirnya menemukan cara yang mungkin dapat dilakukannya, “Cekungan tanah itu tidak terlalu dalam, sepertinya tidak lebih dari dua tombak. Sebaiknya aku turun saja melintas lembah kecil itu,” katanya dalam hati.
Lalu anak itu menyibak-nyibak semak belukar itu mencari jalan untuk menuruni cekung tanah itu. Akan tetapi….
“Layung. Jangan kau turuni lembah dangkal itu. Di bawah itu terdapat sarang ular berbisa,” tukas Syeh Winong memberi peringatan, “banyak ular luwuk hijau ekor merah di sana. Kau tidak akan bertahan lama jika digigitnya.”
“Lalu bagaimana aku harus ke sana?” Anak itu menjadi kebingungan. Selama ini dirinya sering mengembara angon domba-dombanya. Banyak dilaluinya berbagai kesulitan jalan. Bahkan sering kali Layungpati harus beristirahat beberapa malam di sendang-sendang wingit. Akan tetapi jalan yang kini dihadapinya cukup membuatnya jerih dan ngeri.
Sebagai seorang anak gembala tentu Layungpati tahu apa yang di sebut dengan ular luwuk hijau ekor merah itu. Anak itu tahu bahwa ular itu mempunyai bisa yang teramat keras, sehingga orang tidak akan mampu bertahan lebih dari dua puluh hitungan, jika digigitnya.
“Layung! Kemarilah, berjalanlah ke sini. Karena hanya melewati semak belukar itu kau bisa keluar dari hutan itu.”
“Tapi…,” sergah anak itu bingung.
“Kenapa, Ngger? Kenapa kau menjadi bingung? Bukankah kau pernah melewatinya?”
“Belum, aku belum pernah melewati itu,” sahut anak itu mulai merasa cemas.
“Jika belum pernah, bagaimana bisa kau berada di sana? Sementara tidak ada jalan menuju tempat itu.”
Hati anak itu berdesir. Kata-kata orang tua itu semakin membuat dirinya menjadi terpaku dalam ribuan pertanyaan di benaknya. Layungpati menjadi tidak bisa membayangkan apa yang sudah dialaminya.
Memang seharusnya Layungpati berjalan pula melalui jembatan dari gerumbul-gerumbul belukar itu untuk sampai di tempatnya sekarang, namun tetap saja anak itu tidak mampu untuk memikirkannya.
“Katakan, Layung, jika kau belum pernah melewati lembah berbelukar ini. Lalu bagaimana kau sampai di situ?” Syeh Winong meyakinkan hati anak itu.
“Aku tidak tahu, Kyai,” jawab Layungpati.
“Karena itu cobalah berjalan, lalui belukar itu.”
“Apakah mungkin?”
“Layung, aku tidak tahu bagaimana caramu. Akan tetapi aku melihat sesungguhnya dalam tubuhmu telah mengendap kekuatan sejatimu yang kadang terungkap dengan sendirinya saat kau tidak menyadarinya. Karena itulah kau bisa memasuki hutan itu melalui semak belukar ini meski kau tidak menyadarinya. Untuk itu cobalah kau ungkapkan itu secara sadar.”
“Aku sama sekali tidak mengerti apa yang Kyai ucapkan,” jawab Layungpati semakin pusing.
“Baiklah. Sekarang kau ikuti kata-kataku,” kata Syeh Winong kemudian.
Tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti kata-kata orang tua itu. Karena dalam hati kecilnya tentu dirinya tidak ingin terkungkung di hutan kecil itu.
“Apakah kau mengerti, Ngger?”
“Aku mengerti, Kyai.”
“Bagus, sekarang kau berdirilah di tepian jalan setapak itu lalu pejamkan kedua bola matamu,” lanjut Syeh Winong, “tarik napasmu dan tahan sejenak lalu hembuskan dengan landai. Terus lakukan itu hingga kau merasakan desir aliran darah disetiap jengkal tubuhmu. Dan jangan kau lupa anakku, mohon kekuatan pada Sang Pencipta, Sang pemilik kekuatan dari segala kekuatan karena atas kehendak-Nya. Kau mendapatkan apa yang kau inginkan.” Syeh Winong sejenak diam. Orang tua itu menarik napasnya.
Sementara itu Layungpati masih tenggelam dalam pemusatan nalar dan budi atas petunjuk yang diucapkan orang tua itu. Dan sampai beberapa waktu yang ditentukan orang tua itupun melanjutkan kata-katanya. “Layung, kini apa yang kau rasakan?”
“Aku merasa kehilangan beban tubuhku, Kyai,” desis Anak itu.
“Bagus, tetap kau pejamkan kedua matamu. Dan rasakan bahwa saat ini kau sedang berdiri di sebuah padang rumput lalu berjalanlah di atasnya. Ingat, Ngger, kau sedang berjalan di atas padang rumput, dan teruslah melangkah ke depan.”
Demikianlah seperti kata Syeh Winong. Layungpati kini melangkah maju melintasi jalan yang sesungguhnya menapak di atas daun-daun belukar di mana tumbuhan itu menutupi cekungan tanah sedalam satu sampai dua tombak.
Yang terlihat kemudian begitu luar biasa. Tubuh anak itu bagaikan tak ada beban menindih daun-daun melukar itu. Kakinya bagaikan kapas yang hinggap dari permukaan daun satu ke daun yang lainnya, sehingga pemandangan itu tentu akan membuat orang terbelalak jika melihatnya.
“Berhenti!” kata Syeh Winong tiba-tiba.
Layungpati pun berhenti. Anak itu kini tepat berdiri di tengah jalan yang sesungguhnya adalah sebuah ngarai kecil yang tertutup belukar tersebut.
“Layung,” kata Syeh Winong kemudian, “kau kini boleh membuka kedua matamu. Tapi ingat, anakku, kau harus tetap tenang, jangan terkejut jika mendapati di mana tubuhmu saat ini. Jangan semua itu justru memudarkan pemusatan budimu. Karena sebenarnyalah kau tidak sedang bermimpi. Dan karena kehendak Yang Maha Agung kau telah mampu meredam bobot tubuhmu. Apakah kau mendengar ucapanku, Ngger?”
“Aku mendengar, Kyai.”
“Baiklah kini buka kedua matamu.”
Sesaat Layungpati tertegun. Anak itu seakan tidak percaya jika saat ini dirinya bertengger di atas daun-daun belukar berdahan lunak yang menutupi ngarai itu. Namun anak itu mampu menguasai perasaan hatinya. Demikian seperti petunjuk yang diucapkan Syeh Winong sebelumnya.
“Layung, sekarang melompatlah kemari, anggaplah dirimu burung elang yang melenting tinggi lalu menukiklah kemari.”
Kembali anak itu melakukan apa yang dikatakan orang tua itu, sehingga satu lagi pemandangan luar biasa telah dilakukan Layungpati. Satu hentakan kakinya telah melontarkan tubuhnya ke udara kemudian bagaikan melayang satu putaran sampai pada akhirnya menukik tajam beberapa jarak di samping Syeh Winong. Akan tetapi Layungpati belumlah mampu menguasai keseimbangan tubuh sepenuhnya sehingga begitu kakinya menyentuh tanah anak itu limbung kemudian seperti didorong oleh tenaganya sendiri dia pun jatuh tersungkur di atas tanah.
Layungpati kemudian serta merta bangkit. Ada sesuatu yang bergumul dalam benak anak itu yang membuatnya termangu-mangu antara percaya atau tidak dengan apa yang telah dilakukannya, sehingga anak terlihat tertegun seperti terbangun dari mimpinya ketika suara Syeh Winong menyapanya. “Kenapa kau terbengong? Marilah kita kembali ke pondok saja, matahari sudah hampir tiga perempat jalan.” Orang tua itu kemudian berjalan seakan tidak menghiraukan Layungpati yang masih terbuai dalam ketidak pahaman akan dirinya. Namun pada akhirnya anak pun menyusul langkah orang tua itu.
Sebenarnyalah dengan berjalan kaki sesungguhnya pondok kediaman Syeh Winong itu masihlah cukup jauh. Namun Syeh Winong hanya berjalan lamban dengan tongkat di tangan kanannya yang sesekali terdengar berat mengetuk-ngetuk permukaan tanah di mana dia berjalan. Demikian juga dengan Layungpati lamban pula mengikuti angkah orang tua itu menyusuri jalan-jalan yang kadang sedikit terjal menanjak melewati bebatuan hitam yang banyak berserak. Hingga pada saatnya Layungpati kembali melihat sesuatu yang aneh menurutnya dengan Syeh Winong.
Beberapa kali Layungpati mengucak-ucak kedua matanya seperti tidak percaya dengan pengelihatannya. Anak itu melihat Syeh Winong memang bejalan wajar dengan gerak kakinya yang begitu lamban. Akan tetapi Layungpati merasakan bahwa jarak dirinya dengan orang tua itu berjalan seakan-akan selalu jauh. Bahkan kadang-kadang dirinya harus berlari kecil untuk menyusulnya, namun usahanya selalu sia-sia dan jarak keduanya semakin lama semakin jauh saja.
“Orang tua itu benar-benar aneh,” desis Layungpati dalam hatinya. Namun kemudian dirinya menangkap sesuatu bahwa apa yang dilakukan Syeh Winong itu tidaklah wajar. Kemudian dia pun teringat pula kata-kata orang tua itu kepadanya bahwa setiap manusia sesungguhnya mempunyai tenaga luar biasa yang tidak disadarinya. Akan tetapi itu dapat diungkapkan hanya dengan laku yang dijalaninya, dengan pelatihan juga pemusatan budi sehingga mampu mendapatkan tenaga cadangannya itu.
Teringat pula dengan hal yang tidak masuk diakalnya yang beberapa saat sebelumnya baru dilakukannya sendiri. Oleh karena itu murid termuda di Padepokan Sekar Jagad pun ingin kembali mencoba mengungkapkan apa yang di sebut tenaga cadangan itu seperti petunjuk Syeh Winong kepadanya beberapa saat sebelumnya.
“Apakah aku juga bisa melakukan seperti cara berjalan aneh seperti orang tua itu?” desisnya dalam hati.
Layungpati pun kembali melakukan sesuatu dengan mengingat segala petunjuk yang pernah diterimanya dari Syeh Winong.
Pertama-tama, Layungpati melakukan pemusatan nalar dan budinya seraya memohon petunjuk dari Yang Maha Agung agar apa yang ingin diusahakannya itu menuai keberhasilan. Sampai pada akhirnya dia merasakan getaran-getaran pada pembuluh darahnya setelah beberapa saat mengatur jalur pernapasannya. Dia pun kembali merasakan seakan-akan bobot tubuhnya perlahan seperti hilang. Meski begitu ternyata Layungpati tetap saja berjalan lamban tidak seperti apa yang di lakukan Syeh Winong.
Memang anak itu telah merasakan tubuhnya menjadi ringan berjalan menapak di setiap langkahnya. Namun yang terjadi adalah sama saja, dan ternyata tidak mampu mendekati Syeh Winong yang semakin jauh meskipun tetap terlihat berjalan secara wajar.
“Kenapa tenagaku tidak mampu mendorong tubuhku seperti kanjeng Syeh?” desisnya semakin heran, “apakah ada hal lain yang harus dilakukan selain meringankan bobot tubuh, untuk berjalan seperti itu?” Akan tetapi Layung Pati tidak mau berpikir lagi terlalu lama, karena jarak dirinya dengan Syeh Winong sudah semakin jauh, maka dirinya harus segera menyusulnya.
Sampai pada akhirnya anak itu mencoba berlari dengan menggunakan kemampuan yang kini telah disadarinya itu. Tubuh anak itu kini terlihat begitu ringan berlari sambil sesekali melompat, bahkan kadang melenting dengan cara menumpukan kaki-kakinya pada batu-batu lalu menghentakkan tubuhnya hingga terlihat seperti terlontar begitu ringan. Dan kali ini usahanya pun tidak menjadi sia-sia. Layungpati semakin lama menjadi semakin dekat bahkan kini telah berada berjalan seiring dengan orang tua itu.
“Kau Layungpati” desis Syeh Winong, “aku kira kau masih berdiri bengong di sana.”
“Bagaimana Kyai melakukan semua itu?” tukas Layungpati yang justru bertanya.
“Melakukan apa ?”
“Aku melihat cara berjalan yang aneh itu.”
“Aneh bagaimana?”
“Entahlah. Aku tidak tahu bagaimana aku harus menanyakan. Akan tetapi aku benar-benar melihat sesuatu yang belum pernah aku lihat dengan apa yang Kyai lakukan itu,” sahut Layungpati.
Kini orang tua itu pun tersenyum. Lalu menghentikan langkahnya dan berkata, “Bukankah engkau juga bisa menyusulku?”
“Aku hanya melakukan petunjuk yang Kyai katakan. Akan tetapi tetap saja aku harus berlari, dan bukan berjalan wajar hingga mampu menyusul.”
Syeh Winong mengangguk-anggukkan kepalanya. “Tentu kau akan bisa melakukannya juga, namun semua itu tentu harus melalui laku. Karena apa yang disebut ilmu itu harus diraih dengan laku. Artinya harus dijalani dengan latihan-latihan yang tekun, juga pemusatan batin yang tinggi.”
“Pemusatan batin yang tinggi?” ulang anak itu.
“Tentu begitu. Dan siapa pun akan bisa melakukan itu termasuk dirimu, jika memang kau mau. Namun bukankah kau tidak begitu suka dengan hal-hal seperti itu?” sergah Syeh Winong.
Layungpati termangu-mangu mendengar itu. Sampai pada akhirnya Syeh Winong kembali berucap, “Mari kita lanjutkan jalan, kita sudah hampir sampai. Satu tikungan di ujung bulak itu gubukku akan terlihat.”