“Mudah-mudahan panggraitaku ini benar bahwa anak itu secara tidak sadar telah menempa dirinya secara alami.”
“Kenapa demikian?”
“Apakah kau tidak melihat sesuatu yang tersembunyi di balik setiap gerak-gerik tubuhnya? Ketika berjalan barangkali?”
“Maaf Ki Gede.. Sebenarnyalah aku tidak begitu memperhatikannya,” tukas Ki Resa Demung
“Meskipun anak itu tidak mempunyai ilmu tata gerak kanuragan sedikitpun. Apakah kalian tidak melihat gerak-geriknya yang kadang-kadang seperti seorang yang berilmu tinggi? Bahkan langkahnya begitu ringan jika dilihat. Oleh karena itu, Adi Demung, atas dasar itulah diawal sebenarnya aku ingin bertanya sampai di mana penguasaan ilmu anak itu. Tapi ternyata yang aku dengar tidak seperti yang aku kira.”
“Tapi bukankah itu mustahil, Ki Gede. Bagaimana mungkin seperti itu? Sedangkan sekali pun anak itu tidak pernah mendalami dasar ilmu olah kanuragan sama sekali? Baik secara kewadagan maupun secara batin” tukas Ki Demung.
Namun Ki Gede Sekar Jagad justru tersenyum, “Seperti yang aku katakan, anak itu secara tidak sadar telah menempa dirinya bersama alam. Meski sekali pun dia tidak pernah berlatih kanuragan sebenarnyalah dalam dirinya telah terbentuk satu kekuatan tenaga murni yang luar biasa andai pun satu jurus kanuragan pun dia belum mengenalnya.”
“Lalu bagaimana itu bisa terjadi?”
“Caranya aku sendiri tidak tahu. Akan tetapi panggraitaku mengatakan tumbuhnya kekuatan dalam tubuh anak itu mengendap secara bertahap di manapun itu. Dan anak itupun tidak menyadarinya.” Ki Gede terlhat menarik nafasnya lalu melanjutkan ucapannya, “Kita tidak tahu kebiasaan anak itu ke mana ketika angon membawa domba-dombanya merumput yang kadang sampai berhari-hari, misalnya. Dan menurutku itu seperti sebuah laku layaknya orang dalam mendalami ilmu. Selama itu kita tidak tahu pula dimana anak itu tidur saat malam tiba. Ke mana dia berteduh kala hujan maupun panas? Dan yang pasti dia sering menahan lapar meskipun domba-domba angonannya itu kenyang merumput. Bahkan kita tidak tahu jelas tempat mana saja yang disinggahinya, karena di mana ada rumput di situ dia menggiring domba-dombanya, sekalipun harus menjelajah tempat-tempat yang wingit dia tidak peduli. Dan sepertinya justru kegiatannya itu telah mampu membuat hati dan jiwanya tenang.”
“Sebenarnyalah aku juga pernah mendengar dari beberapa penduduk kademangan tentang keanehan dalam diri anak itu,” tukas Ki Demung kemudian, “bahkan aku pernah mendengar beberapa orang kademangan mengatakan bahwa anak itu seperti mampu memahami sifat berbagai binatang sehingga menjadi jinak jika berhadapan denganya. Entah apa yang dilakukannya hingga binatang-binatang itu seakan menjadi patuh, hingga orang-orang kademangan pun heran.”
“Bagaimanapun juga anak itu kini sudah menjadi bagian keluarga kita. Keluarga besar Sekar Jagad,” kata Ki Gede seraya menarik nafasnya panjang, “untuk itu, Adi Demung, kita harus semakin ketat memperhatikan perkembangan anak itu. Jangan sampai bayangan-bayangan kejadian mengerikan yang dihadapinya itu justru akan berkembang liar hingga mempengaruhi jiwanya dan membuat perangainya berubah menjadi liar pula. Apalagi sesuatu yang bisa membawa dirinya pada jalan hitam. Kita tidak tahu pasti kejadian sebenarnya yang dialaminya pada waktu itu.Tapi mudah-mudahan perkiraanku ini salah.”
“Maksud Ki Gede?” sergah Ki Resa Demung.
“Aku hanya mencemaskan jika kejadian waktu itu dapat melukiskan warna dendam yang menyelimuti jiwanya pula. Oleh karena kematian orang tuanya barangkali? Atau siapa pun orang dekat anak itu, bukankah kita tidak tahu?” jelas Ki Gede
Ki Demung mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu katanya, “Anak itu sangat menghormati Ki Gede, aku rasa jika itu benar, hanya Ki Gedelah yang mampu menasehatinya.”
“Mudah-mudahan begitu adi Demung, karena sebenarnyalah aku ingin anak itu menjadi orang yang berhaluan di jalan kebaikan.”
Perbincangan yang demikian hangat itu seakan mendera waktu dengan cukup kencang hingga tidak terasa malam bergulir mendekati gelagat pagi yang semakin mengintip. Di sisi lain Jaka Tole masih belum terlihat dalam kesadaran dirinya, meskipun alur nafas anak itu mengalir teratur layaknya terbuai bagaikan tertidur.
Sementara beberapa orang dipendapa itu sesekali masih terdengar bercengkrama. Suara-suara mereka yang kadang terdengar parau menandakan betapa telah demikian panjang mereka berbicara dalam persoalan-persoalan sampai jauh melewati malam.
“Adi Resa Demung,” kata Ki Gede Sekar Jagad kemudian, “sudah saatnya aku harus mewarnai jiwa anak itu agar tidak selalu tenggelam dalam bayang-bayang kelamnya. Meskipun itu harus dilakukan sedikit demi sedikit.”
“Lalu apa yang akan Ki Gede lakukan?” tukas Ki Resa Demung.
“Tentu dia harus dibuat pula untuk melihat bahwa ketika kekerasan yang terjadi dalam kehidupan ini tidak selamanya semata-mata hanya kengerian yang tidak berguna. Anak itu harus melihat pula bahwa ada kalanya menegakkan kebenaran itu sesekali harus melalui tindakan kekerasan, perkelahian ataupun pertarungan yang memaksa. Meskipun sebenarnya bertentangan dengan keinginan hati kita.”
“Apakah kita akan memaksa anak itu untuk melatih diri dalam ilmu olah kanuragan?” sergah Damani kemudian.
“Tidak Damani, bukan itu maksudku,” sahut Ki Gede seraya menarik nafas panjang-panjang. “Aku akan menyertakan anak itu untuk ikut ke Mataram mengikuti saudara-saudaranya mengikuti pendadaran.”
“Maksud Kyai, Jaka Tole harus mengikuti pendadaran itu pula?” tukas Ki Damani.
“Tentu tidak, aku hanya ingin anak itu melihat pertarungan yang sesungguhnya meskipun hanya sebatas uji tanding dalam pendadaran itu”.
“Apakah itu tidak berbahaya baginya Ki Gede? Apa lagi jarak perjalanan ke Mataram cukup jauh,” kata Ki Resa Demung kemudian.
“Oleh karena itu aku memintamu ikut mengantar anak-anak itu ke Mataram, Resa Demung. Lagi pula saat ini boleh dikatakan keadaan jauh lebih aman semenjak Panembahan Agung memegang tahta Mataram.”
Ki Resa Demung menarik nafasnya panjang-panjang lalu katanya, “Baiklah, jika demikian yang terbaik aku akan lakukan seperti yang Ki Gede perintahkan.”
“Berangkatlah dua hari ke depan,” sahut Ki Gede. “Persiapkan dengan baik karena mereka akan membawa nama perguruan kita.”
“Pangestu Ki Gede, mudah-mudahan anak-anak kita mampu membawa nama perguruan Sekar Jagad semakin bersinar. Mudah-mudahan mereka dapat bersaing dengan baik di pendadaran itu, meskipun kita tahu tentu berbagai perguruan akan mengirimkan orang-orang terbaiknya pula.”
“Baiklah, Adi Resa Demung, rasanya semuanya sudah cukup, malam sudah mulai beranjak pagi, masih ada beberapa waktu untuk kita memejamkan mata sejenak. Tentu setelah matahari naik akan menjadi tugasmulah sebagai pembimbing untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Uji kembali kemampuan ketiga orang kita yang akan kau kirim ke Mataram untuk meraih hasil yang terbaik.”
“Lalu bagaimana dengan anak itu?” sahut Ki Resa Demung.
“Anak itu tidak apa-apa, kalian pergilah. Istirahatlah. Karena besok masih ada pekerjaan yang harus kalian lakukan.”
“Apakah Ki Gede tidak beristirahat?” tukas Ki Damani kemudian
Orang tua itu pun tersenyum kecil lalu katanya, “Bukankah aku sudah beristirahat sekarang?”
Damanipun tidak bertanya lagi. Sebagai orang yang begitu lama tinggal di padepokan itu tentu dirinya sangat paham dengan sifat orang paling berwenang di perguruan itu. Karena itu satu persatu orang-orang itu pergi keluar pendapa bangunan induk tersebut.
Suasana pun kini tampak menjadi demikian hening. Hanya Ki Gede Sekar Jagad seorang diri masih duduk bersila. Sementara Jaka Tole seperti sebelumnya masih terbaring diam meski alur nafasnya terdengar demikian teratur. Kedua mata orang tua itupun tampak terpejam seperti sedang memusatkan nalar dan budinya. Tarikan nafasnya terlihat semakin dalam, lalu terhembus teratur mengikuti irama hening yang semakin mengalir di setiap sudut ruang tersebut. Namun kemudian orang tua itu tiba-tiba berucap, “Kau bangunlah, Tole! Bangunlah, Ngger. Jangan kau berpura-pura lagi. Aku tahu sudah sejak tadi kau sudah sadar dari pingsanmu!”