Padepokan Witasem
Pajang, Gajahyana, majapahit, Lembu Sora, bara di borodubur, cerita silat jawa, padepokan witasem, tapak ngliman
Bab 4 Tapak Ngliman

Tapak Ngliman 5

”Sebagai seorang senapati dan lebih banyak menghabiskan usia di timur Tanah Jawa, Ki Banawa tentu akan mengenali letak banjar pedukuhan,” desah Ki Swandanu dalam hati. Usia yang telah lanjut tidak mengurangi kegesitan keduanya menyusup di sela-sela bagian belakang halaman rumah penduduk.

Segera mereka dapat mencapai jalanan induk pedukuhan, bersamaan dengan itu, rombongan pedati melintas di depan mereka. Keduanya berlindung di balik tanaman perdu yang berjajar rapi sepanjang jalan. Percakapan di antara orang-orang yang berada dalam rombongan cukup jelas terdengar.

”Semoga Ki Bekel dan Ki Jagabaya memberi izin untuk bermalam di banjar.”

”Sebaiknya memang begitu. Jika tidak, mungkin Ki Sukarta akan membeli seisi pedukuhan ini,” kata orang yang bagian dadanya terbuka dengan nada sedikit tinggi.

loading...

”Biarlah. Itu juga bukan kepingan logam milikmu,” sahut temannya yang berjalan di sebelahnya.

Orang bertelanjang dada itu melanjutkan, ”Bagaimana tidak? Setiap keping yang dikeluarkan Ki Sukarta tentu akan mengurangi bagian kita sebagai pengawal. Sedangkan kita akan tiba di rumah kita sendiri sekitar sepekan lagi.”

”Bukankah hanya sekali dua kali saja Ki Sukarta memberi keping logam? Masih banyak pedukuhan yang pemimpinnya tidak gila harta. Lagipula perjalanan kita kali ini lebih singkat dari biasanya. Bukankah itu sudah memberi kita kelebihan?” kata orang berpakaian tanpa lengan. Sebatang pedang tampak tergantung pada sisi tubuhnya.

Orang pertama hanya mendengus dan menggeram kesal. Meski begitu, ia menyadari kebenaran ucapan kawannya. Pendeknya waktu yang mereka tempuh memang memberi kelebihan tersendiri. Tetapi kegeramannya itu lebih disebabkan karena keserakahan seorang bekel pedukuhan yang meminta kepingan logam pada Ki Sukarta. Dalam benak pikiran orang itu, Ki Bekel belum dapat melihat kenyataan di sebuah pedukuhan pada malam yang lalu.

Baginya, seorang bekel itu seperti raja kecil. Ia mempunyai tanah palungguh yang sangat luas. Selain itu ia juga mendapat bagian dari setiap upeti yang dikirimkan untuk raja. Meskipun jumlahnya tidak cukup besar tetapi mampu memberi rasa aman pada penduduknya.  Dari bagian itu, ia dapat menyewa orang untuk menjaga pedukuhan atau pekerjaan-pekerjaan lainnya.

Dalam waktu itu, empat peronda mencegat rombongan lantas menghentikan mereka di tengah jalan. Beberapa lamanya para peronda bersoal jawab dengan pemimpin rombongan. Pada akhirnya, Ki Sukarta berhasil meyakinkan peronda yang mencegatnya. Tiga peronda bergegas ke rumah Ki Jagabaya. Dua orang peronda menemani mereka sambil menunggu Ki Jagabaya tiba di banjar pedukuhan.

Beberapa tombak dari halaman banjar, Ki Ken Banawa dan Ki Swandanu bersembunyi di balik semak yang rimbun. Ken Banawa sebenarnya ingin memeriksa isi pedati tetapi ia mengurungkan niatnya ketika sejumlah orang bersandar pada roda-roda pedati.

Sementara itu Bondan dan Ki Hanggapati telah memasuki pedukuhan dari arah berlawanan. Bondan rasanya tidak dapat bersabar setiap kali harus menyelinap di sela-sela pepohonan yang ada di pekarangan. Ia lebih memilih merunduk sambil berlari menyisir tepi jalan dan sesekali berhenti mengamati keadaan. Di dekat simpang tiga, Bondan dan Ki Hanggapati melihat tiga orang berjalan cepat menuju ke arah mereka. Keadaan yang gelap membantu keduanya berbaring di tepi jalan tanpa terlihat ketiga peronda. Agaknya rimbunnya semak-semak dapat menutup tubuh keduanya.

”Apakah Ki Jagabaya akan menunggu Ki Bekel?” kata orang yang membawa pelita kecil.

”Aku rasa begitu. Kedatangan saudagar yang agaknya membawa benda berharga itu telah diketahui oleh orang-orang Padepokan Sanca Dawala. Untuk itulah utusan Mpu Jagadmaya datang ke rumah Ki Bekel sebelum senja,” jawab orang bertubuh sedang namun berbadan gempal.

”Aku berharap kali ini sasaran kita benar-benar membawa benda yang mahal. Sudah lama kita tidak melakukan panen raya,” kata orang pembawa pelita.

”Ya. Sejak upeti yang dikirim dari Pajang habis dibagikan, sudah tidak ada lagi benda mahal yang singgah di pedukuhan ini,” kata seorang yang berwajah kasar. Lanjutnya, ”Apakah pihak istana telah membuka jalur lain sehingga kiriman-kiriman dari lereng Merapi tidak melewati daerah sekitar sini?”

”Tentu saja Mpu Reksa Rawaja segera tahu jika ada jalur yang bergeser. Orang-orang kepercayaannya di kotaraja pasti segera memberitahu Mpu Rawaja,” orang berbadan gempal itu menjawab lagi. Kemudian ia melanjutkan, ”Menurut orang -orang yang ditugaskan Mpu Rawaja sebenarnya pedati-pedati itu tidak hanya berisi benda yang diperdagangkan. Mereka bilang Ki Buyut Menoreh menitipkan beberapa hadiah untuk Sri Jayanegara.”

”Benarkah? Kau dengar kabar itu dari mana?” tanya yang membawa pelita.

” Aku mendengarnya ketika Ki Bekel sedang bercakap-cakap dengan Ki Jagabaya di pategalan sepekan yang lalu.”

”Apakah keduanya tahu kau telah mendengarnya?”

”Tentu saja tidak. Karena aku terlebih dahulu datang di pategalan dan kebetulan aku sedang berbaring agak jauh dari mereka tetapi mereka bicara cukup jelas terdengar di telingaku.”

Darah Bondan menggelegak dan memacu jantungnya berdentang lebih keras. Setiap otot dan uratnya berdentuman seolah akan meledak hebat. Namun ia harus mengendap agar menjadi lebih mampu bertahan mengatasi gejolak hatinya. Sementara Ki Hanggapati hanya dapat berharap dengan cemas agar Bondan dapat menahan diri. Ki Hanggapatih sebenarnya merasakan keadaan yang sama dengan Bondan. Meskipun begitu, ia adalah orang tua yang berpandangan jauh dan luas sehingga masih dapat bersikap tenang.

Ki Hanggapati memberi isyarat untuk mengikuti ketiga peronda yang agak jauh meninggalkan mereka. Bondan yang sempat berlatih bersama para prajurit segera mengikuti mereka dengan sesekali mengendapkan tubuh menempel tanah. Ki Hanggapati mengikuti yang dilakukan Bondan. Ketiga peronda itu lalu berbelok kanan, seketika Bondan melakukan lompatan panjang. Sekejap kemudian ia telah merunduk di bawah sebatang pohon jambu yang tumbuh lebat di pojok tikungan. Ki Hanggapati berlari kencang mengejar Bondan dengan kepala tergeleng-geleng.

”Kecepatan yang luar biasa. Tubuhnya seperti tidak mempunyai bobot sedikitpun,” decaknya kagum. Tak lama kemudian ia telah berada di sisi Bondan.

”Mereka memasuki pekarangan itu,” Bondan menunjuk sebuah pekarangan yang terlihat sangat berbeda meskipun pada malam hari. Pekarangan itu memasang banyak oncor di sepanjang jalan di depannya. Ki Hanggapati mengernyikan dahi.

Wedaran Terkait

Tapak Ngliman 9

kibanjarasman

Tapak Ngliman 8

kibanjarasman

Tapak Ngliman 7

kibanjarasman

Tapak Ngliman 6

kibanjarasman

Tapak Ngliman 4

kibanjarasman

Tapak Ngliman 3

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.