Suasana pun mulai terlihat remang-remang di ambang pagi sehingga cukup bagi mereka untuk melihat alur jalan yang dilalui. Murid tertua dari perguruan Randuwangi itu mengamati seekor kuda yang ditunggangi seseorang yang terlihat paling muda di antara rombongan itu. Anak itu tidak lain adalah Jaka Tole.
Sesekali Jaladara mengangguk-anggukkan kepalanya melihat tandang anak itu. Kini dirinya telah melihat dengan mata kepala sendiri tentang anak itu daripada cerita Wirantaka beberapa saat lalu. Anak remaja yang ditemuinya sebagai seorang bocah angon berperangai lugu itu ternyata benar-benar mahir mengendarai kuda. Jika dilihat dalam sekilas, tentu orang yang melihat anak itu akan menyangka bahwa anak itu seorang berkemampuan tinggi, meskipun sebenarnyalah anak itu sedikitpun tidak mengenal sedikitpun tata gerak ilmu olah kanuragan.
“Luar biasa,” desis Jaladara, “benar kata Wirantaka. Anak itu benar-benar tangkas di atas kudanya. Kuda itu seperti menyatu dalam setiap kehendaknya.”
Dan ketika cahaya pagi semakin terang, rombongan itu pun telah sampai di jalur jalan utama menuju arah Mataram. Ki Resa Demung tiba-tiba mengangkat satu tangannya kemudian mereka berhenti.
“Kita sudah sampai di jalan utama menuju Mataram ,” kata Ki Resa Demung, “jika kita memacu kuda dengan kencang, sebelum senja bergulir kita akan sampai di tepian kali Opak.”
“Apakah kita akan langsung menuju kotaraja, Paman?” bertanya Wirantaka.
“Tidak, Ngger, seperti petunjuk Ki Gede, kita akan singgah beberapa waktu di Prambanan, baru keesokan harinya kita akan menyeberangi kali Opak.”
“Kenapa kita tidak langsung saja, Paman?” sahut Jaladara kemudian.
“Jangan. Akan lebih menguntungkan jika kita memasuki Mataram saat hari terang. Apalagi menurut kabar pendadaran itu masih beberapa hari ke depan dibuka”
“Marilah, kita lanjutkan perjalanan. Mudah-mudahan rencana perjalanan lancar seperti yang kita harapkan,” kata Wirantaka.
Dalam sekejap rombongan pun memacu kudanya, sehingga kesegaran udara di sepanjang jalan seakan terusik oleh kepulan-kepulan asal yang ditimbulkan kaki kuda-kuda mereka yang berlari cukup kencang. Namun tampaknya sekali lagi mereka harus menghentikan laju kuda mereka meskipun belum terlalu jauh mereka beranjak dari perhentian pertama.
Meski masih cukup jauh dari pandangan Ki Resa Demung dan para murid dua perguruan itu. Di jalan yang melewati seperti sebuah gumuk kecil di depan, mereka melihat satu pemandangan yang membuat mereka serentak secara bersamaan menjadi termangu-mangu.
“Ada yang bertarung, Paman?” desis Wirantaka bernada tanya.
Ki Resa Demung seperti tidak mendengar ucapan anak muridnya itu. Pandangan mata orang tua itu demikian tajam memandang ke arah beberapa kelompok orang yang bertarung demikian sengit. Sampai pada saatnya orang tua itu terkejut merasakan ada salah seorang dari rombongannya mendekatinya. Orang itu ternyata Layungpati.
“Paman, apakah tidak sebaiknya aku putar balik pulang, rasanya aku akan semakin merepotkan kalian pada akhirnya.”
“Jangan nglantur, Tole, sekali kita berjalan bersama pantang untuk terpencar,” sergah Ki Resa Demung.
“Tapi, Paman..”
“Sudahlah Tole! Jangan teruskan ucapanmu itu, guru sudah perintahkan kau ikut, maka kau harus ikut. Kecuali kau ingin membangkang perintah Ki Gede.”
Layungpati hanya mampu tertunduk. Tak sepatah kata pun terucap dari mulutnya. Tapi keringat dinginnya mulai terasa menjalar di tengkuknya. Anak itu benar-benar tidak bisa menghadapi kenyataan apa yang terpampang di depan matanya kini. Meski dalam jarak yang masih cukup jauh.
“Apakah Paman mengenal orang-orang yang bertarung itu?” sahut Wirantaka.
“Aku hanya mengenal salah satu kelompok yang bertikai itu dari kesatuan prajurit Mataram,” jawab Ki Resa Demung lirih, “dan juga kelompok yang berpakaian serba merah itu. Tapi bagaimana mereka bisa sampai ke sini?”
“Siapa, Paman?” sergah Tanjung sedikit tidak sabar.
“Jika ditilik dari cara berpakaian sepertinya mereka para pengikut Warok Merak Abang dari Panaraga. Tapi mengapa bisa berkeliaran sampai ke sini?” tukas Ki Resa Demung sedikit heran.
“Kelompok Warok Merak Abang?” desis Jaladara.
“Kau sudah pernah mendengar nama itu, Ngger?” sahut Ki Demung.
“Guru pernah bercerita tentang mereka,” ucap Jaladara. Lalu Ki Resa Demung terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dan sebenarnyalah apa yang dilihat oleh rombongan Ki Resa Demung itu sungguh terasa menjadi sesuatu yang cukup aneh bagi mereka. Yang mana keadaan wilayah Mataram yang terlihat semakin tenteram beberapa tahun ini seperti terusik oleh kejadian yang sungguh bertentangan dengan apa yang mereka kira. Yang mana lima orang berpakaian serba merah itu bertempur dengan cukup garang melawan delapan orang prajurit Mataram yang sedang melakukan perondaan rutin.
Namun sepertinya kelima orang berpakaian serba merah itu terlalu tangguh bagi kelompok prajurit Mataram tersebut. Meski unggul dalam jumlah, prajurit Mataram itu sama sekali tidak mampu berbuat lebih jauh menghadapi kelima orang itu. Bahkan yang terjadi justru pasukan peronda itu semakin terdesak begitu hebat. Darah dari beberapa sayatan senjata lawan terlihat semakin deras mengalir di antara tubuh-tubuh para prajurit itu. Meskipun demikian tak sedikit pun di antara mereka terlihat surut, apa lagi lari meninggalkan arena.
Akan tetapi salah satu di antara orang-orang yang berpakaian serba merah itu tiba-tiba memberikan isyarat pada kawan-kawannya untuk berhenti menyerang. Dia tertawa puas melihat kelompok prajurit Mataram itu semakin lama semakin payah.
Sepertinya orang itu merupakan pimpinan dari kelompok orang berpakaian serba merah tersebut. Raut wajahnya yang terlihat kemerah-merahan tampak begitu pas dengan bentuk tubuhnya yang tinggi besar. Ditambah kumisnya yang demikian tebal, juga sorot matanya yang membara sungguh akan membuat orang bergetar dan jerih untuk berurusan dengan orang ini. Sampai pada akhirnya, disela-sela tertawanya dia berkata, “He.. Coro-coro tidak berguna! Sebegitukah kini Mataram? Ayo, suruh keluar anak ingusan bernama Rangsang itu!”
“Kau telah menghina raja kami!” geram salah satu di antara para prajurit Mataram itu, maka dengan sisa-sisa kekuatannya mereka pun melancarkan serangan meski dalam kepayahan yang teramat sangat.
Akan tetapi belum lagi mereka memulai pertempuran kedua. Satu suara menggetarkan pun tiba-tiba menggema di antara telinga mereka.
“Berhenti!” suara itu tidak lain Ki Resa Demung. Sementara barisan anak muda terlihat berjalan mengikuti langkah orang tua itu dari belakang.
“Apakah aku sedang berhadap-hadapan dengan kelompok dari Warok Merak Abang?” tanya Ki Demung kemudian.
“Siapa kau?” sergah pimpinan orang berpakaian serba merah itu. “Siapa kalian? Berani yak yakan di hadapan kami!” Mata orang itu menjadi melotot mengerikan.
“Bukan siapa-siapa, Ki Sanak,” jawab Ki Resa Demung, “aku dan keponakan-keponakanku hanya kebetulan lewat jalan ini.”
“Lalu kenapa kau masih di sini?” sergah pimpinan orang-orang berpakaian serba merah itu, “cepat kalian minggat! Sebelum kepala kalian lepas di sini!”