PERJALANAN itu sudah menjadi semakin jauh. Malampun menjadi larut. Embun mulai terasa membasahi kulit. Ketika Paksi Pamekas berpaling, yang tampak hanyalah kegelapan. Hitam pekat. Paksi Pamekas tidak tahu kemana harus pergi. Tetapi ia harus pergi meninggalkan rumahnya. Meninggalkan ibunya dan dua orang adiknya. Seorang laki-laki dan seorang perempuan. Masih terngiang perintah ayahnya yang memandangnya dengan mata membara, ”Kau sudah menjadi seorang laki-laki dewasa. Kau tidak boleh hanya berpangku tangan saja dirumah, sementara keluarga ini terancam bencana.”
Paksi Pamekas menarik napas dalam-dalam. Kakinya terantuk batu padas sehingga langkahnya menjadi gontai. Paksi berhenti sejenak. Pepohonan yang tegak membeku disekelilingnya seakan-akan merubunginya. Gemrisik angin di dedaunan bagaikan melontarkan pertanyaan lembut, ”Kau akan pergi ke mana anak muda?”
Paksi kemudian bahkan duduk di atas batu padas di pinggir jalan yang menjadi kian sempit dan rumpil.
Terngiang suara ibunya, ”Kakang Tumenggung. Paksi masih terlalu muda untuk melakukan tugas yang begitu berat.”
“Kau selalu memanjakannya,” bentak ayahnya, ”umurnya sudah menginjak tujuh belas tahun. Apakah ia masih harus tidur dibawah lengan ibunya?”
“Kau sengaja mengusirnya,” ibunya mulai menangis.
“Sudah waktunya ia menunjukkan baktinya kepada orang tuanya.” Ayahnya menjadi semakin keras.
Ibunya menjadi terisak. Tetapi ayahnya tidak menjadi semakin lembut. Bahkan kata-katanya menjadi semakin tajam. ”Aku tidak ingin mempunyai anak yang hanya dapat merengek, merajuk dan bahkan menangis. Ia harus benar-benar menjadi seorang laki-laki. Adiknya pada saatnya juga harus menjadi laki-laki sejati. Sebagaimana anakmu yang bungsu juga harus menjadi perempuan panutan. Aku seorang Tumenggung. Seorang Pandhega dalam tatanan keprajuritan. Apakah anakku harus menjadi anak yang cengeng, sementara ayahnya berada dalam kesulitan?”
Paksi mengusap keningnya yang basah oleh keringat. Ia memang sudah menjadi semakin dewasa. Umurnya sudah menginjak tujuhbelas tahun Tetapi kawan-kawannya, yang sebaya dengan umurnya, masih sempat bermain bengkat. Binten atau bergulat di tepian.
Paksi terkejut ketika ia mendengar ranting yang berderak patah. Seekor burung malam mengepakkan sayapnya dan terbang menyusuri kegelapan. Yang tertinggal adalah suaranya yang melengking, menggores sepinya malam. Terbayang kembali, ibunya menangis memeluknya ketika ia keluar dari pintu rumahnya, pergi tanpa diketahui kemana? Paksi Pamekaspun tidak tahu, apakah yang sebenarnya harus dilakukan. Yang ia ketahui adalah, bahwa ayahnya telah mengeluh karena kedudukannya yang terancam. Diam-diam di istana Pajang telah tersebar desas-desus bahwa cincin kerajaan telah hilang. Sebuah cincin yang dianggap sebagai sipat kandel dari Kanjeng Sultan Hadiwijaya di Pajang, di samping pusaka-pusakanya yang lain. Cincin yang terbuat dari emas dan bermata tiga buah batu akik yang berbeda. Cincin yang dibuat tidak sebagaimana cincin yang lain. Cincin biasanya merupakan em-banan dari satu batu akik saja. Tetapi cincin yang hilang itu adalah cincin yang bermata tiga buah batu akik. Cincin yang disebut Kiai Tunggul.
“Siapa yang dapat menemukan cincin itu akan diangkat menjadi Tumenggung Wreda dan akan diangkat pula menjadi penanggung jawab pengamanan seluruh istana Pajang dan akan berada langsung di bawah perintah Ki Gede Pemanahan.”
Paksi belum pernah melihat cincin itu. Paksi juga tidak tahu apakah sebenarnya yang disebut bencana oleh ayahnya. Bencana yang mengancam keluarganya karena hilangnya cincin itu. “Apakah ayah menjadi cemas bahwa kedudukannya terancam jika ia tidak dapat menemukan cincin itu?” bertanya Paksi di dalam hatinya.
Menurut ayahnya, para Tumenggung juga sudah menyebarkan orang-orangnya untuk mencari cincin itu. Sementara itu ayahnya juga sudah memerintahkan tiga orang yang dianggap abdinya yang setia untuk mencarinya. Tetapi di samping ketiga orang abdinya, maka Paksi juga harus pergi mencari cincin yang belum pernah dilihatnya itu. “Apakah ada juga diantara para Tumenggung yang memerintahkan anaknya pergi sebagaimana ayah?” pertanyaan itu selalu mengganggunya. Tetapi Paksi sadar, bahwa ia memang tidak boleh cengeng. Ia tidak boleh mengeluh apalagi menangis. Tetapi ia harus berbuat sesuatu. Apapun juga. Paksi menarik napas dalam-dalam. Dalam kegelapan Paksi sampat menilai sikap ayahnya kepadanya. Ia memang bukan seorang anak yang disejukkan oleh kasih sayang ayahnya yang keras. Di antara kawan-kawannya, Paksi termasuk anak muda yang kuat. Ketika ia bermain binten dengan anak-anak muda sebayanya, Paksi pernah membuat seorang kawannya tidak dapat berjalan sampai tiga hari. Bergulat di pasir tepian, Paksi pun menjadi anak muda yang disegani. Tetapi sayang, bahwa kesempatan bermain bagi Paksi sangat sempit dibanding dengan kawan kawannya.
Kini Paksi Pamekas harus meninggalkan semuanya itu. Rasa-rasanya segalanya begitu cepat berlalu. Ia merasa masih belum cukup puas berkumpul bersama keluarganya, bermain bersama kawan-kawannya dan sedikit bermanja-manja di rumah yang berhalaman luas dan terawat bersih oleh bekas tangan ibunya.
Burung hantu terdengar berlagu di dalam kegelapan. Suaranya ngelangut membuai malam menjadi semakin terasa sendu. Paksi tidak duduk terlalu lama. Ia kemudian segera bangkit dan meneruskan perjalanan menuju tempat yang tidak diketahinya. Malam pun menjadi semakin malam. Dinginnya terasa menggigit tulang. Sambil berjalan Paksi menyelimuti tubuhnya dengan kain panjangnya. Ia sengaja tidak membawa apapun. Jika pakaiannya kotor, ia dapat mencucinya dan sekaligus menjemurnya di atas bebatuan di sungai, sehingga akan cepat menjadi kering. Jika pakaian itu kemudian rusak dan koyak, maka ia dapat membelinya. Ibunya memberinya bekal uang cukup banyak, serta beberapa buah perhiasan simpanannya. Jika keadaan memaksa, maka ia dapat menjualnya dan mempergunakan uangnya. Paksi melangkah saja menuruti langkah kakinya. Yang dilakukannya adalah sekedar menjauhi Pajang tanpa tujuan, tanpa rencana dan tanpa tahu apa yang akan dilakukan.
Namun akhirnya Paksi itupun menjadi letih. Ketika ia memasuki sebuah padukuhan, maka beberapa orang yang merondapun menghentikannya.
“Siapa kau?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Namaku Paksi Pamekas,” jawabnya.
“Kau akan pergi ke mana atau pergi dari mana?”
Paksi menjadi bingung. Tetapi ia tidak ingin menyatakan apa yang sebenarnya harus dilakukannya. Karena itu maka jawabnya, ”Aku adalah seorang pengembara. Aku mengembara dan satu tempat ke tempat………. agak jauh dari Pajang.”
.Orang tua ibunya itu semasa hidupnya tinggal di sebuah padukuhan yang tenang dan tenteram. Paksi pernah tinggal beberapa lama di rumah. neneknya. Ketika kakeknya meninggal, ia menunggui neneknya sampai beberapa bulan. Namun menjelang setahun, neneknya telah meninggal pula.
“Aku anak Banyuanyar,” jawab Paksi.
Para peronda itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, ”Perjalananmu belum begitu jauh jika kau memang seorang pengembara.”
“Aku baru mulai Ki Sanak,” jawab Paksi. ”Orang tuaku telah tidak ada lagi. Aku tidak mempunyai pilihan lain. Sementara itu, aku berharap bahwa aku akan mendapat pengalaman dari pengembaraanku ini.”
“Apakah kau tahu, di mana kau berada sekarang?” bertanya salah seorang di antara para peronda itu.
“Tidak” jawab Paksi.
“Kau masih berada di sekitar Pajang. Kau sekarang berada di padukuhan Dresanan.”
Paksi menarik napas dalam-dalam. Ia sudah berjalan sepanjang hari. Tetapi orang itu mengatakan bahwa ia masih berada di sekitar Pajang. Tetapi Paksi tidak menjawab selain mengangguk-angguk kecil.
“Apakah kau ingin beristirahat?” bertanya salah seorang peronda itu.
Paksi mengangguk.
“Baiklah,” berkata orang itu, ”marilah, aku antar kau ke banjar, kau dapat tidur di banjar. Besok pagi kau dapat meneruskan pengembaraanmu.”
“Terima kasih, paman” jawab Paksi.
Orang itu meskipun masih tampak muda, tetapi ia tentu bukan anak muda lagi. Wajahnya tampak bersih dan setiap kali giginya tampak di sela-sela bibirnya jika tertawa. Paksi di antar oleh orang itu ke banjar. Diserahkannya Paksi kepada penunggu banjar, yang tinggal di bagian belakang banjar yang tampak bersih dan terawat itu. Penunggu banjar itu ternyata orang yang sangat baik. Ia menerima Paksi dengan senang hati. Bahkan nasi yang masih terdapat digeledeg bambunya dengan sepotong pepes udang dan sambal terasi telah diberikannya pula kepada Paksi.
“Aku tidak mempunyai seorang anakpun sampai isteriku meninggal,” berkata penunggu banjar itu.
Paksi mengangguk kecil.
Sementara orang itu bertanya ”Siapa namamu?”
Paksi memang tidak ingin menyembunyikan namanya. Karena itu, maka ia pun menjawab ”Namaku Paksi, Paman.” Kepada penunggu banjar itu, Paksi menceriterakan bahwa dirinya adalah seorang pengembara sebagaimana dikatakannya kepada para peronda.
“Kenapa hal itu kau lakukan, Ngger. Apakah kau tidak mempunyai sanak kadang lainnya, sehingga kau harus pergi mengembara?”
“Tidak, Paman. Aku sudah tidak mempunyai sanak kadang.”
“Paksi” berkata penunggu banjar itu, ”mumpung kau belum terlalu jauh pergi meninggalkan kampung halamanmu. Apakah kau mau tinggal di sini saja bersamaku?”
Paksi menarik napas dalam-dalam. Katanya, ”Maaf, paman. Sudah bulat tekadku, bahwa aku akan pergi mengembara. Mungkin aku akan mendapatkan pengalaman yang dapat aku pergunakan sebagai bekal hidupku kelak.”
“Tetapi apakah yang kau harapkan dari sebuah pengembaraan? Menempa diri atau kesempatan melihat dinding cakrawala yang tidak akan pernah dapat disentuh? Jika kau tinggal, Paksi, maka kau dapat memperdalam ilmu dan menimba pengetahuan. Bekal yang lebih nyata bagi masa depanmu dari sekedar pengalaman menempuh perjalanan panjang.”
Paksi tidak dapat mengatakan, apa sebenarnya yang sedang dilakukannya itu. Juga ketidaktahuannya tentang arah perjalanan yang tidak diketahuinya. Yang dapat dikatakannya adalah sebuah perjalanan mengembara tanpa tujuan. Penunggu banjar itu tidak dapat berbuat lebih banyak daripada berharap. Tetapi Paksi Pamekas tidak dapat memenuhinya. Malam itu Paksi bermalam di banjar padukuhan.
Di hari pertama dari perjalanannya yang tidak diketahuinya sampai kapan itu, telah ditemuinya orang-orang yang berbaik hati. Tetapi ketika ia berangkat dari rumah, ibunya telah berpesan kepadanya, bahwa ada seribu sifat dan watak manusia di muka bumi ini. Ada yang baik, agak baik, ada yang dengki dan iri dan ada pula yang jahat. Terngiang kembali pesan ibunya ”Paksi. Ada orang yang sikap lahiriahnya sangat baik. Tetapi sebenarnya di hatinya tumbuh bulu serigala. Bahkan menjadi hunian iblis yang paling jahat.” Pesan ibunya itu telah membuat Paksi menjadi berhati-hati. Meskipun demikian, ia tidak mencurigai setiap orang dengan berlebihan. Ketika Paksi kemudian berbaring di pembaringan, di sebuah ruangan yang dibuat di serambi belakang banjar padukuhan Dresanan itu, ia kembali membayangkan masa lampaunya yang memang tidak begitu terang. Kadang-kadang ia tidak mengerti maksud ayahnya yang tiba-tiba saja marah kepadanya. Bahkan kadang-kadang memukulnya. Jika ibunya mencoba menjelaskan persoalannya, maka ayahnya itupun segera marah pula kepada ibunya.
Tetapi ibunya selalu berkata, ”Ayahmu seorang prajurit Paksi. Ia terbiasa bersikap keras. Karena itu, di rumah pun ia bersikap keras pula.”
Meskipun demikian, ada juga segi yang baik dari sifat keras ayahnya itu. Bersama beberapa orang anak Tumenggung, Rangga dan perwira lainnya, ia berguru kepada seorang bekas prajurit yang memiliki ilmu yang tinggi. Ternyata Paksi Pamekas merupakan seorang murid yang sangat baik. Ia terhitung satu di antara beberapa orang murid yang terbaik. Anehnya, ayahnya tidak pernah mengakui kemampuannya itu. Setiap kali ayahnya menuntut agar ia berbuat lebih baik dan lebih baik. Namun ternyata Paksi dapat memenuhinya. Ia memang semakin lama menjadi semakin baik dan semakin menarik hati gurunya. Bahkan ketika gurunya mengetahui latar belakang kehidupannya serta hubungannya dengan ayahnya yang kurang manis, maka perhatian gurunya menjadi semakin melimpah.
“Kau akan menjadi anak terbaik yang pernah aku kenal” berkata gurunya. Paksi memang tidak mengecewakan gurunya. Tetapi kemampuannya itu telah menjeratnya, untuk menjalankan tugas yang sangat berat.
“Kau sudah berumur tujuhbelas tahun.” Terngiang kata-kata ayahnya.
“Tujuh belas. Tujuh belas. Ya, aku memang sudah berumur tujuh belas tahun” berkata Paksi di dalam hatinya. ”Tetapi apakah kawan-kawanku yang seumur tujuh belas tahun juga harus menjalani tugas seperti ini?” Paksi menarik napas dalam-dalam, ia pun kemudian menghibur dirinya sendiri. ”Ternyata aku dapat membanggakan diriku seandainya aku adalah satu-satunya anak muda yang berumur tujuh belas tahun yang bertugas menjalani kewajiban seperti ini.” Namun akhirnya Paksipun tertidur. Tetapi tidak terlalu lama, karena sisa malam memang tidak cukup panjang lagi.
Pagi-pagi sekali Paksi telah bangun sebagaimana kebiasaannya. Tetapi di banjar itu ia tidak dapat langsung melakukan latihan-latihan yang berat seperti yang dilakukan di rumahnya. Atau pergi ke sungai dan bergulat dengan beberapa orang kawannya untuk melengkapi latihan-latihan ketahanan tubuhnya. Atau binten sehingga kakinya sering menjadi bengkak. Atau bengkat, meskipun permainan itu dilakukan dengan kakinya, tetapi permainan itu mampu meningkatkan kemampuan bidiknya. Tetapi pagi itu Paksi sudah berada di sumur menimba air untuk mengisi pakiwan, sebelum Paksi mandi. Tetapi demikian ia selesai mandi, maka pakiwan itu sudah diisinya kembali hingga penuh.
“Anak itu rajin sekali,” berkata penunggu banjar itu di dalam hatinya. Tetapi seperti para peronda yang digardu, bahkan yang mengantarnya ke banjar, tidak seorang pun yang menduga, bahwa anak itu adalah anak seorang Tumenggung. Ketika kemudian Paksi minta diri untuk meneruskan perjalanannya, maka penunggu banjar itu telah menyediakan makan pagi baginya. Paksi sempat menilai sikap penunggu banjar itu. Jika saja ia mempunyai anak, alangkah berbahagianya anak itu. Ia akan mempunyai seorang ayah yang baik. Ketika matahari mulai tampak di langit, Paksi sudah meninggalkan banjar itu. Setelah mengucapkan terima kasih, maka Paksi pun melangkah meninggalkan regol banjar yang memberikan kesan betapa bersahabatnya orang-orang asing yang memerlukan bantuan mereka.
Paksi yang melangkah di hangatnya sinar matahari pagi itu merasakan tubuhnya menjadi segar. Mandi air dingin, makan pagi serta minuman hangat, matahari dan langit cerah, mengantar perjalanan Paksi selanjutnya. Tetapi hari itu rasa-rasanya menjadi kosong tanpa arti selain satu perjalanan mengulur jarak. Ia memang menjadi semakin jauh dari Pajang. Tetapi untuk apa? Paksi Pamekas menggelengkan kepalanya. Di luar sadarnya ia bergumam, ”Aku tidak tahu.”
Tetapi Paksi berjalan terus. Menjelang sore hari, Paksi sempat singgah di sebuah kedai kecil di sudut sebuah padukuhan. Meskipun jenis makan dan minuman yang ada tidak sesuai dengan seleranya, tetapi Paksi tidak menghiraukannya lagi. Ia sadar, bahwa didalam pengembaraannya, ia tidak dapat memilih. Makan, minum, tempat untuk tidur dan masih banyak masalah-masalah lain yang tidak sesuai dengan keinginan dan pilihannya, tetapi harus diterima apa adanya. Beberapa saat lamanya, Paksi beristirahat sambil meneguk minumannya. Beberapa orang yang duduk di-kedai itu sudah berganti dengan orang-orang baru. Setelah membayar harga makanan dan minumannya, maka Paksipun kemudian telah melanjutkan perjalanannya.
Menjelang malam, Paksi memasuki sebuah padukuhan. Lampu-lampu minyak sudah mulai menyala. Di beberapa regol halaman ada yang telah memasang oncor, menerangi jalan-jalan padukuhan. Tetapi padukuhan itu tampak sepi. Pintu-pintu telah tertutup rapat. Bahkan pintu-pintu regolpun telah tertutup. Ketika Paksi lewat depan gardu di simpang ampat jalan padukuhan, ia tidak melihat orang berada di dalamnya. .
“Suasananya berbeda dengan suasana di padukuhan Dresana.”berkata Paksi di dalam hatinya. Justru karena itu, maka Paksi tidak ingin bermalam di banjar padukuhan itu. Apalagi ketika ia berjalan di jalan induk padukuhan itu dan lewat di depan banjar, banjar padukuhan itu tampak sepi. Bahkan pintu regolnya-pun tertutup pula. Paksi berjalan terus. Ia tidak akan bermalam di padukuhan itu. Tetapi demikian ia keluar dari padukuhan itu, maka Paksi pun bertanya, ”Aku akan bermalam di mana?”
Namun akhirnya Paksi tidak peduli lagi. Apapun yang akan terjadi, biarlah terjadi. Dimana ia berhenti dan meletakkan tubuhnya, di situ ia akan berhenti. Malam sama sekali tidak menakutkan lagi baginya. Jika ketika ia berada dirumah, ia sering mendengar ceritera tentang hantu, yang sering berkeliaran dimalam hari, maka pada malam itu, ia sama sekali tidak menghiraukannya lagi. “Jika hantu-hantu itu akan datang, biarlah mereka datang” berkata Paksi di dalam hatinya. Namun akhirnya Paksi ingin juga berhenti berjalan. Karena itu, maka ketika ia melihat sebuah gubug di tengah-tengah bulak sawah, maka iapun tertarik untuk mendekatinya. Paksi pun kemudian meniti pematang, mendekati gubug itu. Ternyata gubug itu kosong. Pemilik gubug itu tidak berada di sawahnya di malam hari. Sambil menarik napas panjang, Paksi naik tangga pendek masuk ke dalam gubug itu. Paksi merasa beruntung bahwa ia menemukan sebuah gubug yang dapat dipergunakannya untuk bermalam. Karena itu, ia langsung membaringkan dirinya di gubug yang didasari dengan anyaman bambu itu. Meskipun Paksi merasa letih, tetapi Paksi tidak segera dapat tidur. Nyamuk yang ganas telah merubunginya, menggigit sela-sela jari kakinya dan berterbangan di sekitar telinganya. Karena itu, maka Paksi terpaksa menggelar kain panjangnya untuk menyelimuti tubuhnya dan bahkan telinganya. Sambil sekali-sekali menggaruk kakinya, maka kembali Paksi mengenang saat-saat ia akan berangkat dari Pajang untuk melakukan pengembaraan. Ketika ia minta diri kepada gurunya, maka gurunya menjadi terkejut sekali. Hampir tidak percaya gurunya bertanya, ”Jadi kau harus pergi untuk melakukan sesuatu yang kau tidak mengerti sama sekali?”
“Ya, Guru. Tetapi ayah mengatakan bahwa yang aku lakukan adalah tugas rahasia. Aku mohon guru melindungi rahasia ini. Jika ayah tahu aku mengatakannya kepada guru, mungkin ayah akan marah kepadaku. Tetapi aku tidak dapat merahasiakannya kepada Guru” berkata Paksi Pamekas.
Gurunya mengangguk-angguk. Katanya, ”Terima kasih atas kepercayaanmu Paksi. Ada dua hal yang membuat aku menyesali kepergianmu. Kau masih sangat muda,sehingga tugas itu tentu akan sangat berat bagimu. Bahkan seakan-akan tidak masuk akal bahwa kau harus dilibatkan ke dalamnya. Sedangkan yang kedua, kau adalah muridku yang terbaik. Aku berharap bahwa kau kelak akan dapat menggantikan kedudukanku. Bukankah aku menjadi semakin tua dan rapuh? Wadagku tidak akan dapat mendukung ilmuku untuk seterusnya. Karena itu, aku harus mempersiapkan seseorang yang akan dapat menggantikan aku.”
“Aku mohon guru berdoa agar aku dapat kembali dengan selamat serta dapat membantu guru di perguruan ini.”
Gurunya mengangguk kecil. Dalam saat terakhir, gurunya telah memberikan petunjuk dan pematangan ilmu sejauh dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. “Aku tidak dapat memberikan lebih dari itu, Paksi. Jika dipaksakan juga, maka justru wadagmu yang akan mengalami kesulitan. Tetapi aku berharap bahwa selama dalam perjalanan, kau dapat membuka dan mengembangkan ilmumu sampai tingkat yang tinggi.” berkata gurunya dengan nada yang dalam.
Paksi menarik napas dalam-dalam. Ia telah terlempar kembali ke dalam kenyataannya. Berbaring di sebuah gubug kecil berselimut kain panjangnya. Tetapi Paksi tidak dapat segera tidur. Ketika ia memiringkan tubuhnya menghadap ke jalan beberapa puluh langkah dari gubug itu, Paksi terkejut. Ia melihat didalam keremangan malam sebuah keranda yang seperti terbang di atas jalan itu. Dengan serta-merta ia bangkit dan duduk sambil mengusap matanya. Keranda yang diselimuti kain putih itu masih meluncur di atas jalan yang telah dilewatinya sebelum Paksi turun dan meniti pematang mencapai gubug itu. Bulu tengkuk Paksi memang menjadi tergetar. Ia pernah mendengar dongeng tentang keranda yang melayang di malam hari, sebagai pertanda bahwa akan datang wabah penyakit yang berbahaya. Tetapi tiba-tiba timbul pertanyaan di hati Paksi ”Jika keranda itu dapat terbang atau berjalan sendiri, kenapa harus lewat di atas jalan. Bukankah keranda itu dapat meluncur di atas pematang, parit atau bahkan sungai dan bukit-bukit kecil. Kepada siapa pula hantu keranda itu metampakkan diri di tempat yang jauh dari padukuhan itu? Kepada dirinya? Jika benar, kenapa keranda itu tidak mendekatinya?” Paksi Pamekas yang sudah terlempar kedalam satu keadaan yang tidak diinginkannya itu telah bangkit. Keinginannya untuk mengetahui hantu keranda yang terbang itu telah mendesaknya untuk berbuat sesuatu.
Tiba-tiba Paksi turun. Dipakainya kain panjangnya sekenanya. Kemudian meloncat ke atas pematang. Dengan hati-hati Paksi mendekati jalan tempat keranda itu lewat. Dengan hati-hati pula ia mengikutinya dan berusaha mendekat dari arah belakang. Namun jantung Paksi menjadi berdebar-debar ketika kemudian ia melihat bayang-bayang yang bergerak-gerak. Ternyata keranda itu tidak terbang atau meluncur sendiri. Paksi pun kemudian melihat beberapa orang berpakaian serba hitam memanggul keranda itu. Sementara beberapa orang mengikutinya. Paksi menarik napas dalam-dalam. Tetapi Paksi tidak melepaskannya. Ia masih saja mengikutinya beberapa lama. Keranda itu justru meluncur mendekati sebuah padukuhan. Kemudian lewat jalan yang lebih sempit meluncur sejajar dengan dinding padukuhan itu. Paksi masih saja mengikutinya ketika keranda itu meluncur melewati sudut padukuhan dan kemudian kembali menjauh menuju k esebuah gumuk yang seakan-akan sebuah pulau kecil ditengah-tengah lautan tanaman padi di-sawah. Ternyata bukit kecil itu adalah sebuah kuburan. Paksi menjadi berdebar-debar melihat keranda itu seakan-akan lenyap dari penglihatannya. Namun kemudian Paksi itu mengetahui bahwa orang-orang yang membawa keranda itu dengan cepat telah menyelimuti keranda itu dengan kain hitam.
Paksi menarik napas dalam-dalam. Keinginannya untuk mengetahui tentang keranda itu pun menjadi semakin mendesaknya sehingga dengan demikian, maka Paksi pun telah mendekati dan masuk kedalam kuburan itu pula. Dengan landasan ilmu yang telah dimilikinya, maka Paksi berusaha untuk menjadi semakin dekat. Batu-batu nisan, gerumbul-gerumbul perdu dan pepohonan yang tumbuh di atas bukit kecil itu, memberi kesempatan kepada Paksi untuk menjadi lebih dekat lagi. Paksi terkejut ketika ia melihat apa yang terdapat didalam keranda itu. Ketika keranda itu dibuka, maka yang ada didalamnya adalah beberapa jenis barang-barang yang tampaknya berharga.
Paksi sempat mendengar orang-orang itu tertawa. Mereka membongkar barang-barang yang terdapat di dalam keranda itu sambil berbangga akan keberhasilan.
“Jangan terlalu sering mempergunakan cara ini untuk membawa barang-barang rampokan itu,” berkata salah seorang di antara mereka.
“Tidak ada cara lain yang lebih baik. Aku ragu-ragu untuk membawa barang-barang ini dengan pedati atau dengan mempergunakan kuda beban. Cara ini tampaknya lebih aman,” sahut yang lain.
Tetapi orang yang pertama berkata pula, ”Jika cara ini terlalu sering kita pergunakan, maka orang-orang akan menghubungkan setiap terjadi perampokan, tentu ada keranda yang terbang dimalam hari.”
“Ya. Aku setuju,” desis yang lain
”Tetapi sampai saat ini, orang-orang padukuhan itu telah menjadi ketakutan mendengar ceritera tentang keranda yang berjalan di malam hari.”
“Ceritera itu telah kita lengkapi dengan ceritera tentang ting hijau yang juga terbang di malam hari,” berkata yang lain lagi. ”Sehingga untuk beberapa lama kita akan dapat mempergunakan cara ini dengan aman.”
Yang terdengar adalah suara tertawa beberapa orang yang tertahan. Seorang di antara mereka berkata ”Sudahlah. Jangan terlalu berbangga atas keberhasilan ini. Kita harus segera mengubur barang-barang ini untuk beberapa lama, sebelum kita kemudian menjualnya. Di saat orang sudah melupakan peristiwa perampokan ini, kita akan mengambilnya dan menjualnya.”
“Sebenarnya kita tidak perlu bersusah payah. Bukankah ada orang-orang yang bersedia menerima barang-barang hasil rampokan ini?”
“Tetapi harganya sangat murah,” jawab yang lain.
Tetapi dalam pada itu, orang yang agaknya memimpin sekelompok perampok itu berkata, ”Marilah. Kita simpan barang-barang itu di dekat barang-barang yang sudah terdahulu kita simpan. Kita akan memperlihatkan barang barang itu kepada kakang Kebo Lorog.”
“Kakang Kebo Lorog?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Ya. Kakang Kebo Lorog akan datang ke daerah ini.”
“Apakah ada kecurigaan kakang Kebo Lorog terhadap kita?”
”Tidak. Tetapi sudah agak lama kakang Kebo Lorog tidak melihat-lihat daerah ini. Besok bersamaan dengan saat padukuhan sebelah merti desa, kakang akan berada di sini. Kita dapat membawanya ke tempat ini dan memperlihatkan apa yang kita punyai kepadanya.”
“Mudah-mudahan kakang Kebo Lorog puas dengan tugas-tugas kita di sini.”
“Sekarang, kita akan menyimpan barang-barang kita.”
Paksi memperhatikan semua yang terjadi serta mendengarkan pembicaraan itu dengan jantung yang berdebar-debar. Paksi sendiri heran, bahwa batu-batu nisan,gerumbul-gerumbul liar dan satu dua pohon raksasa yang tumbuh di bukit itu tidak membuat bulu-bulunya meremang. Sejenak kemudian, orang-orang yang berpakaian serba hitam itupun telah menggali sebuah lubang di pinggir kuburan itu,di sebelah batu hitam yang besar, yang sulit untuk digeser. Agaknya mereka menjadikan batu itu sebagai pertanda, dimana mereka menyimpan barang-barang hasil kejahatan mereka. Beberapa saat lamanya, Paksi harus menunggu. Di kuburan itu nyamuknya ternyata lebih banyak lagi daripada di gubug tempat ia membaringkan tubuhnya. Tetapi Paksi tidak dapat menyelimuti tubuhnya dengan kain panjangnya.
Demikian orang-orang itu selesai menguburkan barang-barang hasil rampokannya yang dibungkus dengan kain, maka mereka telah berganti pakaian. Mereka tidak lagi mengenakan pakaian-pakaian hitam. Di tempatkannya keranda itu di sebuah cungkup yang besar, yang agaknya memang tempat untuk menyimpan keranda.
Paksi hampir tidak tahan menunggu orang-orang itu pergi. Tetapi ia tidak bergerak di tempatnya selagi orang-orang itu masih berkeliaran di kuburan itu. Baru kemudian, setelah kuburan itu menjadi sepi, Paksipun keluar dari persembunyiannya.
“Ternyata mereka adalah orang-orang yang cerdas. Mereka memanfaatkan ceritera-ceritera tentang hantu dan jadi-jadian untuk melakukan kejahatan” berkata Paksi.
Malam itu semalam suntuk Paksi tidak tidur. Dari kuburan Paksi telah menyusuri parit. Ketika ia mendengar suara air gemericik, maka Paksipun mengetahui, bahwa ia berada tidak jauh dari sebuah sungai. Menjelang fajar Paksi sudah berendam di air sungai untuk membersihkan tubuhnya yang terasa gatal-gatal. Tetapi Paksi masih belum dapat mencuci pakaiannya, karena matahari masih agak lama terbit. Setelah mandi, maka Paksi untuk beberapa lama duduk di tepian. Justru setelah ia berendam, maka ia tidak merasakan dinginnya udara pagi. Langit yang cerah menjadi semakin terang. Cahaya matahari mulai menusuk lembaran-lembaran awan tipis yang menggantung di langit.
Ketika perasaan mengantuk mulai menyentuhnya, Paksi Pamekas pun segera bangkit dan berjalan di atas pasir tepian. Sambil berjalan selangkah-selangkah, Paksi sempat merenungi peristiwa yang dilihatnya semalam. Agaknya karena hantu keranda itulah, maka padukuhan-padukuhan menjadi sepi setelah gelap.
“Tetapi tentu ada orang yang pernah melihat keranda itu” berkata Paksi di dalam hatinya. ”jika tidak, mereka tentu tidak akan dicengkam ketakutan.”
Paksi berniat untuk menjelaskan kepada orang-orang padukuhan, bahwa hantu keranda itu hanyalah akal orang-orang jahat agar mereka dapat leluasa bergerak di malam hari. “Tetapi kepada siapa aku harus mengatakannya?” bertanya Paksi Pamekas kepada diri sendiri.
Paksipun kemudian sudah memanjat tanggul dan melangkah menuju ke padukuhan terdekat. Tetapi hari masih terlalu pagi. Karena itu, maka Paksipun tidak tergesa-gesa menemui seseorang. Bahkan Paksi sempat mengikuti beberapa orang perempuan yang berjalan beriringan sambil menggendong bakul. Beberapa orang membawa bakul berisi hasil kebun. Sedangkan yang lain membawa makanan dan bahkan seorang di antara mereka membawa nasi tumpang digendongannya.“Mereka tentu akan pergi ke pasar.” berkata Paksi di dalam hatinya.
Ternyata iring-iringan itu telah menarik perhatiannya. Ketika ia melihat sayuran rebus yang digelar di atas tambir ditutup dengan daun pisang, maka tiba-tiba saja ia merasa lapar. Apalagi semalaman Paksi hampir tidak tidur sama sekali. Karena itu, maka Paksi pun pergi ke pasar. Di pasar Paksi telah membeli nasi tumpang yang jarang sekali ditemuinya di rumahnya. Ia tidak memikirkan pula dimana ia duduk dan makan nasi tumpang yang masih hangat itu. Sekali-sekali Paksi berdesis karena bubuk kedelenya yang terlalu pedas serasa menyengat lidahnya. Namun dalam pada itu, sambil makan nasi tumpang dan duduk di belakang penjualnya di dekat pintu gerbang pasar, Paksi mendengar beberapa orang yang berceritera tentang keranda yang berjalan sendiri di malam hari.
“Suamiku melihat sendiri malam tadi,” berkata seorang penjual kelapa dengan mantap, ”bersama tiga orang, suamiku memang berusaha untuk dapat melihat langsung keranda yang berjalan sendiri itu. alam tadi, malam Jumat Keliwon, bersama tiga orang, suamiku sengaja menunggu di sudut padukuhan. Ternyata sedikit lewat tengah malam, dari kejauhan mereka benar-benar melihat keranda itu berjalan sendiri, seolah-olah terbang meluncur dengan cepat. Suamiku dan ketiga kawannya menjadi sangat ketakutan. Beberapa puluh langkah dari padukuhan itu, keranda itu berhenti sejenak. Seakan-akan berpaling memandangi keempat orang yang telah mengintip itu. Seorang kawan suamiku hampir menjadi pingsan. Untunglah keranda itu berjalan lagi menuju ke kuburan di bulak itu. Sebelum masuk pintu gerbang kuburan, keranda itu tiba-tiba telah lenyap.”
“Apa yang dilakukan suamimu kemudian?” bertanya seorang penjual sirih.
“Tidak apa-apa. Sebelumnya keempat orang itu bertekad untuk melihat dari dekat jika benar-benar ada keranda yang terbang di malam hari. Tetapi ketika mereka benar-benar melihat langsung, maka jantung mereka menjadi kuncup sebesar biji mentimun.”
“Siapa yang tidak menjadi ketakutan melihat keranda terbang itu?” desis penjual nasi tumpang itu.