Padepokan Witasem
Jejak di Balik Kabut

Jejak di Balik Kabut 5 (Jilid 2)

ANAK-ANAK berlari-larian di sekitar tratag. Beberapa orang sudah mulai berjualan makanan dan minuman untuk anak-anak. Tetapi mereka tidak membawa dagangan sebanyak biasanya jika ada keramaian, karena bagaimanapun juga mereka masih selalu dibayangi oleh ketakutan. Ceritera keranda yang dapat berjalan sendiri itu tidak dapat mereka lupakan begitu saja. Ketika senja turun, maka beberapa buah oncor mulai dipasang. Tratag itupun menjadi terang benderang. Tetapi cahaya oncor itu hanya dapat menggapai sebatas pematang sekotak sawah. Selebihnya bulak itu tetap gelap. Meskipun Ki Jagabaya dan Ki Bekel sudah mengatakan kepada seisi padukuhan bahwa keranda hantu itu tidak lebih dari sebuah dongeng, namun pengaruhnya masih tetap terasa.Yang kemudian datang ke tempat keramaian itu tidak sebanyak keramaian yang sebelumnya, pernah diadakan. Tayub bukan saja sekedar hiburan, tetapi merupakan bagian dari upacara merti desa. Merupakan bagian dari ucapan terima kasih atas keberhasilan panen dimusim tanam yang lewat, serta mohon keberhasilan yang lebih besar lagi dimusim tanam mendatang.

Ketika kemudian malam menjadi semakin dalam, maka anak-anak pun mulai menjadi letih. Sebagian besar dari mereka telah diajak pulang setelah membeli gelali atau kacang rebus dan berondong. Tetapi sebagian yang lain tetap saja tidak mau pulang, karena mereka ingin melihat tari tayub. Remaja yang sudah mendekati masa dewasanya, ternyata ingin melihat para penari tayub itu menari bersama beberapa orang laki-laki. Jika malam bertambah malam, maka beberapa orang laki-laki mulai menjadi mabuk karena mereka terlalu banyak minum tuak.  Dengan demikian tayubnya itupun menjadi semakin panas. Tetapi keramaian itu memang tidak seriuh biasanya. Laki-laki yang mengerumuni tratag dan berebut untuk dapat ikut menari tidak sebanyak keramaian tahun sebelumnya. Perempuan-perempuanpun masih harus berpikir tentang keranda yang berjalan sendiri itu. Meskipun demikian, sekelompok perempuan, laki-laki dan remaja masih cukup banyak yang ikut meramaikan itu. Bahkan orang-orang dari padukuhan yang lain pun telah berdatangan pula. Meskipun di hari-hari yang lain mereka dibayangi oleh ketakutan, tetapi mereka merasa lebih tenang, karena mereka berada di antara banyak orang.

“Hantu tidak akan datang ke tempat keramaian,” berkata orang-orang yang datang dari padukuhan lain ke keramaian itu. Selama mereka bergembira, mereka tidak mau memikirkan kemungkinan yang dapat terjadi nanti jika mereka pulang. Bahkan beberapa orang anak muda telah siap untuk tidur di tempat keramaian itu diadakan. Namun sedikit lewat tengah malam, di kejauhan terdengar suara burung kedasih yang ngelangut. Orang-orang yang masih sibuk dengan tayub, tidak segera mendengar suara burung kedasih itu. Suara gamelan dengan gending-gending yang panas menggelitik telah menyumbat telinga mereka. Tetapi mereka yang kelelahan, yang duduk-duduk di pematang sawah sambil menghirup wedang jae yang hangat untuk mengatasi dinginnya malam, mendengar suara burung kedasih yang bersahut-sahutan di kejauhan.

“Suara burung itu “desis seorang anak muda yang datang dari padukuhan sebelah sambil mengunyah serabi.

loading...

“Kau mulai ketakutan?”bertanya kawannya.

Tetapi anak muda itu tertawa. Katanya, “Aku hanya mengatakan tentang suara burung itu. Apakah begini banyak kawannya kita dapat menjadi ketakutan?“

Kawannya juga tertawa.

Namun suara burung kedasih itu tidak segera berhenti. Masih saja terdengar berkepanjangan. Jika terdengar angin gemerisik menggoyang daun pohon turi yang tumbuh di pematang, maka suara itu bagaikan hanyut terbang mengambang di udara. Anak muda yang duduk di pematang itu mulai tergelitik oleh suara itu. Mereka yang mentertawakannya, mulai menjadi gelisah pula.

Tetapi seorang anak muda yang bertubuh agak gemuk justru bangkit berdiri sambil tertawa. “Siapa mulai menjadi ketakutan?“

Tidak seorangpun yang menjawab. Namun anak muda yang agak gemuk itu berkata, “Aku akan menari lagi. Yang terdengar tentu hanya suara gamelan. Suara burung malam itu tidak akan terdengar lagi.” Tetapi sebelum anak muda itu beranjak dari tempatnya, anak ini terhenti. Yang terdengar bukan saja suara burung kedasih. Tetapi di kejauhan juga terdengar suara burung bence. Anak muda yang agak gemuk itu cepat-cepat mendekati tratag.  Suara gamelan memang mengatasi suara burung kedasih dan burung bence itu.

Sejenak kemudian, seorang laki-laki berkumis lebat yang menari bersama seorang penari tayub yang tinggi semampai mulai goyah oleh tuak yang membuatnya agak mabuk. Tetapi ia mulai menjadi kasar. Tangannya yang ditumbuhi bulu-bulu lebat mulai menarik-narik penari tayub itu.  Tetapi ketika penari itu mendorongnya, maka ia pun terhuyung-huyung. Sulit baginya untuk mempertahankan keseimbangannya. Ketika tertatih-tatih ia bangkit, ternyata anak muda yang agak gemuk itu telah menarik tangan penari itu ke sisi yang lain. Suara gamelan yang panas, mendorong mereka untuk menarikan tarian yang panas pula. Orang berkumis tebal dalam setengah sadar, menjadi marah. Sambil mengumpat-umpat, ia melangkah gontai mencari penari pasangannya yang telah hilang itu. Tetapi matanya sudah menjadi kabur. Ia tidak dapat lagi membedakan penari yang satu dengan yang lain.

Namun dalam pada itu, orang-orang yang duduk agak jauh dari tratag itu semakin gelisah. Suara burung kedasih yang ngelangut itu masih terdengar berbaur dengan suara burung bence yang terdengar dari arah yang berpindah-pindah.

Tiba-tiba saja bulu-bulu tengkuk mereka meremang ketika terdengar angin yang tertiup lebih kencang dari arah Selatan. Malam terasa menjadi semakin dingin. Titik-titik embun terasa membasahi tubuh. Ketika seekor kelelawar yang besar memburu mangsanya yang terbang merendah, seorang anak muda yang hampir saja tersambar, meloncat bediri. Beberapa orang kawannya terkejut. Seorang di antara mereka bertanya, “Ada apa?”

“Kelelawar itu besar sekali. Apakah itu kelelawar sesungguhnya atau bukan.”

“Ah, kau mulai mengigau. Lihat di wajah langit. Ada beberapa ratus kelelawar yang berterbangan. Nanti, jika fajar mulai menyingsing, kelelawar itu akan kembali ke sarangnya.”

Anak muda yang berdiri itu memandang ke langit. Dilihatnya kelelawar berterbangan. Angin basah yang bertiup membuat seluruh wajah kulitnya meremang. Namun tiba-tiba saja anak muda itu melihat sesuatu. Tidak begitu jelas. Di kejauhan ia melihat sesuatu yang bergerak. Tiba-tiba saja wajahnya menjadi pucat. Tubuhnya gemetar. Dengan gagap ia mencoba untuk menjelaskan sesuatu kepada kawan-kawannya. Tetapi ternyata apa yang meloncat dari mulutnya tidak begitu jelas terdengar.

“Apa? Ada apa? “kawannya bertanya.

Mata anak muda itu bagaikan akan meloncat dari pelupuknya. Namun akhirnya ia dapat menunjuk sambil berkata tanpa arti “Uh, itu, uh, uh.” Beberapa kawannya serentak berpaling. Darah mereka tersirap sampai ke kepala. Mereka melihat sesuatu yang bergerak. Putih. Anak-anak muda itu menjadi pucat. Mereka benui benar telah melihat keranda yang seperti terbang  dikejauhan. Tidak begitu cepat. Beberapa orang yang ketakutan itu mulai bergeser serentak mendekati tratag. Bahkan satu dua orang menunjuk ke arah keranda yang berjalan sendiri itu dengan mengucapkan kata-kata yang tidak jelas. Sikap itu ternyata menarik perhatian. Beberapa orang yang ada di sekitar tratag itu pun mulai memperhatikan ke kejauhan, menembus keremangan malam.

Sebenarnyalah, dalam kegelapan, tampak keranda yang terbang melintas. Tidak mengarah ke tempat keramaian. Namun ketakutan tiba-tiba telah mencengkam mereka yang berada di sekitar tempat keramaian itu. Keadaan menjadi sulit dikendalikan. Orang-orang mulai berlari-lari menuju ke padukuhan. Bahkan para penari dan para penabuh gamelan pun berlari-larian pula meskipun mereka belum melihat keranda yang berjalan sendiri itu, karena cahaya lampu yang terang benderang di sekitar tratag itu membuat mata mereka menjadi silau.

Ki Bekel sudah menduga, bahwa hal seperti itu akan terjadi. Tetapi Ki Bekel memang sudah bersiap. Karena itu, demikian tempat itu ditinggalkan oleh orang-orang yang sedang merayakan keramaian itu, maka beberapa orang anak muda yang memang sudah dipersiapkan segera bersiap mengamankan segala macam barang yang tertinggal di tempat itu.  Gamelan dan juga sisa dagangan dari orang-orang yang berjualan di sekitar tempat keramaian itu. Ki Bekel yang ada di antara mereka memperhatikan keranda yang berjalan itu dari kegelapan. Sebagaimana beberapa orang anak muda, maka Ki Bekel pun telah memakai pakaian serba hitam sehingga tidak mudah terlihat dari tempat yang agak jauh. Tetapi keranda itu berjalan terus menuju ke kuburan.

Dalam pada itu, Ki Pituhu dan Kebo Lorog bersama dua orang pengikutnya, menyaksikan pertunjukan itu dari kejauhan. Mereka melihat bagaimana orang-orang padukuhan itu berlari-larian sebagaimana mereka duga sebelumnya. Ki Pituhu dan kedua orang pengikutnya tertawa tertahan menyaksikan tontonan itu. Sementara Kebo Lorog-pun tersenyum pula. Bagi Kebo Lorog tontonan itu memang merupakan tontonan yang lucu. Sekian banyak orang di sekitar tratag itu menjadi ketakutan melihat keranda yang mereka percaya dapat terbang sendiri.

“Pengecut,” desis Kebo Lorog. Lalu katanya, “Rasa-rasanya aku ingin membunuh pengecut-pengecut yang hanya memenuhi jagad tanpa arti seperti orang-orang padukuhan itu. Aku kira membantai mereka yang sedang ketakutan itu akan dapat mendapat kepuasan tersendiri.”

Wajah Ki Pituhu tiba-tiba menjadi tegang. Namun Kebo Lorog itu berkata, “Jangan cemas. Aku tidak ingin melakukannya sekarang. Yang ingin aku lakukan sekarang adalah melihat benda-benda yang telah kalian kumpulkan itu.“

“Baiklah kakang,” sahut Ki Pituhu, “kita akan segera melihatnya.  Yang terjadi di tempat keramaian itu hanyalah sekedar tontonan yang barangkali menarik bagi Kakang Kebo Lorog.”

“Aku senang melihat tontonan itu,” jawab Kebo Lorog.

Demikianlah, maka Ki Pituhu itu telah membawa Kebo Lorog ke kuburan. Mereka melintasi pematang yang tidak terlalu dekat dengan tempat keramaian yang masih tampak terang benderang. Tetapi sudah tidak ada seorang pun yang tampak di bawah cahaya lampu dan oncor. Ketika Ki Pituhu dan Kebo Lorog bersama dua orang pengikutnya pergi ke kuburan, maka keranda itu sudah berada di kuburan. Tetapi saat itu keranda itu memang kosong, karena para pengikut Kebo Lorog tidak sedang memindahkan barang-barang simpanan mereka ke kuburan itu. Dalam pada itu, beberapa orang yang sejak malam turun telah ditugaskan di kuburan untuk menggali beberapa lubang tempat menyimpan barang-barang yang berhasil mereka kumpulkan itu telah selesai. Di dalam lubang itu terdapat beberapa peti barang-barang yang berharga, yang telah mereka rampok dari orang-orang kaya yang tinggal di beberapa kademangan, justru bukan kademangan mereka sendiri.

Ketika Kebo Lorog sampai ke tempat itu bersama Ki Pituhu, maka orang orang yang mengerumuni lubang tempat barang-barang itu disimpan telah menyibak. Malam di kuburan itu rasa-rasanya menjadi terlalu gelap. Tetapi ketajaman mata Kebo Lorog dapat melihat, apa yang terdapat di dalam peti-peti di lubang-lubang penyimpanan itu. Apalagi ketika kemudian ia meloncat turun dan meraba barang-barang itu. Maka sambil mengangguk-angguk Kebo Lorog itu berkata, “Kalian memang pantas mendapat pujian.”

“Terima kasih, Kakang,” sahut Ki Pituhu. Lalu katanya pula, “Kami sudah menyisihkan sesuatu yang terbaik buat kakang.”

“Yang mana?” bertanya Kebo Iorog.

“Di peti yang kecil itu “jawab Ki Pituhu.

Kebo Lorog sudah membuka dan melihat isi peti itu. Tetapi ketika Ki Pituhu mengatakan bahwa peti itu diperuntukkan baginya, maka Kebo Lorog ingin melihatnya sekali lagi. Kebo Lorog mengangguk-angguk ketika ia melihat sebilah keris dengan pendok emas serta tretes berlian. Demikian pula pada ukiran keris itu, Meskipun malam gelap, tetapi malu Kebo Lorog melihat kilauan cahaya permata yang melekat pada keris itu. Kebo Loiog pun kemudian telah menarik keris itu dari wrangkanya. Dalam kegelapan keris itu seakan-akan memancarkan cahaya kemerah-merahan. Kebo Lorog tidak melihat dengan jelas pamor keris yang dipegangnya. Namun secara samar ia menduga bahwa keris itu memiliki pamor yang banyak dicari orang. “Sekar Manggar “desis Kebo Lorog.

“Tepat, “jawab Ki Pituhu, “Kakang dapat melihat pamor keris itu dalam kegelapan?”

“Aku terbiasa bermain-main dengan keris,” jawab Kebo Lorog. “Keris yang aku bawa ini adalah keris yang juga banyak dicari orang.”

“Bukankah keris itu memang milik Kakang sejak semula?”

“Ya. Keris yang aku bawa ini tidak dihiasi dengan permata sebagaimana keris yang kalian berikan ini. Tetapi keris yang aku bawa ini seakan-akan tidak pernah terpisah dari tubuhku.”

“Apakah keris itu bertuah?” bertanya Ki Pituhu.

“Kerisku ini memang bukan keris dengan pamor Teja Bungkus ini membuat ayahku berwibawa sebagai seorang pemimpin. Ia juga disayangi oleh para pengikutnya di samping ayahku adalah seorang yang berilmu tinggi.”

Ki Pituhu mengangguk-angguk. Dengan nada rendah, Ki Pituhu berkata, “Keris yang baru itu akan melengkapi kumpulan keris di rumah Kakang. Bukankah Kakang mempunyai lebih dari dua belas buah keris?”

“Aku memang senang mengumpulkan dan menyimpan keris. Karena itu, terima kasih atas keris yang kalian berikan kepadaku ini.”

“Masih ada dua buah keris lagi yang dapat kami kumpulkan, tetapi bukan keris yang baik. Juga tidak dilengkapi dengan hiasan yang memadai,” berkata Ki Pituhu kemudian.

“Ambillah,” berkata Kebo Lorog. Tetapi kemudian Kebo Lorog itu berkata pula, “Tetapi aku ingin berpesan kepada kalian, jika kalian menemukan sebuah cincin yang bermata tiga buah batu akik, maka aku memerlukannya.”

“Cincin dengan mata tiga buah batu akik?” bertanya Ki Pituhu. “Bukankah hal itu tidak biasa? Biasanya sebuah cincin hanya mempunyai sebuah mata batu akik. Berbeda dengan cincin yang memakai hiasan intan, berlian, atau mutiara.”

“Ya. Tetapi ini lain. Cincin emas yang mempunyai mata tiga buah batu akik.”

“Apa saja jenis batu akik itu, Kakang?” bertanya Ki Pituhu, “atau barangkali warna batu akik itu?”

Kebo Lorog termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Aku belum tahu. Tetapi dalam waktu dekat aku akan segera mengetahuinya.”

“Baiklah, Kakang. Jika kami menjumpai cincin bermata tiga buah batu akik, maka cincin itu akan kami serahkan kepada Kakang.”

“Terima kasih. ” Kebo Lorog mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja, Kebo Lorog itu menjadi tegang. Diangkatnya wajahnya sambil berdesis perlahan,  “Ada sesuatu yang tidak wajar di sini.”

“Maksud Kakang?”

“Ada orang lain,” jawab Kebo Lorog.

“Maksud kakang?”

“Siapkan orang-orangmu. Timbun kembali barang-barang ini,” perintah Kebo Lorog sambil menyelipkan keris yang diperuntukkan baginya itu di pinggang.

Ki Pituhu masih belum tanggap akan keadaan. Tetapi ia memang sudah memerintahkan kepada orang-orang yang bertugas menggalinya. “Timbun kembali barang-barang itu.”

Orang-orang itu pun dengan cepat menimbun kembali lubang-lubang yang telah digalinya setelah Kebo Lorog meloncat naik. Demikian ia berdiri di sebelah Ki Pituhu, maka ia pun berkata, “Beberapa orang ada disekitar kita. Nah, ini juga akan menjadi tontonan yang menarik.”

“Aku tidak mengerti.”

“Aku sudah terlanjur memuji kalian. Tetapi keramaian itu tentu hanya sebuah jebakan. Bukan kita yang menjebak mereka, tetapi kitalah yang terjebak.”

“Maksud Kakang?”

“Kau memang dungu. Kuburan ini sudah dikepung. Permainan kalian dengan keranda terbang yang kalian kira ditakuti orang itu ternyata telah ditertawakan banyak orang.”

“Tetapi Kakang melihat sendiri, bagaimana orang-orang itu berlari-larian, bahkan saling bertubrukan. Anak-anak menangis ketakutan dan bahkan dagangan yang masih belum terjual telah ditinggalkan.”

“Tontonan yang telah dipersiapkan dengan baik oleh orang-orang padukuhan itu. Dan sekarang orang-orang padukuhan itu telah mempersiapkan tontonan yang lain di kuburan ini.”

Ki Pituhu termangu-mangu sejenak. Namun ia kemudian telah memusatkan perhatiannya pada keadaan di sekelilingnya. Meskipun panggraita Ki Pituhu tidak setajam Kebo Lorog, namun Ki Pituhu akhirnya mengetahui juga, bahwa kuburan itu memang sudah dikepung. Beberapa orang mampu mendekat tanpa menimbulkan bunyi gemerisik. Tetapi anak-anak muda padukuhan yang tidak memiliki landasan ilmu yang cukup itu tidak dapat meredam sentuhan kakinya dengan dedaunan kering yang bertebaran di sekitar kuburan. Daun pohon kamboja dan daun sebatang pohon preh yang besar yang tumbuh di pinggir kuburan itu. “Setan orang-orang padukuhan,” geram Ki Pituhu, “mereka datang untuk menyerahkan nyawa mereka.”

“Apapun yang akan terjadi, tetapi ternyata bahwa mereka sudah mengetahui permainanmu. Mereka tahu bahwa kerandamu tidak menakutkan mereka, bahkan justru telah menjadi olok-olok yang memalukan.”

Wedaran Terkait

Jejak di Balik Kabut 4 (Jilid 1)

kibanjarasman

Jejak di Balik Kabut 3

kibanjarasman

Jejak di Balik Kabut 2

kibanjarasman

Jejak di Balik Kabut 1

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.