Namun yang dilakukan oleh Agung Sedayu kemudian terpantau oleh Ki Tunggul Pitu yang pada saat itu melintasi simpang tiga.
“Tentu kau yang bernama Agung Sedayu,” kata Ki Tunggul Pitu.
“Benar, Ki Sanak,” sahut Agung Sedayu, ”Apa yang menjadi maksud Ki Sanak sebenarnya? Ki Sanak telah mendorong orang-orang yang tidak bersalah ini ke dalam penderitaan.”
“Aku tidak mendorong mereka, Agung Sedayu,” kata Ki Tunggul Pitu. “Adalah kebodohan orang-orang Menoreh yang telah memberimu izin untuk menetap, sedangkan mereka tahu bahwa kau mempunyai musuh yang sangat banyak.”
“Musuh?” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dalam pada itu, kebakaran yang terjadi telah berada dalam kendali orang-orang Menoreh. Sebagian pengawal bahkan telah menawan para penjarah dan telah dibawa ke rumah Ki Gede untuk menunggu keputusan dari Ki Gede Menoreh.
Ki Tunggul Pitu menyeringai lalu, ”Ya, orang-orang yang telah kau bunuh juga mewariskan rasa penasaran pada keluarga atau teman mereka.”
“Kematian dalam perang tanding itu sudah semestinya terjadi, Ki Sanak,” Agung Sedayu menatap Ki Tunggul Pitu dengan sorot mata tajam.
Ki Tunggul Pitu merasa jantungnya berdentang kencang saat ia membalas sorot mata itu dengan pandangan yang tak kalah tajamnya. “Aku harus menghindari tatap mata senapati Mataram ini,” gumam Ki Tunggul Pitu lirih.
Ia melompat panjang menerkam Agung Sedayu yang masih berada diatas punggung kuda. Seperti bayangan, tiba-tiba tubuh Ki Tunggul Pitu bejarak kurang dari selangkah ketika ia menulurkan kaki menggapai kening Agung Sedayu. Agung Sedayu dengan sigap mengelak dan melontarkan tubuh menjauhi Ki Tunggul Pitu. Lawan Agung Sedayu menyerang dengan garang, tangan dan kakinya bergerak sangat cepat dan penuh tenaga. Serangan tangan kosong itu seperti datang bergelombang dan setiap kibasannya seakan senjata yang mematikan.
Agung Sedayu dengan cepat menempatkan dirinya dengan ilmu meringankan tubuh dalam lapisan tinggi. Ia bergerak sangat lincah dan seolah tubuhnya tidak mempunyai bobot sama sekali. Sebesar apapun gelombang serangan datang menyentuhnya, namun serangan itu seperti melawan angin. Tubuh Agung Sedayu berpindah tempat sedemikian cepat.
Mereka bertempur dalam lingkaran yang kecil. Setiap gerakan Ki Tunggul Pitu segera dihadang Agung Sedayu, dan sebaliknya sering kali Agung Sedayu tidak dapat melepaskan diri dari gerakan Ki Tunggul Pitu yang seperti mengepung dirinya. Namun begitu, pergerakan mereka benar-benar sangat cepat dan akibatnya adalah debu tanah membumbung tinggi seperti tertiup pusaran angin yang dahsyat.
Mereka berdua seperti sedang mengepakkan sayap-sayap yang berukuran besar. sehingga tak jarang debu dan kerikil terlontar setiap kali kaki mereka berpijak. Pertempuran itu benar-benar berada di luar nalar orang-orang sekitarnya.
Demikianlah pertempuran itu meningkat selapis demi selapis semakin sengit. Para pengikut Ki Garu Wesi dan orang-orang Menoreh merasakan darah mereka mengalir semakin cepat. Mereka seperti melihat perkelahian yang mungkin hanya terjadi di dalam mimpi.
Maka pada saat Agung Sedayu terikat oleh Ki Tunggul Pitu, Ki Garu Wesi tidak melihat Agung Sedayu melintas jalanan yang biasa dilewatinya menuju barak pasukan khusus.
“Gandrik!” desis marah Ki Garu Wesi. Namun ketika ia melihat dua pengawal berlari menuju arah rumah Ki Gede, ia memutuskan menyelinap memasuki pekarangan rumah Agung Sedayu.
Sementara itu, Ki Jayaraga yang berada di pringgitan dapat mendengar jejak halus langkah kaki seseorang. Ia telah mempunyai dugaan bahwa orang yang melompati pagar halaman mempunyai tujuan tertentu, namun Ki Jayaraga tetap menanti hingga orang itu benar-benar berada di dalam rumah.
Tiba-tiba Ki Jayaraga berkelebat menyambut kedatangan tamu tak diundang yang datang melalui pintu seketeng. Dengan wajah yang mengesankan ketenangan, ia berdiri setegak tebing Merapi. Ia telah melihat bayangan orang bergerak mendekatinya, lalu Ki Jayaraga bertanya,”Apakah yang menjadi tujuan Ki Sanak?”