Agung Sedayu yang tersohor dengan kecerdasan yang luar biasa termenung dengan wajah tegang. Akal sehatnya sulit menerima kenyataan bahwa akhirnya Ki Patih Mandaraka berkata demikian itu padanya. Dari sudut pandangnya yang lain, Agung Sedayu dapat memahami bahwa keputusan Ki Patih dapat menjadi jalan tengah demi keberlangsungan Mataram sendiri. Sebagai orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan Senapati, Agung Sedayu masih membutuhkan waktu untuk memilah orang yang dianggapnya telah bergabung dengan salah satu kelompok.
Sikap Ki Patih Mandaraka masih belum berubah. Lelaki sepuh yang sangat jarang ditemui tandingannya itu masih duduk dengan pancaran wibawa yang luar biasa. Setelah menunggu Agung Sedayu yang tak kunjung menggetarkan suara, Ki Patih kemudian berkata, “Aku tidak terburu-buru untuk menunggu jawabanmu. Kau dapat memutuskan setelah memikirkan segalanya.”
Agung Sedayu benar-benar tersudut dengan kalimat Ki Patih yang diucapkan dengan suara pelan. Apakah benar lelaki sepuh itu akan memberi perintah yang dapat mengguncang sendi-sendi kehidupan di Mataram?
“Beberapa lama kita bicara di sini, itu mengingatkanku pada Kyai Gringsing,” kata Ki Patih Mandaraka seolah tidak mendengar ucapan Agung Sedayu sebelumnya. “Alasan-alasan yang kau utarakan cukup runut dan dapat diterima nalar hingga aku mengira sedang bercakap dengan Kyai Gringsing sendiri.” Ki Patih kemudian diam sejenak, lalu berkata lagi, “Baiklah, bicaralah lagi.”
“Seseorang atau beberapa orang dapat memaksakan sebuah pendapat dengan tetap menjadikan Raden Mas Wuryah sebagai raja Mataram,” ucap Agung Sedayu, “tapi kita tidak berhak melarang pendapat lain yang berkembang.”
Ki Patih mengerutkan kening. “Bagaimana arah pikiranmu itu?”
“Setiap orang atau golongan tentu sudah mempunyai alasan yang menjadi landasan kepentingan atau tujuan – yang bisa jadi – berseberangan dengan pihak lain,” jawab Agung Sedayu dengan nada pelan tapi penuh keyakinan. “Saya tidak tahu orang-orang yang berada di balik penentangan atau keberatan jika Raden Mas Wuryah menjadi raja. Keadaan yang sama juga berlaku pada saya. Maksud saya, Ki Patih, saya tidak tahu pula orang-orang yang ingin menjadikan Raden Mas Rangsang sebagai raja.”
“Tapi engkau pasti telah mendengar secuil kabar tentang yang terjadi di dalam bangsal utama,” kata Ki Patih.
Agung Sedayu mengangguk, kemudian ucapnya, “Seseorang berdiri di depan kemudian mengatakan sesuatu yang dianggap sebagai tantangan oleh sebagian yang lain. Tapi saya tidak melihatnya seperti itu.”
Pandang mata Ki Patih menyorot penuh wibawa pada Agung Sedayu yang tampak mengesankan di matanya. Kata demi kata terucap nyaris tanpa keraguan sedikit pun. “Sudut pandang yang menarik,” kata Ki Patih Mandaraka, “aku sedang menunggumu tiba di situ.”
“Lontaran orang itu seperti pengungkapan kenyataan melalui pertanyaan, ‘adakah orang yang dapat mengendalikan seluruh angkatan perang Mataram selain diriku?’ Jawabnya tentu saja tidak ada. Ki Patih dengan kedudukan tinggi, bahkan dianggap nyaris seperti raja bayangan pun tidak mempunyai wewenang di tingkat keprajuritan selain orang-orang yang memang mempunyai hubungan khusus,” ucap Agung Sedayu.
“Apakah kau termasuk dari orang-orang yang mempunyai hubungan khusus itu?” tanya Ki Patih Mandaraka.
“Saya tidak mempunyai hak menilai kedudukan sendiri dari sudut yang sama,” jawab senapati pasukan Mataram itu diikuti gelengan kepala.
“Baik, lanjutkan,” perintah Ki Patih kemudian.
“Pangeran Selarong dan Pangeran Mas Rangsang pun tidak mempunyai pengaruh dan kuasa begitu luas dengan orang tersebut, walau beliau berdua sama-sama mempunyai satuan prajurit yang berkemampuan khusus,” ucap Agung Sedayu. “Dari segi usia, beliau berdua pun masih memandang para sesepuh yang berada di sekitar saat itu. Tentu ada segan dan enggan untuk menyinggung seseorang, terutama Panjenengan, Ki Patih. Maka, keberadaan orang lain yang berusia jauh di atas beliau berdua dapat dianggap mewakili.”
“Apakah kau dapat membayangkan seandainya dua pangeran muda itu bangkit menentang ucapan Pangeran Purbaya?” tanya Ki Patih Mandaraka.
Agung Sedayu menggeleng. “Berandai-andai bukan bagian dari pemikiran saya ketika memahami kejadian di bangsal utama.”
“Aku akan memaksamu.”
“Ada bagian lain dari pengandaian itu, Ki Patih. Bagaimana bila dua pengeran tersebut telah sepakat dengan seorang pangeran sepuh yang terhitung masih paman mereka sendiri? Seandainya ada, bukankah itu dapat dianggap menempatkan Ki Patih tanpa pasukan dan tanpa kawan di sisi seberang.”
“Hmm, kau sudah sampai di sana,” kata Ki Patih Mandaraka. “Aku merasa tersudut dengan butir-butir pemikiran yang ucapkan saat in tapi aku tidak keberatan dengan itu. Sedayu, menurutmu, apakah ada kesengajaan sebagian orang menyingkirkan Raden Mas Wuryah dari jalan menuju singgasana?”
“Sebenarnya saya sudah membatasi diri untuk tidak bergeser ke arah yang Ki Patih sebutkan.”
“Tapi dengan pemikiranmu dan ketajaman pandanganmu, pergeseran itu sudah barang tentu tersentuh olehmu,” kata Ki Patih. “Maka dengan demikian, apakah kesengajaan itu dapat dianggap sebagai tindakan yang mencederai Mataram?”
“Saya pikir itu tidak dapat dianggap mencederai Mataram,” jawab Agung Sedayu. “Saya berprasangka baik bahwa beliau berdua menjadikan latar belakang menjadi keharusan.”
“Seperti misalnya, cita-cita Mataram atau mimpi Panembahan Senapati?”
“Kurang lebih seperti itu,” kata Agung Sedayu. “Pengubahan Alas Mentaok menjadi tempat yang dapat ditinggali orang, kemudian berkembang menjadi wilayah yang mempunyai tata kelola sendiri tentu sudah dirancang baik oleh mendiang Panembahan. Ki Patih ada di belakang segalanya.”
Ki Patih Mandaraka menarik napas panjang disertai kepala manggut-manggut perlahan. Katanya kemudian, “Aku hanya dapat meraba bahwa prasangka baik itulah yang membuatmu tidak segera menanggapi saranku sejak awal.”
“Saya tidak melihat sesuatu yang benar dan dapat dijadikan landasan yang sangat kuat,” ucap Agung Sedayu. “Kesepakatan atau persetujuan dari kebanyakan orang-orang yang berada di paseban tentu bukan perkara mudah untuk dilawan, sekalipun selalu ada orang yang menolak pelantikan itu secara diam-diam. Bahaya lebih besar pasti datang mengancam Mataram bila ada kesepakatan lain yang dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan lingkaran Kraton.”
Dengan senyum lebar mengembang, Ki Patih berkata, “Apakah aku terhitung sebagai orang yang kau maksudkan?”
Agung Sedayu menahan senyum. Terasa lega dadanya ketika menyadari bahwa sikap dan ucapan Ki Patih sejak perbincangan adalah ujian khusus untuknya. “Tentu saja saya tidak berani bermaksud demikian, Ki Patih.”
“Aku bahkan sudah mengira bahwa kau pasti mundur dari keprajuritan seandainya tetap memaksamu membuat makar,” kata Ki Patih Mandaraka, “Itu adalah jalan teraman buatmu dan yang terbaik dalam pikiranku. Keberadaanmu sebagai orang biasa dan bebas dapat membuatmu lebih mapan membuat keputusan. Mungkin saja itu seperti kemerdekaan yang sama dengan Kyai Gringsing saat memutuskan untuk mendukung langkah yang ditempuh selanjutnya.”
“Tapi saya bukanlah guru saya, dan tidak akan dapat menjadi beliau.”
“Kyai Gringsing memberimu bekal berupa dasar pikiran dan tata olah perasaan. Bagiku, itu sudah cukup untuk menjadi dirimu yang seperti sekarang ini,” kata Ki Patih Mandaraka. “Nah, agak banyak waktu buat kita mengenai kejadian yang berlangsung di dalam Kraton, sekarang aku ingin memintamu berpendapat tentang yang berkembang di Kepatihan.” Setelah diam barang sementara, Ki Patih Mandaraka meneruskan, “Ada kebenaran di dalam pendapatmu bahwa Kepatihan mengalami pelemahan dalam pengawasan. Karena kau tidak ucapkan terbuka, aku hanya dapat mengira ada kata salah yang ditujukan padaku dalam hatimu. Aku harus membuat pengakuan di depanmu bahwa kesehatan mendiang Panembahan yang menurun menjadi salah satu sebab kelemahanku. Pelemahan ini, aku tidak mengingkari kenyataan memang terjadi atau mungkin sedang berlangsung. Selain itu, tak perlu kau meminta maaf karena sudah menjadi tugasmu untuk menjagaku.”
Agung Sedayu tidak cepat memberi tanggapan. Mengenai Kepatihan, itu sudah jelas bersentuhan langsung dengan Ki Patih Mandaraka. Sejenak waktu digunakannya untuk mengatur napas. Kemudian Agung Sedayu berkata lirih, “Maafkan saya, Ki Patih.”
“Aku sudah katakan tak perlu untuk meminta maaf padaku,” ucap Ki Patih Mandaraka dengan senyum mengembang. “Segala yang akan kau ungkapkan sudah mendapat permakluman dan maaf dariku. Marilah, kita bicara terbuka.”